66 Dia Terlihat Bingung

"Uang Zemira kugunakan untuk menabung," ucap Kevlar.

"Menabung?" tanya Jhana sembari mengernyitkan dahinya.

"Ya. Bunga adalah tipe perempuan yang suka diberikan perhiasan. Untuk membeli berlian sebanyak itu kepadanya, aku tak memiliki cukup uang. Terkadang untuk mencukupinya, aku mencuri uang dari perusahaan. Aku mencicilnya selama beberapa minggu. Agar Zemira tidak curiga kalau penghasilan dari perusahaan Farzin berkurang, aku mencuri uangnya kurang dari satu persen dari total jumlah pendapatannya, dan aku melakukannya selama bertahun-tahun. Mencuri uang dari brankas Zemira hanya selingan, lagi pula baru ini lagi kulakukan setelah empat tahun," papar Kevlar.

"Jadi Bunga percaya kalau kau membelikannya berlian-berlian itu dengan uangmu?"

"Ya, tentu saja."

"Jika Bunga percaya, maka artinya kau sangat kaya. Tapi kenapa kau tidak sanggup membeli perhiasan-perhiasan itu dengan uangmu?"

"Ada dua jawaban untuk pertanyaanmu itu. Pertama, hartaku bisa habis jika aku terus menerus membelikan Bunga banyak perhiasan, sebab sekalinya aku membelikannya sebuah perhiasan berlian, dia akan terus meminta yang baru. Dan masalahnya sekarang adalah, dia percaya kalau semua berlian itu dibeli dengan uangku, padahal tidak, dan itulah jawaban kedua."

"Karena hartamu jauh lebih sedikit dibandingkan dengan harta ayah, bahkan harta Bunga?" ujar Jhana yang menebak sendiri jawaban kedua.

"Tepat sekali. Jika aku dan Bunga diukur dari kasta, aku sangat jauh berada dibawahnya, meskipun aku tak serendah dirimu."

"Siapa kau sebenarnya?!" tanya Jhana.

"Hahaha, aku tahu kau melontarkan pertanyaan itu karena kau tidak habis pikir mengapa Zemira bisa menyetujui hubunganku dan Bunga, kan? Dan kau juga pasti bingung kenapa aku bisa tinggal disini, sementara seharusnya aku membawa Bunga tinggal di rumahku."

"Kau tidak perlu mengetahui itu semua, meskipun aku yakin kalau semuanya akan jelas bagimu pada suatu hari nanti. Tapi satu hal yang harus kau ketahui, kau tidak aman jika kau membuatku tidak aman," sambung Kevlar.

Jhana meneguk ludahnya. "Kenapa?"

"Karena kau tidak tahu apa-apa tentang diriku, dan keluargaku. Kau tidak tahu bagaimana permainanku, jadi jangan sok menjadi pahlawan disini," jawab Kevlar, ia kemudian berniat pergi.

"Satu hal lagi," kata Kevlar saat ia memegang engsel pintu kamar Jhana.

"Kau tidak perlu mencari tahu tentang diriku seperti aku mencari tahu tentang dirimu, tidak ada hal yang menarik di kehidupanku, aku hanya orang kelas menengah kebawah dan itu sama sekali tidak menarik," lanjut Kevlar, tak lama kemudian ia keluar. Jhana hanya bisa memandanginya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Puncak siang akhirnya usai, pada pukul 14:00, matahari siang mulai berganti dengan matahari sore, dan disaat seperti, Raya bersantai di taman dengan cara duduk di sebuah bangku taman ditemani secangkir kopi.

Sementara itu, Kevlar bersiap untuk kembali ke kantor juga memeriksa beberapa proyek yang belum rampung. Bunga sebagai istri melayaninya dengan cara merapikan dasi dan jasnya.

"Sayang, boleh aku bertanya satu hal?" ujar Bunga.

"Ya, apa?" sahut Kevlar.

"Apa yang terjadi pada Romeo dan Juliet?"

"Maksudku, apa mereka baik-baik saja? Kudengar mereka bercerai, apa itu benar?" sambung Bunga.

"Kenapa kau bertanya padaku? Kau bersahabat dekat dengan Juliet, kan?"

"Ya, tapi, kami tidak saling mengontak beberapa hari belakangan ini. Aku khawatir padanya."

"Setiap hari aku bertemu dengan Romeo, tapi dia tidak menceritakan apa-apa soal kehidupan pribadinya. Lagi pula itu tidak penting, bukan? Urusanku dengannya adalah tentang bisnis, bukan hal-hal seperti itu."

