14 Kasino, Bahaya untuk Dina

Tinggal dirumah orang lain, tak membuat Mona lupa akan seluruh tugasnya. Ia tetap melakukan pekerjaan rumah dengan menyapu, mencuci baju, mengepel dan membersihkan jendela. Dina sudah berjanji akan membawa makan siang untuknya dan Zhani. Dirumah itu Dina meninggalkan sebuah handphone jadul untuk digunakan Mona saat ada sesuatu yang darurat atau yang dibutuhkan.

Sementara itu, ketika sedang menonton tv, Ny. Zemira mendapatkan sebuah pesan dari putra bungsunya.

Ibu, Isa dan kak Arvin tidak akan pulang sampai sore. Hari ini Isa akan menemani Dina bekerja dan kami akan berangkat kuliah bersama, dan kak Arvin akan bersama teman-temannya

"Yang dilakukan anak muda hanya hal-hal yang mereka mau," gumam Ny. Zemira.

Pagi belum sampai puncaknya untuk berganti dengan siang, namun hari ini rumah makan Populer sudah sangat ramai bahkan ketika baru buka. Dan setelah pekerjaannya selesai, Yahya datang mendekati Dina.

"Dina," panggilnya.

"Ya?" sahut Dina.

"Kenapa Jhana belum datang? Apa dia sakit?"

"Aku juga sedang mencarinya, baru saja aku ingin menanyakan hal itu pada kak Wanda," ucap Dina.

"Kau kan dekat dengan Jhana, bukannya kalian semalam makan malam bersama?"

"Soal itu ... kak Jhana tiba-tiba menghilang sebelum makan malamnya dimulai."

"Menghilang? Maksudmu diculik?!"

"Sssshhtt, turunkan volume suaramu, kak. Aku tidak bisa mengatakannya sebagai penculikan."

"Jadi?"

"Entahlah, dia menghilang secara sengaja tanpa alasan, dan dia meninggalkan sebuah surat untukku."

"Merumpi saja terus," cibir Wanda sambil memgambil pesanan.

"Nanti kita sambung lagi, Wanda orangnya sulit diajak berkompromi, maunya dia saja yang bisa merumpi," ujar Yahya pada Dina.

Dina terkekeh. Tak lama kemudian seorang pria dengan wajah yang ketat datang membawa nota pesanannya dan memberikan uang pada Dina.

"Terima kasih, datanglah lain waktu!" ucap Dina, namun pria itu tidak menghiraukan dan pergi begitu saja.

Setelah pria tersebut pergi, seorang pria lain datang dengan tasnya, pria ini berbeda dengan pria sebelumnya, ia datang dengan senyuman penuh keceriaan. Ia langsung duduk di kursi disebelah Dina.

"Hari ini agak ramai, ya? Tak ada waktu untuk mengerjakan tugas kuliah?" tanya pria tersebut.

"Tidak juga, biasanya siang akan sepi, jadi masaku mengerjakan tugas adalah pada siang hari," jawab Dina.

"Kenapa kau memintaku datang kesini?"

"Baca ini," suruh Dina sambil menyerahkan surat yang ditinggalkan oleh Jhana di lubang ventilasi kostnya pada pria bernama lengkap Isa Dhananjaya itu.

"Jadi?" tanya Isa setelah membaca surat tersebut.

"Apa kau rasa sebaiknya biarkan semuanya berjalan seperti ini?" tanya Dina balik.

"Seperti apa?"

"Ya ... seperti ini, anak-anak kak Jhana bersamaku dan kak Jhana tetap hilang."

"Maksudmu kita tidak perlu mencarinya?"

Dina mengangguk.

"Jhana kemungkinan besar diculik, seorang penculik akan melakukan apa saja agar korbannya tidak ditemukan, dan ujungnya penculik akan meminta uang tebusan. Jangan mengubah keputusanmu hanya karena surat seperti ini, aku tahu kalau kau adalah orang yang berpegang teguh dengan pendirian yang tetap," ujar Isa.

