9 Dimana Kau, Kak Jhana?

"Ini sudah jam setengah dua belas, tapi kenapa dia belum kembali?" oceh Dina sambil merogoh saku celananya untuk mengambil smartphonenya.

"Astaga, batrai ponselku habis dan sudah terlanjur mati. Boleh aku pinjam chargermu?" tanya Dina pada Isa.

"Silakan saja," jawab Isa. Dina kemudian masuk kedalam kamar Isa dan di ikuti oleh Isa.

Dina lantas berjalan ke arah meja yang memiliki 3 laci yang berada disebelah ranjang Isa.

"Disini, kan?" tanya Dina.

"Iya, tapi aku lupa di laci yang mana, hehe," ucap Isa.

"Huh," dengus Dina. Ia tidak menemukan charger Isa di laci pertama, lalu ia membongkar laci kedua dan Isa tampak tidak peduli dengan hal yang sedang dilakukan Dina, ia hanya duduk di ranjangnya sembari bermain handphone.

Dina berhenti mencari karena menemukan sesuatu yang menarik perhatiannya di laci kedua, yaitu sebuah kertas dengan tulisan yang cantik.

"Isa?" panggil Dina.

"Ya?" sahut Isa.

"Apa ini surat yang ditinggalkan kak Rasyid mengenai alasannya melakukan bunuh diri?"

Isa mengangguk.

"Kenapa kau masih menyimpannya?"

"Karena dengan menyimpannya, aku akan terus merasakan kehadiran kak Rasyid dikeluarga kami," jawab Isa. Dina kemudian duduk disebelah Isa sambil terus membaca surat terakhir yang ditinggalkan oleh Rasyid. Usai membacanya, Dina menatap Isa, kemudian memeluknya karena emosinya teraduk membaca surat itu.

"Sudahlah, mengenai hal itu tidak usah dibahas lagi," ujar Isa seraya membalas pelukan Dina.

"Tapi, apa kau membenci Jhana?" tanya Dina.

"Entahlah, di satu sisi aku setuju dengan pemikiran ibu, namun disisi lain aku penasaran dengan alasan pemikiran ayah, dan ingin mengikutinya untuk bisa membuat keputusan."

"Apa yang akan kau lakukan jika sebenarnya si Jhana ini masih hidup?" tanya Dina sambil melepaskan pelukannya.

"Entahlah, aku tidak bisa memikirkan langkahku hingga sejauh itu."

"Apa kau memaafkannya?"

"Seharusnya kami semua memaafkannya, kalau Tuhan saja bisa memaafkan, kenapa manusia harus saling membenci? Tapi masalahnya adalah, memaafkan adalah hal yang tersulit untuk dilakukan yang pernah ada."

"Jadi, kau belum memaafkannya?"

"Kupikir, belum."

"Bagaimana dengan kak Rasyid?"

"Kami semua selain ayah akhirnya memiliki pemikiran yang sama tentang kak Rasyid, bahwa dia adalah orang yang tidak bersalah yang hanya diperbudak oleh cintanya kak Jhana, dan sampai saat ini pun kami tetap hanya menyalahlan kak Jhana, untuk itu kami pindah ke Jogja karena tidak ingin terbayangi masa lalu yang menyakitkan di mansion yang lama."

Dina terdiam, kemudian tersenyum. "Mungkin sebaiknya aku melanjutkan pencarian chargermu," ucapnya.

"Mari ku bantu," kata Isa.

Jhana berhenti berjalan karena mengantuk, ia berhenti di depan sebuah masjid yang besar.

'Kemana aku harus pergi? Aku ingin tidur, aku tidak mungkin tidur dirumah kontrakanku lagi, Dina pasti akan mencariku kesana. Apa sebaiknya aku beristirahat di masjid ini saja?' batin Jhana. Ia kemudian pergi kearah masjid itu, kemudian ia duduk dan bersandar pada sebuah pilar, Jhana memeluk tas jinjingnya dan perlahan mulai tertidur.

Jam mulai menunjukkan pukul 23:50. Isa tertidur disebelah Fina, sedangkan Dina masih sangat khawatir dengan Jhana yang tak kunjung kembali ke mansion Dhananjaya meskipun ia sudah bolak-balik pergi ke gerbang.

Dina kemudian kembali menelpon Jhana, ia kini berada di ruang tamu, dan sepertinya semua orang sudah tidur. Namun ia tetap tidak mendapatkan jawaban dari Jhana.

