41 Di Antara Rahasia Anak Kecil

"Sebenarnya saya baru membutuhkan seorang pelayan baru disini dua minggu lagi," ucap pak Toni.

"Eh? Jadi kenapa bapak membuka lowongan secepat ini?" tanya Joshua.

"Seorang pekerja disini pernah mengundurkan diri karena dia akan menikah kurang dari tiga minggu lagi, dan saya menemukan penggantinya kurang dari lima hari. Selama itu, saya terus menerus mendapatkan keluhan dari pekerja disini, tidak semua memang, hanya para pelayan. Dan itu membuat saya sadar kalau saya harus langsung membuka lowongan pekerjaan ketika salah satu pekerja saya mengatakan kalau dia akan mengundurkan diri. Karena selain mendapatkan keluhan dari mereka karena rasa lelah mereka jadi berlipat ganda, saya juga harus menggaji mereka agak lebih banyak dari biasanya untuk membungkam mulut mereka."

"Jadi ...?"

"Kau lihat pria yang sedang minum itu?" ujar pak Toni seraya menunjuk Andra yang sedang meminum segelas teh. Joshua menjawabnya dengan 2 anggukan.

"Semalam dia mengatakan pada saya kalau dia akan kembali ke Aceh, kampung halamannya dan kemungkinan besar tidak akan pernah kembali lagi ke Jogja karena kuliahnya sudah selesai. Dan dia akan mulai berhenti bekerja dua minggu kedepan. Jadi tidak masalah juga kan kalau saya membuka lowongan dari sekarang hanya untuk persiapan agar ketika dia berhenti bekerja nanti, sudah ada orang yang menggantikannya."

"Begitu rupanya."

"Jadi kau kuterima. Tidak masalah jika kau baru bisa bekerja dua minggu lagi, asalkan ketika dia sudah berhenti, kau langsung bisa menggantikannya."

Raut wajah kebahagiaan pun terpancar dari wajah bibi Vey dan Joshua, mereka tersenyum lebar atas pernyataan pak Toni barusan.

"Terima kasih banyak, Tuan!" ucap bibi Vey.

"Sama-sama. Tapi ingat, keponakan Anda ini harus ada ketika dia sudah dibutuhkan disini," ujar pak Toni.

"Pasti!"

"Terima kasih, pak ..."

"Toni, panggil saja saya dengan sebutan pak Toni," pak Toni menyela ucapan Joshua.

"Baiklah, sepertinya saya akan sangat nyaman bekerja disini," kata Joshua.

Pak Toni tersenyum. "Selamat datang, Joshua."

Di dapur mansion Dhananjaya, Jhana tampak sedang meneguk air hangat untuk mencairkan pikirannya. Dihapadannya kini hanya ada Fina, lebih tepatnya di dapur itu hanya ada Jhana dan Fina yang sudah pulang dari sekolahnya.

"Ibu baik-baik saja? Tidak biasanya ibu meminum air hangat seperti ini," ucap Fina.

"Ya, ibu baik-baik saja, hanya sedikit lelah," jawab Jhana.

"Mau aku pijat?"

"Hmm, boleh juga, ibu sudah lama tidak merasakan pijatan anak-anak ibu."

Fina lalu tersenyum sembari berjalan ke samping Jhana, kemudian mulai memijat tangan kiri ibunya itu.

"Dimana Mona dan Zhani?" tanya Jhana.

"Kak Mona belum berani masuk kesini lagi, dan Zhani menemaninya di kamar kak Tantri."

"Kenapa kalian masih tinggal di kamar Tantri? Kenapa tidak di kamar ibu saja?"

"Apa ibu baru memikirkannya sekarang?"

"Kau tahu ibu sangat sibuk, memikirkan hal seperti itu tidak pernah ibu rencanakan sebelumnya."

"Yah, kami bertiga sudah memikirkannya. Memang sangat bagus jika kami tinggal di kamar ibu, jadi kita akan tidur bersama seperti dulu lagi. Tapi, jika semuanya dilakukan secara mendadak, yang ada nanti malah tercipta kecurigaan, baik dari kak Tantri atau pun paman Isa, kak Dina juga."