"Aku berubah bukan karena surat ini," kata Dina.

Isa mulai terlihat serius.

"Tadi pagi aku mengurus SPP Fina, namun pihak sekolah mengatakan kalau kak Jhana sudah mengurusnya beberapa menit sebelum aku dan Fina datang," jelas Dina.

"Dan itu artinya kak Jhana masih disekitar sini, dia masih hidup dan tidak diculik," lanjut Dina.

Isa mengernyitkan dahinya. "Lalu, apa alasannya menghilang seperti ini?"

"Aku rasa kita tidak usah mencarinya, kita fokus saja menemukan alasannya."

"Dina, menemukan alasannya artinya kita harus menemukan orangnya," ucap Isa.

"Kau meragukanku? Kemampuan menyelidikiku lebih hebat dari seorang detektif. Kita memiliki anak-anaknya, kita bisa bertanya hal-hal yang mungkin saja bisa menguak alasan kak Jhana menghilang seperti ini dari jawaban-jawaban mereka."

Isa terdiam. "Kau yakin?"

"Kau yang mengatakan kalau aku adalah orang yang berpegang teguh dengan pendirian yang tetap. Jadi kenapa kau meragukanku?"

"Tapi, apa kau sanggup mengurus anak-anaknya?"

"Mungkin aku akan membutuhkan bantuanmu jika mengurus hal itu."

"Ehm, disini para pelanggan makan dan para pekerja bekerja, para pekerja dilarang berpacaran disini," sindir Wanda.

"Disini pasangan tidak dilarang untuk saling mengobrol, yang dilarang hanya bercumbu," balas Dina. Wanda pun merasa kesal dengan jawaban Dina.

"Tumben sekali kau tidak mengoceh tentang Jhana," timpal Yahya.

"Untuk apa aku mengoceh tentangnya jika dia saja sudah pergi jauh?" jawab Wanda.

"Maksudmu?" tanya Yahya.

"Entahlah, dia dipecat, tapi dia membuat dirinya seolah mengundurkan diri agar tampak lebih terhormat."

Dina dan Isa kemudian saling melirik, mereka tidak ingin membuka suara karena hanya akan menimbulkan banyak pertanyaan nantinya dari Wanda, terlebih lagi Isa sudah mengenal seluruh pekerja di rumah makan Populer, jadi ia tahu bagaimana sifat para pekerja di rumah makan tersebut.

"Sudahlah, aku tidak mau membahas soal wanita itu lagi," ucap Wanda, ia lalu pergi mengantarkan pesanan.

Pagi menjelang siang ini, para pekerja mansion sudah selesai dengan tugas mereka, dan kini mereka semua sedang bersantai di dapur sambil mengobrol. Ya, seperti inilah quality time para pekerja di mansion Dhananjaya.

"Benarkah?! Tapi kenapa?!" tanya Kania pada Ayang.

"Aku sudah memikirkan kata-kata kakak semalam, dan sepertinya aku setuju dengan kakak, lebih baik tidak usah bekerja dari pada terus menggerutu. Jadi aku memutuskan untuk mengundurkan diri saja, hari ini atau besok," jawab Ayang.

"Tapi apa kau tidak akan memikirkan ulang keputusanmu itu?" tanya Ismail.

"Semalaman aku sudah memikirkannya, dan tekadku sudah bulat."

"Pikirkan soal kami, bagaimana kami tanpa adanya kau? Kita semua sudah menyatu, jangan dipisah, kalau tidak rasanya tidak akan enak," ujar Ismail.

"Aku akan selalu merindukan kalian, tenang saja. Dan untuk kak Kania, aku tidak tahu bagaimana kakak masih bisa bekerja sampai seusia kakak ini, sedangkan aku yang belum empat puluh tahun saja rasanya sudah seperti remuk semua tulangku," ucap Ayang.