'Apa dia mematikan ponselnya?' batin Dina.

"Dina?" ujar Ny. Zemira yang kebetulan lewat.

"Kau belum pulang? Bibi kira kau sudah pulang, makanya bibi sempat heran kenapa kau tidak berpamitan," lanjut Ny. Zemira.

"Eng, iya, bi, Dina masih disini," ucap Dina.

"Lalu, dimana Isa? Kenapa kau tidak pulang? Apa dia tidak mau mengantarmu? Apa kalian ribut? Ini sudah hampir jam dua belas."

"Tidak, bibi, kami tidak ribut. Isa sudah tidur di kamarnya, aku hanya masih menunggu temanku kembali kesini."

"Dia belum kembali juga?"

"Belum."

"Dimana anak-anaknya?"

"Mereka bertiga tidur bersama Isa."

Terlihat raut wajah Ny. Zemira berubah ketika mendapatkan jawaban dari Dina, dan Dina sadar akan hal itu, ia segera mengalihkan pembicaraan.

"Bibi kenapa terbangun?" tanya Dina.

"Tiba-tiba bibi merasa haus, dan terbangun untuk minum, bibi lihat lampu di ruangan ini menyala, padahal seharusnya Tantri mematikannya, dan ternyata kau disini," jawab Ny. Zemira.

"Soal temanmu, apa mungkin dia diculik?" sambung Ny. Zemira.

"Diculik? Oleh siapa?"

"Ya, mungkin saja oleh sopir taksi itu. Kenapa kau tidak menghubungi sopir taksi itu? Dia pasti menjadi orang terakhir yang bersentuhan dengan temanmu itu sebelum dia menghilang seperti sekarang."

"Tapi, andai kata teman Dina tidak diculik oleh sopir taksi itu bagaimana? Soalnya selama ini aku mengenal sopir taksi itu sebagai orang yang baik."

"Siapa yang tahu, nak, kita tidak boleh menilai seseorang dari luarnya saja."

"Ya ... bibi benar. Tapi, jika aku menghubunginya, apa hal itu tidak mengganggunya?"

"Kalau menurut bibi, temanmu sudah pasti tidak akan kembali lagi kesini, ini sudah hampir lima jam setelah acara makan malamnya dimulai, jika dia baik-baik saja, maka dia pasti akan kembali, setidaknya untuk menjemput anak-anaknya."

"Jadi, apa yang sebaiknya kulakukan?"

"Bangunkan Isa, suruh dia antar mengantarmu pulang, sekalian kalian antarkan anak-anak itu pulang, siapa tahu temanmu itu sebenarnya tertidur dirumahnya."

"Baik, bibi."

"Bagus, setidaknya anak-anak miskin itu tidak akan berada dirumah ini lebih lama lagi," gumam Ny. Zemira.

"Apa, bibi?"

"Maksud bibi, setidaknya anak-anak itu akan cepat bertemu dengan ibu mereka."

"Oh, iya. Aku permisi mau ke atas, ya."

Ny. Zemira mengangguk.

Dina pun segera berjalan menuju kamar Isa dan membangunkan tunangannya itu juga anak-anak Jhana.

"Apa Jhana temanmu itu sudah datang?" tanya Isa ketika bangun dari tidurnya.

Dina menggeleng. "Belum," jawabnya.

"Lalu, kenapa kau membangunkan kami?"

"Bibi Zemira bilang 'bangunkan Isa, suruh dia mengantarmu pulang dan antar anak-anak itu pulang, siapa tahu sebenarnya temanmu itu tertidur dirumahnya'. Jadi aku membangunkammu."

"Apa kami akan pulang?" tanya Mona.

"Iya, kita akan pulang," jawab Dina.

"Tapi, apa yang akan kita lakukan seandainya temanmu itu tidak ada dirumahnya?" tanya Isa.

"Berandai-andainya nanti saja, antar saja dulu kami pulang. Ini sudah jam dua belas, aku harus bangun pagi untuk bekerja, dan aku tidak mau ketiduran ketika dosenku mengajar. Jadi, sebaiknya, antar kami, cepat," ucap Dina.

"Huft, iya, iya," ujar Isa.

"Ayo turun," ajak Isa pada anak-anak Jhana setelah mengambil kunci mobilnya.