"Kau benar. Mungkin kita harus melakukan pendekatan di hadapan orang lain, dan membuat kita menjadi akrab dulu agar hal itu bisa terwujud."

"Ya dan itu akan memakan waktu yang lama."

"Ibu tidak suka hal yang bertele-tele. Kita sudah menunjukkan pada Tantri kemarin kalau ibu sedang melakukan pengakraban dengan kalian, dan dari situ seharusnya dia tidak akan curiga jika nanti kita sampai tidur dalam satu ruangan yang sama lagi."

"Hanya kak Tantri."

"Perlahan kesemuanya."

"Baiklah. Ibu merasa baikan?"

"Pegalnya hilang. Anak-anak ibu memang pemijat terbaik di seluruh dunia."

"Anak ibu ada tiga, hanya ada satu yang terbaik, dan lagi pula cita-cita kami bukan untuk jadi tukang pijat."

"Hahaha, kalian yang terbaik."

"Bagaimana sekolahmu? Semuanya lancar, kan?" Jhana bertanya pada Fina yang kini memijat tangan kanannya.

"Akhir-akhir ini PR agak dikurangi. Terdengar menyenangkan memang, tapi, jika tidak ada PR, aku merasa bingung hal apa yang harus kulakukan karena aku tidak memiliki pekerjaan."

Jhana lantas terkekeh. "Anak baik."

Tidak lama kemudian, Arka datang dengan sebuah piring kotor ditangannya.

"Hey, lama tidak bertemu, padahal kita hidup bertetanggaan," Fina menyapa Arka.

"Hey, maaf, aku jadi takut keluar."

"Kenapa?"

"Bisa kita berbicara berdua saja? Maaf kak Karin, bukan bermaksud aku risih dengan kehadiranmu."

"Tidak apa, terkadang anak kecil juga harus memiliki rahasia dengan temannya," ujar Jhana.

"Aku akan melanjutkan pekerjaanku, kalian mengobrol saja disini," sambung Jhana.

"Pemijatannya bisa dilakukan lagi nanti, kan?" ucap Arka.

"Tentu saja, pijatan Fina sangat enak," kata Jhana, wanita itu lantas pergi dari dapur tersebut.

"Apa yang terjadi?" tanya Fina setelah Jhana pergi.

"Aku yakin semua orang yang tinggal disini sudah tahu apa yang terjadi padaku lima hari yang lalu, kan? Dan termasuk kau," ujar Arka.

"Ya, aku tahu. Kau pingsan karena sakit, kan?"

"Sayangnya bukan itu penyebabku pingsan, aku akan menceritakan kebenarannya hanya kepadamu, karena aku sudah tidak tahan untuk memendamnya sendiri. Berjanjilah padaku untuk tidak menceritakannya pada siapa pun, termasuk pada Mona dan Zhani."

"Aku bisa berjanji, tapi kurang bisa bersumpah."

"Ok, kupikir itu tidak masalah, ayo duduk."

Kedua bocah itu lalu duduk di kursi yang terdapat di dapur tersebut, karena jumlah kursinya hanya ada 2.

Sementara itu, Jhana berhasil mengelabui Arka. Ia sebenarnya tidak pergi, melainkan menguping pembicaraan Arka dan Fina di depan dapur, tepatnya di bagian dinding, berharap ia akan mendapatkan sebuah kebenaran yang tidak perlu diragukan lagi mengenai kejadian yang menimpa Arka beberapa waktu lalu.

"Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Fina.

"Setelah aku dibawa ke kamar oleh ibuku, aku di hukum, aku dikunci dari luar dan tidak diperbolehkan makan dan minum sampai besok paginya oleh ibuku. Jangankan diperbolehkan, diberi saja tidak," jawab Arka.

"Dan itu adalah hukumanmu karena bermain bersamaku dan saudara-saudaraku?"

"Ya, hal itu membuatku lemas dan pingsan pada pagi hari itu. Beruntung nenek membuka pintu, jadi pertolongan datang untukku, jika tidak, mungkin sekarang aku tidak bisa bercerita seperti ini padamu. Ibu lalu berbohong pada semuanya dengan mengatakan kisah yang kalian tahu."