"Aku tidak terlalu memikirkannya, aku hanya menikmati pekerjaanku, sehingga mungkin itulah yang membuatku lupa dengan sakit punggungku," jawab Kania.

"Kalau kak Ayang akan pergi, bagaimana dengan Tantri?" tanya Tantri.

"Nyonya Zemira pasti akan menemukan partner yang pas untuk menggantikanku bagimu, jangan khawatir," kata Ayang.

"Maksudku ... itu artinya aku akan jadi senior ketika pekerja baru mulai bekerja disini?"

"Tentu saja."

"Huft, aku belum siap untuk hal seperti itu."

"Jika aku saja bisa menjadi seniormu, kenapa kau tidak bisa mejadi seorang senior yang lebih baik dariku?"

"Kakak sudah siap untuk mengatakannya pada Nyonya Zemira?" tanya Indira.

"Belum, makanya kubilang aku akan mengunduran diri antara hari ini sampai besok," jawab Ayang.

"Apa kau akan kembali lagi? Tak banyak juniorku yang cekatan seperti kamu," kata Kania.

"Entahlah, kurasa tidak."

Tengah hari akhirnya tiba, dan ini sudah pukul 12 namun Jhana dan Arini masih belum kembali ke masjid.

"Ini adalah kebun buah Dhananjaya kelima yang kita datangi, dan tak satu pun yang memiliki lowongan pekerjaan. Jadi bagaimana?" tanya Arini.

"Mungkin kita kembali saja dulu ke masjid, besok kita datangi yang tiga lagi," jawab Jhana.

"Bagaimana kalau yang tiga lagi juga tidak memiliki satu pun lowongan pekerjaan?"

"Akan kupikirkan tempat yang lain, tapi masih dalan naungan bisnis Dhananjaya."

"Yasudah, ayo kita pulang," ajak Arini.

Seperti yang diucapkan Dina tadi, pada siang hari, rumah makan Populer biasanya sepi dan biasanya Dina mengambil kesempatan untuk mengerjakan tugas kuliahnya pada siang hari. Isa pun turut mengejarkan tugasnya sendiri di samping Dina.

"Mau makan?" tawar Dina pada Isa.

"Hmm, nanti saja, aku masih kenyang," jawab Isa.

Kemudian suasanya menjadi hening.

"Isa, boleh aku meminta pertolonganmu?" Dina pun akhirnya angkat bicara.

"Ya, silakan," ujar Isa.

"Bisa kamu jemput Fina dari sekolahnya? Mona pasti tidak tahu jalan dari kostku ke sekolah Fina, jadi tolong jemput dia, ya. Dan ini uang untuk makan siang mereka, belikan apa yang mereka mau, uang ini pasti cukup," ucap Dina.

"Simpan uangmu itu, biar aku saja yang menganggung makan siang mereka," suruh Isa.

"Eh? Tidak usah, tidak perlu repot-repot."

"Sudah, tidak apa-apa."

Isa kemudian menutup bukunya dan menaruhnya kedalam tas yang tadi dibawanya. Ia tidak mengambil uang pemberian Dina dan langsung pamit.

"Aku pergi dulu. Dimana letak sekolahnya?" tanya Isa.

"Disebrang jalan ini, lurus saja lima ratus meter dan akan ada sebuah sekolah di sebelah kanan," jelas Dina.

"Baiklah." Isa lalu pergi menuju mobilnya dan langsung tancap gas menuju sekolah Fina.

Ketika sedang menonton tv bersama Zhani, Mona mendengar suara ketukan pintu dari luar, gadis kecil itu pun lantas membuka pintu depan kost Dina dan melihat Fina dan Isa yang membawa makan siang untuknya dan Zhani.

"Kalian ..." ujarnya.

"Boleh kami masuk?" tanya Isa.

"Boleh, aku baru saja menghubungi kak Dina dan memberitahunya kalau aku tidak tahu jalan menuju sekolah Fina," ucap Mona.