Mereka semua kemudian turun ke lantai 1 dan melihat Ny. Zemira yang sudah menunggu mereka.

"Aku ke garasi dulu, ya," kata Isa pada Dina.

Sedangkan anak-anak Jhana menjauhi Ny. Zemira. Mereka berdiri di sebelah kiri Dina dan menghindar dari Ny. Zemira yang berdiri di sebelah kanan Dina.

Suasana pun menjadi tegang, sebab Ny. Zemira tahu kalau anak-anak itu menghindar darinya. Dina sadar akan keadaan dan langsung buka suara demi mencairkan suasana.

"Ng, bibi, apa kak Arvin sudah pulang?"

"Dia sudah pulang ketika acara makan malamnya sedang berlangsung," jawab Ny. Zemira.

"Hah? Kenapa dia tidak bergabung?"

"Nak, kau tahu bagaimana Arvin itu, bibi juga sebenarnya ingin dia bergabung, tapi dia yang sekarang sangat berbeda dari dia yang dulu. Sekarang dia sangat keras kepala, dan keinginanannya harus terpenuhi, jika dia tidak mau, ya dia tidak akan mau walaupun dipaksa dan terus dipaksa, padahal dulu dia tidak seperti itu. Dulu dia sangat suka bergabung dengan keluarganya."

Dina tersenyum. "Orang itu berubah ya, bibi."

"Ya, bibi juga tidak mengerti kenapa bisa seperti itu."

Sesaat kemudian, terdengar suara klakson mobil, dan semuanya tahu kalau itu adalah sebuah isyarat dari Isa.

"Bibi, aku pamit, ya," ucap Dina.

Ny. Zemira tersenyum. "Bermimpilah yang indah ketika kau tidur nanti."

"Ayo berpamitan pada bibi Zemira, atau kalian bisa memanggil beliau sebagai nenek," ujar Dina pada anak-anak Jhana.

"K-kami pulang, terima kasih makan malamnya," kata Fina, tapi Ny. Zemira hanya diam.

Dina tahu bahwa Ny. Zemira tidak menghiraukan kata-kata Fina.

"Yasudah bibi, kami pergi, ya," ucap Dina sambil berjalan.

"Iya, datang lagi lain waktu ya, Dina," ujar Ny. Zemira.

"Akan kuusahakan," kata Dina seraya membuka pintu mobil Isa.

Jam sudah menunjuk pada pukul 00:30, dalam waktu setengah jam, Isa sudah mengendarai mobilnya hingga ke daerah perkotaan. Mona, Fina dan Zhani telah tertidur pulas di bangku tengah, sedangkan Dina tertidur di bangku depan, disebelahnya. Hanya musik slow dari radio yang menemani Isa, ia tidak tahu harus kemana dulu, Isa pun lantas membangunkan tunangannya sambil menunggu lampu rambu lalu lintas berwarna hijau.

"Dina, dina." Isa menepuk-nepuk pundak Dina.

"Hm?" sahut Dina dengan mata yang masih meram.

"Aku tidak tahu kita harus kemana dulu, ke kostmu atau rumah kontrakan mereka, aku hanya tahu kostmu."

"Eh? Sudah keluar dari daerah mansionmu?" Dina kemudian melek.

"Iya, sudah sekitar dua menit yang lalu."

"Kalau begitu kita kerumah anak-anak ini dulu. Dari sini lurus saja sampai seratus meter, lalu ada perempatan, belok ke kiri, lurus saja sampai lima puluh meter, lalu belok ke kanan, lurus lagi sejauh tiga ratus meter, setelah tiga ratus meter, ada sebuah minimarket dua puluh empat jam, disebelahnya ada gang besar, masuk kesitu, lurus saja, rumah mereka ada di ujung. Dan biarkan aku melanjutkan tidurku," jelas Dina yang langsung melanjutkan tidurnya.

"Huft, andai mengingat alamat semudah itu. Dia pikir aku akan mengingatnya, untung saja ada minimarket itu, jadi aku hanya akan mengubah tujuanku, aku akan kesana dan melihat gangnya," gumam Isa, yang lantas menjalankan mobilnya setelah lampu merah berganti dengan lampu hijau.

Sekitar sepuluh menit kemudian, akhirnya Isa berhasil menemukan minimarket yang dimaksud oleh Dina, ia pun melihat sebuah gang yang ada disebelah minimarket itu dan memasukinya. Isa menguap, meskipun kepalanya masih bergoyang karena lagu Bohemian Rhapsody yang legendaris, dengan volume yang kecil.