"Iya, aku tahu. Tapi apa salahnya bertanya?"

"Gosip itu sudah beredar di lingkungan proyek kami, jadi aku tidak perlu bertanya padanya karena hal itu sudah pasti benar."

"Menurutmu apa yang harus kulakukan?" tanya Bunga.

"Setelah aku pergi? Atau apa?" Kevlar bertanya balik.

"Tentu pada Juliet, dia menjadi topik pembicaraan kita dari tadi. Kemana pikiranmu melayang?"

"Sudahlah, Bunga. Untuk apa kita membicarakan masalah rumah tangga orang lain? Tidak usah berusaha terlibat dalam hal-hal seperti itu. Masalah di kehidupan kita saja kadang tak bisa kita selesaikan, jadi tidak perlu kita memikirkan masalah orang lain."

"Tapi Juliet itu sahabatku. Disaat dia dalam masalah, aku harus ada untuknya."

"Kau ingin menunjukkan rasa kepedulianmu padanya? Lalu kenapa ketika kau mengetahui perceraiannya kau tidak mendatanginya? Itu akan membuatnya merasa kau peduli padanya, bukan?"

"Benar, tapi aku merasa ini bukan saat yang pas untuk menemuinya, dia pasti sedang stress sekarang."

"Kalau begitu terserahmu saja, aku akan mendukung tindakan apapun yang akan kau ambil."

"Baiklah, terima kasih."

Beberapa menit kemudian, Bunga pergi ke taman dengan membawa secangkir teh hijau dan duduk di sebuah pondok yang letaknya tak jauh dari bangku taman.

"Kenapa kau mau berpanas-panasan di bangku itu? Duduklah disini," kata Bunga pada Raya.

"Hanya sedang menikmati matahari sore, tapi jika kau ingin aku duduk bersamamu, tidak apa," ujar Raya sembari berjalan menuju pondok tersebut.

"Jadi, apa rencanamu hari ini? Pergi berbelanja? Salon? Spa?" tanya Bunga.

"Tidak ada, kurasa aku akan menghabiskan waktuku disini saja. Lagi pula Khansa akan datang sebentar lagi."

"Bagaimana denganmu?" Raya bertanya balik.

"Aku masih bingung," jawab Bunga.

"Kenapa? Memangnya apa yang ingin kau lakukan?"

"Kevlar menyarankanku untuk datang menemui Juliet, tapi aku merasa kalau ini bukan saat yang tepat untuk mendatanginya karena disaat-saat seperti ini pasti dia sedang banyak pikiran. Namun entah kenapa di sisi lain aku merasa kalau Juliet sebenarnya sedang membutuhkanku untuk berada di sampingnya," jelas Bunga.

'Juliet lagi. Kenapa Bunga sangat memikirkannya?' batin Raya.

"Lakukan saja apa yang ingin kau lakukan," ucap Raya.

"Tapi kau pahamlah, kalau keputusanku lima puluh lima puluh," ujar Bunga.

"Agar kau mendapatkan keputusan yang tepat, sebaiknya kau memikirkannya dengan baik dan dalam waktu yang tidak cepat. Hanya itu saran dariku."

"Baiklah, terima kasih, saranmu cukup bagus."

Raya hanya tersenyum, dan secara tidak sengaja ia melihat mobil Khansa terparkir di garasi dan pemiliknya sedang berjalan kearahnya dan Bunga.

"Halo kakak-kakakku," sapa Khansa. Bunga dan Raya membalas sapaannya dengan sebuah 'hai'.

"Siap untuk hari ini?" tanya Raya.

"Seratus persen siap!" jawab Khansa dengan mantap.

"Siap untuk apa?" Bunga tampak bingung.

"Astaga! Aku lupa memberitahu kak Bunga kalau hari ini aku akan jalan-jalan dengan Arvin selama jam istirahatnya," kata Khansa.

"Apa? Bagaimana kau bisa melakukan itu? Bagaimana Arvin menyetujuinya? Dan Salma, bagaimana dengannya?"

"Itu rahasianya, dia bahkan tidak mau memberitahuku," ucap Raya.

"Hehe, tapi tenang saja. Aku pastikan, gadis rendahan itu tidak akan curiga, dan aku jamin Arvin pasti akan melupakan dan memutuskannya," ujar Khansa.

"Dia lebih hebat dari pada kita," kata Raya.

"Satu jam lagi adalah waktu istirahat Arvin, jadi kita bisa mengobrol selama kurang lebih setengah jam disini," ucap Khansa.

"Baiklah, apa rencanamu selanjutnya untuk Salma?" tanya Raya.