"Benarkah? Kalau begitu kebetulan sekali kami datang," kata Isa.

"Apa kalian berdua sudah lapar?" sambungnya, Mona dan Zhani lalu mengangguk.

"Paman dan Fina membawakan makan siang untuk kalian, kami sudah makan tadi," ujar Isa.

"Wah, wangi sekali," kata Zhani yang langsung membuka bungkus makanan miliknya.

Isa pun tersenyum melihat Mona dan Zhani yang makan dengan lahap. Ia kemudian mengusap kepala kedua bocah tersebut, sedangkan Fina mengganti pakaiannya.

"Banyak-banyak makan, ya! Biar kalian cepat tumbuh besar," ucap Isa, Mona dan Zhani hanya tersenyum.

Setelah menghabiskan waktu di kost Dina bersama anak-anak Jhana, Isa pun sadar kalau jam telah menunjuk pada pukul 13:15, dan tidak lama lagi jam kuliahnya dan Dina akan dimulai, meskipun mereka tidak satu kelas, namun jam belajar mereka sama.

Isa pun lantas berpamitan pada anak-anak Jhana dan kembali lagi ke rumah makan Populer.

Ia tiba tepat waktu dan akhirnya berangkat kuliah bersama Dina.

Usai jam kuliahnya habis, Dina pun menunggu Isa di mobil tunangannya itu sambil memakan bekalnya yang ia bawa dari rumah makan Populer. Ia masih memiliki waktu sekitar 45 menit lagi dalam jam istirahatnya, jadi dirinya bisa bersikap santai.

"Sudah lama?" tanya Isa yang akhirnga datang.

"Tidak juga," jawab Dina.

"Yasudah, ayo masuk, kita langsung saja ke rumah makan Populer, takutnya kalau nanti kau terlambat kembalinya, kak Wanda pasti akan mengoceh," ujar Isa.

"Sebentar," ucap Dina sambil menghabiskan bekalnya.

Usai menghabiskan bekalnya, Dina pun masuk kedalam mobil Isa, mengikuti Isa yang sudah terlebih dulu masuk.

Dijalan, Dina asyik memainkan ponselnya, sementara Isa fokus menyetir. Namun tiba-tiba Dina menyuruh Isa berhenti.

"Berhenti," ucapnya.

"Kenapa?" tanya Isa.

"Aku ingin kencing."

"Tidak ada tempat untuk kencing disekitar sini kecuali parit."

"Ih, aku tahu. Bisakah kita ke mall sebentar?"

"Ya kalau tahu jangan suruh aku berhenti, katakan saja 'antar aku ke mall, aku ingin kencing dikamar mandi yang ada di mall'."

"Iya, iya. Aku malas berdebat denganmu."

"Kenapa semua orang malas berdebat denganku?" gumam Isa.

Tidak lama kemudian, ponsel Dina berdering, Dina pun segera menerima panggilan itu.

"Halo?" ujar Dina.

"Kak Dina!!! Cepat pulang!!!" teriak Mona yang panik.

"Ada apa?!!" tanya Dina yang ikut panik mendengar nada bicara Mona.

"Gasnya!! Gas!!!" jawab Mona.

"Gasnya kenapa?!"

"Bocor!!!!"

"Ha'?!! Astaga kenapa bisa?!"

"Aku tidak tahu!! Pulang saja sekarang!!! Jangan sampai gas ini meledak!!"

"Ah ... ng ... e ... iya, iya! Tunggu kakak disana!"

"Cepat!!!"

Dina lantas mematikan sambungannya.

"Ada apa?" tanya Isa seraya mengernyitkan dahinya.

"Putar balik! Kita ke kostku!" suruh Dina.

"Iya, tapi ada apa?"

"Gas di kostku bocor!"

"Bocor?! Astaga! Kenapa bisa?!"