"Jadi yang dikatakan bibi Raya tentangmu itu tidak benar?"

"Ya."

"Yang benar adalah sebenarnya dia tidak memberikanmu makan dan minum selama belasan jam sebagai hukumanmu dan hal itu membuatmu pingsan?"

"Tepat sekali."

"Kenapa ibumu berbohong?"

"Entahlah. Tapi mari coba kita pikirkan, jika semuanya tahu cerita yang sebenarnya, apa mereka akan membenci ibuku?"

"Aku rasa iya."

"Mungkin itulah alasan ibuku berbohong."

"Itu resikonya, bukan? Jika dia tidak ingin dibenci, kenapa dia melakukan hal seperti itu?"

"Aku juga tidak mengerti."

"Dan kenapa kau tidak mengatakannya pada siapa pun selain aku sekarang?"

"Karena aku merasa kalau aku membongkar segalanya, maka ibu akan melakukan hal yang lebih mengerikan padaku dari pada hanya sekedar membiarkanku kelaparan dan kehausan seperti waktu itu."

"Kau akan dilindungi, Arka, tidak mungkin ibumu bisa melakukan hal itu setelah semua orang percaya kalau ceritamu adalah kebenarannya."

"Aku akan terlindungi kalau semua orang percaya dengan ceritaku, jika tidak, ketakutanku itu mungkin akan jadi nyata."

"Tapi, apa kau percaya pada ceritaku?" sambung Arka.

"Kenapa tidak?" ujar Fina. Arka lantas tersenyum.

"Terima kasih. Setelah itu, aku lebih memilih untuk sangat mematuhi segala perintah ibuku, aku tidak keluar agar tidak bermain dengan kalian lagi, tapi sebenarnya aku sangat ingin bertemu dengan kalian untuk menceritakan hal itu, dan sekarang aku bertemu denganmu disini. Aku juga meminta untuk diantar secara terpisah darimu. Aku minta maaf jika hal itu menyakiti hati kalian."

"Tidak, tidak sama sekali, sebab kami tahu kalau kau pasti punya alasan yang masuk akal dan kuat."

Arka tersenyum lagi.

"Aku menyimpan kebenarannya sendiri dan merasa sedikit menderita, tapi ketika aku bercerita padamu, aku merasa sedikit lega. Terima kasih karena telah menjadi teman bicara yang baik."

"Kami akan selalu ada untuk melindungimu."

'Karena kau juga adikku,' batin Fina.

"Maaf jika aku tidak menepati perjanjiannya," ucap Jhana yang kembali masuk ke dapur setelah menguping pembicaraan Fina dan Arka.

"Kak Karin? Maksud kakak, kakak mendengar pembicaraan kami?" tanya Arka yang terlihat kaget.

"Tidak, tapi aku menguping percakapan kalian dan mengetahui keberannya. Arka, aku ada dipihakmu."

"Aku tahu sejak awal ada yang tidak beres dari kejadian itu, dan sekarang aku tahu segala tentang hal itu dari mulutmu sendiri, mungkin tepatnya dari hasil menguping."

"Tapi ..." lirih Arka.

"Jangan khawatir, aku akan menjaga rahasia ini. Terkadang di antara rahasia anak kecil, harus ada orang dewasa yang mengetahuinya juga agar rahasia itu bisa tertutup rapat."

"Kakak berjanji?" tanya Arka.

"Janji."

Arka terdiam sesaat.

"Ok, tidak apa-apa. Aku semakin merasa lega sekarang."

Jhana lalu tersenyum mendengar pernyataan anak tirinya itu.

'Kecurigaanku akhirnya terbukti benar. Raya benar-benar seorang iblis berbentuk manusia, kenapa dia bisa tega melakukan hal semacam itu pada anaknya sendiri?' batin Jhana.

"Rahasia apa?" Sebuah suara muncul dari arah pintu dapur dan mengejutkan Jhana, Fina dan Arka.

avataravatar
Next chapter