"Aku harus merencanakan apa lagi? Sebentar lagi dia akan tersingkir kan?" jawab Khansa.

"Kau harus tahu kalau orang miskin itu noda membandel. Jadi kau harus memiliki rencana cadangan untuk menyingkirkannya."

"Yah, sepertinya dia tidak akan melepaskan Arvin dengan begitu mudah. Jadi ... Hahahaha."

"Hahahaha." Raya ikut-ikutan tertawa.

"Tampaknya kita sepemikiran," ujar Khansa.

"Aku belum pernah bertemu dengan orang yang pikirannya sangat cantik seperti dirimu," puji Raya.

"Kalau aku cantik, maka pikiran aku harus cantik juga, bukan?"

"Benar sekali. Lagi pula, membunuhnya adalah ide yang brilian dan cara yang sangat tepat."

"Itu pasti."

"Bunuh? Kalian akan membunuh siapa? Apa yang kalian bicarakan?" tanya Bunga.

"Tentu saja Salma. Aku akan menghabisi Salma jika dia ingin bermain denganku ketika aku berusaha merebut Arvin darinya," jawab Khansa.

"Tapi, ini tidak masuk dalam kesepakatan awal kita. Kita bahkan tidak pernah membicarakan hal ini."

"Memang, sebab ini hanyalah rencana cadangan."

"Ada apa denganmu? Jangan ketakutan begitu. Noda membandel memang patut dibasmi," kata Raya.

"Tapi, rencana cadangan ini tidak benar. Mengakhiri nyawa seseorang bukan tugas manusia. Ini kesalahan."

"Tenang, tenang. Ini hanya rencana cadangan. Tapi aku akan senang apa bila dia ingin mengajakku bermain," ujar Khansa.

"Jika kalian sampai melakukannya, aku tidak akan terlibat dan jangan libatkan aku."

"Aku pun tidak akan terlibat," kata Raya.

"Sebab ini tugasku," timpal Khansa.

"Mmm, mungkin aku akan mendatangi Juliet saja. Maaf, aku harus meninggalkan pembicaraan ini. Permisi," ucap Bunga. Ia merasa risih sekarang, benar-benar risih dengan rencana cadangan itu, sebab tak pernah terlintas dipikirannya ide untuk membunuh orang.

'Dia mulai tahu siapa aku sebenarnya, aku sukses membuatnya resah,' batin Raya.

'Kenapa mereka hal gila itu terlintas di pikiran mereka? Apa pikiran mereka yang sudah gila sebelum diracuni oleh ide gila?' batin Bunga.

Tanpa sengaja saat ia berjalan menuju mansion, ia menabrak Fina yang baru keluar dari kamar Jhana. Hal itu membuatnya tak sengaja menjatuhkan cangkir kopinya yang sudah kosong dan membuat cangkir tersebut pecah. Fina kontan saja langsung ketakutan saat menyadari kalau orang yang bertabrakan dengannya adalah Bunga.

"Maaf, bibi, maaf. Iya aku yang salah, aku berjalan dengab tidak menggunakan mataku dengan baik. Maaf, bibi, maaf, aku tidak sengaja," ujar Fina.

"Tidak apa, ini bukan salahmu. Aku lah yang menabrakmu," kata Bunga.

Pernyataan Bunga barusan tentu saja membuat Fina heran sekaligus kaget. Bagaimana tidak, Bunga yang biasanya selalu membenarkan diri, terlebih lagi padanya dan saudara-saudaranya. Bunga selalu menyalahkan mereka bertiga.

Tapi sekarang, bagi Fina, entah roh apa yang telah merasuki Bunga sehingga membuatnya terlihat berbeda.

"A-aku akan bertanggung jawab," ucap Fina yang berniat untuk mengutip serpihan cangkir itu.

"Jangan! Tanganmu bisa berdarah nanti, aku akan menyuruh Jaya membersihkannya," ujar Bunga.

"Eh? B-baiklah."

Bunga kemudian melanjutkan langkahnya dengan wajah ling lung.

"Aku akui dia berubah, tapi entah kenapa aku lebih menyukai bibi Bunga yang biasanya," gumam Fina.

"Tapi ada apa dengannya? Apa yang terjadi pada bibi Bunga? Kenapa dia terlihat bingung?" sambung Fina.

'Mungkin sebaiknya aku melupakannya, sebab jika aku mencampuri urusan bibi Bunga ataupun bibi Raya, aku pasti akan dimarahi dan berada dalam bahaya,' batin Fina.

'Tapi hal ini menggangguku.'

avataravatar
Next chapter