Tak lama kemudian, ia berhasil sampai di ujung gang itu dan melihat sebuah rumah kecil yang dipikirnya itulah rumah kontrakan anak-anak yang duduk di bangku tengah mobilnya. Isa lalu kembali menepuk-nepuk pundak Dina, dan Dina pun terbangun.

"Apa ini rumah mereka?" tanya Isa.

"Hmm, ya, kau memang pintar," jawab Dina yang belum sepenuhnya sadar.

"Ayo keluar," suruh Isa.

"Kau mengusirku?!" sewot Dina yang langsung membelalakkan matanya.

"Ssshhhhtttt. Maksud aku ayo kita keluar dan memastikan apa temanmu ada di dalam rumah itu atau tidak," lirih Isa yang takut kalau sampai Mona, Fina dan Zhani terbangun karena suara Dina.

"Kau memang pembuat alasan terbaik di dunia ini," bisik Dina, yang kemudian turun dari mobil

"Memang itulah yang harus kita lakukan," gumam Isa yang kesal.

Dina lantas mengetuk pintu rumah kontrakan yang Jhana tinggali, Isa lalu menyusulnya.

Karena tak kunjung mendapat respon, Dina mengetuknya lagi.

"Apa mungkin dia sudah tidur?" ujar Isa.

"Entahlah."

Masih tidak ada jawaban dari dalam meskipun Isa dan Dina sudah menunggu beberapa menit.

Rasa bosan dan iseng yang bercampur membuat Isa menekan daun pintu rumah itu, dan mereka berdua terkejut karena ternyata pintu rumah tersebut tidak dikunci dan rumah itu dalam keadaan gelap gulita pada bagian dalamnya.

"Halo? Kak Jhana?" panggil Dina.

"Apa ada orang di dalam?" ucap Isa.

Karena tak mendapat sahutan, Dina pun melepaskan sepatunya dan memasuki rumah itu, Isa juga melepaskan sepatunya dan mengikutinya. Dina lantas menyalakan lampu yang berada di ruang tamu, ruangan paling awal dari rumah itu. Namun tiba-tiba Isa menahannya.

"Tunggu!"

"Apa?" tanya Dina.

"Bagaimana jika temanmu itu dibunuh dan jasadnya ditaruh dirumah ini dan kemudian pembunuhnya pergi, makanya pintu rumah ini tidak dikunci."

"Iih! Jangan berpikir hal yang negatif!" Dina merasa geram.

"Ok, ok."

Kemudian mereka berdua berjalan menuju ruang tengah yang dibatasi oleh dinding dengan ruang awal yang di bagian ujungnya terdapat tembusan tanpa pintu yang mana bisa membuat mereka bisa masuk ke ruang tengah. Dari sini, Dina mulai deg-degan, dan yang dilakukan Isa hanya menutup mata sebab detak jantungnya menjadi lebih cepat dan terus menjadi lebih cepat.

Dina memegang sakelar lampu ruang tengah, dan sedang mengumpulkan keberanian untuk menekannya, apa lagi secara tiba-tiba Dina teringat perkataan Isa tadi.

'Bagaimana jika temanmu itu dibunuh dan jasadnya ditaruh dirumah ini dan kemudian pembunuhnya pergi, makanya pintu rumah ini tidak dikunci.'

Kata-kata itu terus terngiang dipikirannya.

'Argh! Kenapa aku jadi memikirkan perkataan Isa yang tadi? Kenapa tiba-tiba aku jadi deg-degan dan takut begini?' batin Dina.

'Jangan jasad, jangan jasad, jangan jasad, aku belum siap untuk melihat kasus pembunuhan secara langsung,' pikir Isa.

Dina kemudian ikut menutup kedua matanya karena mulai merasa merinding dan takut, setelah menutup matanya, ia pun menekan sakelar itu.

Isa dan Dina membuka kedua mata mereka secara perlahan, dan sangat terkejut dengan apa yang ada di ruang tengah.

"Apa yang terjadi disini?" ucap Isa, yang sangat terkejut melihat ruangan itu, sampai-sampai ia tidak berkedip sama sekali.

"Aku ... tidak percaya ini," ujar Dina yang juga sangat terkejut sampai tidak berkedip sama sekali.

avataravatar
Next chapter