"Aku tidak tahu! Putar balik saja! Mereka sangat panik!"

"Tapi bagaimana denganmu?! Tidak jadi kencing?!"

"Justru aku semakin sesak kencing karena panik!"

"Lalu bagaimana?!!"

"Aku tidak tahu!!"

"Ok, seratus meter kedepan ada sebuah kasino, disana ada toilet khusus wanita dan pria, kau kencing disana saja," kata Isa yang mulai menstabilkan paniknya.

"Hah?! Kasino? Tidak! Tidak! Aku tidak mau kencing ditempat seperti itu."

"Tapi kau tidak akan bisa menahannya sampai kita tiba di kostmu."

Dina terdiam. "Jadi bagaimana?" tanyanya.

"Aku antar kau ke kasino itu, lalu aku tinggal kau disana dan aku pergi ke kostmu. Nanti aku jemput lagi," jawab Isa.

"Itu ide yang gila! Tidak mau! Masa aku ditinggal sendiri ditempat perjudian seperti itu!" gerutu Dina.

"Disana ada kak Arvin, dia yang akan menjagamu."

"Belum tentu kak Arvin mau menjagaku."

"Aku menjamin kalau dia akan menjagamu."

"Tapi dia saja tidak pernah mengobrol denganku, bahkan aku saja tidak tahu bagaimana suaranya."

"Suatu saat kamu akan menjadi anggota keluarganya, keluarga itu harus saling percaya dan menyayangi, jika dia sayang padamu, dia akan menjagamu, jika kau sayang padanya, kau akan percaya padanya," ucap Isa. Namun Dina tidak menjawab.

"Baiklah, antar aku ke kasino itu dan pergilah ke kostku, selamatkan mereka, periksa apa yang terjadi," ujar Dina.

"Kau akan baik-baik saja, jangan khawatir."

Dina hanya mengangguk.

Dan tanpa terasa mereka akhirnya sampai di kasino tempat Arvin berada. Tapi tiba-tiba Dina merasa ragu untuk turun.

"Isa," ucapnya.

"Ya?" sahut Isa.

"Bagaimana jika kak Arvin sudah tidak ada lagi di dalam?" tanya Dina.

"Dia akan tetap di dalam sampai malam, percayalah padaku," jawab Isa.

"Baiklah." Dina lalu turun dan melambaikan tangannya pada Isa yang langsung pergi menuju kostnya. Sebelum masuk, Dina melihat kasino itu lebih dulu, ia kemudian menarik nafas panjang dan membuangnya.

"Ini akan menjadi pertama kalinya bagiku berada di kasino," gumamnya.

Dina pun lantas berjalan masuk dan langsung mencium bau menyengat dari alkohol dan bau asap rokok.

'Tempat ini bahkan lebih mengerikan dari pada sebuah rumah tua yang kosong,' batin Dina.

Baju saja berjalan 5 langkah dari pintu masuk yang terbuka, Dina mendapati 2 orang pria yang masing-masing sedang memegang sebuah botol kaca, mereka adalah penjaga kasino tersebut.

"Hei, nona," sambut salah seorang pria.

"Wajah Anda tidak dikenali disini. Anda bukan anggota di kasino ini, apa tujuan Anda, nona yang manis?" tanya pria yang satu lagi.

"A-aku memang bukan anggota disini, aku hanya numpang kencing," jawab Dina. 2 pria itu kemudian tertawa mendengar jawaban Dina.

"Kencing?" ucap pria yang membuka suara pertama kali, ia lantas memberikan isyarat pada temannya dengan hanya mengedipkan satu mata, temannya mengerti dan langsung menutup mulut Dina dengan tangannya.

Dina tak tinggal diam, ia berusaha melawan, namun kedua pria itu akhirnya bekerja sama untuk menahannya, Dina pun akhirnya kalah.

"Bahan taruhan yang bagus," ujar pria yang menahan mulutnya.

avataravatar
Next chapter