58 Cekik

Jhana bangkit dari posisinya secara perlahan. Ia kemudian menghadap Raya dengan gugup.

"Kami sedang tidak membicarakan Anda," ucap Jhana secara pelan-pelan.

"Masih bisa kau membuat alasan disaat seperti ini?" tanya Raya.

"Saya tidak berbohong, Nyonya."

"Tumben sekali kau berbicara dengan sopan padaku."

'Kenapa dia mengalihkan topik pembicaraannya?' batin Jhana.

"Nyonya, Anda salah paham. Saya dan Tuan Farzin tidak membicarakan Anda. Anda hanya merasa hal yang tidak terjadi," ujar Jhana.

"Lalu apa yang kau lakukan disini?"

'Dia tidak mempertahankan pendapatnya?' batin Jhana.

"Hanya memeriksa keadaan Tuan Farzin," jawab Jhana.

Raya hanya terdiam, wanita itu melihat reaksi Tn. Farzin atas pembicaraannya dengan Jhana, namun Tn. Farzin tidak menunjukkan ekspresi apa-apa di wajahnya untuk menyembunyikan hal yang sebenarnya terjadi dari Raya

'Dugaanku benar, dia hanya asal melontarkan kata-kata, berharap kalau ucapannya akan benar, tapi kalau ternyata tidak benar, dia mengalihkan topik pembicaraannya. Bisa gawat jika aku sampai terpancing tadi. Raya sangat pandai membuat orang buka suara soal hal yang bahkan tidak bisa dia pastikan kebenarannya,' batin Jhana.

"Ada apa ini? Kenapa aku mendengar ada keributan disini dari ruang tamu?" ucap Ny. Zemira yang baru datang.

"Jadi begini, ibu." Raya berusaha menjelaskan apa yang terjadi, namun Jhana langsung menyelanya.

"Nyonya Raya menuduh saya telah membicarakan dirinya bersama Tuan Farzin," sambar Jhana.

"Apa? Hahaha. Raya, lakukanlah hal-hal yang berguna mulai sekarang. Mustahil bagi ayah mertuamu untuk bisa berbicara. Tuduhanmu sangat tidak masuk akal, nak," Ny. Zemira terkekeh.

'Astaga, aku sudah salah bicara. Tidak mungkin ibu tidak akan mengetahui kalau sebenarnya ayah sudah mulai bisa kembali berbicara,' batin Jhana.

"Sudah, sudah. Keluarlah, ayahmu pasti sudah gerah dengan kesalahpahaman yang terjadi," suruh Ny. Zemira pada Raya. Raya tampak kesal dengan pengakuan Jhana, seolah Jhana tahu kalau ia akan membuat jawaban palsu. Wanita itu kemudian keluar dari kamar itu dengan wajah kesal.

"Dan kau, Karin. Apa yang kau lakukan disini? Ini kedua kalinya aku melihatmu berada di kamarku tanpa izin dariku," tanya Ny. Zemira pada Jhana.

"Saya .."

"Jangan katakan kalau kau hanya melihat keadaan suamiku," Ny. Zemira menyela.

Jhana hanya bisa diam.

"Aku tidak akan mengatakan apapun lagi padamu, karena aku tahu, sekalipun kau tahu aturan di rumah ini, kau akan tetap melanggar dan terus melanggarnya," sambung Ny. Zemira.

"Nyonya .."

"Cukup! Aku tidak ingin mendengar alasan apapun lagi darimu. Keluar kau dari sini," ujar Ny. Zemira.

Jhana lantas keluar dari kamar itu.

Semuanya berjalan lancar seperti biasa di rumah makan Populer. Para pekerja melakukan pekerjaan mereka dengan baik. Tak terkecuali Wanda dan Andra. Meskipun mereka terlihat menjauh, tapi kinerja mereka tidak berubah.

"Ssht." Yahya memanggil Wanda untuk mendekatinya.

"Apa?" sahut Wanda dengan nada yang malas, namun ia justru mendekati Yahya.

"Ada apa? Kenapa kau dan Andra terlihat aneh hari ini?" bisik Yahya pada Wanda.

"Apa urusanmu?" Wanda bertanya balik.

"Aku kan teman kalian, tidak salah kan jika aku memberikan kalian rasa kepedulian?" jawab Yahya.

"Kau memang pandai membuat alasan."

"Yasudah, ceritakan saja padaku apa yang terjadi diantara kalian. Tidak ada yang akan mendengar kita. Kau lihat sendiri kalau semuanya sedang sibuk, bahkan Arvin dan Andra juga."

"Huft. Kami putus."

"Jangan katakan ini hanya taktikmu untuk mulai mendekati Arvin."

Wanda mengernyitkan dahinya. "Tidak, aku hanya marah padanya."

"Kenapa?"

"Dengar, Yahya. Dia akan pulang kampung kurang dari dua minggu lagi dan dia memastikan kalau dia tidak akan pernah kembali lagi ke Jogja."

"Lalu? Apa masalahnya? Kau bisa ikut, kan?"

"Masalahnya adalah, dia baru mengatakannya padaku semalam. Aku bisa saja ikut dan aku ingin ikut, tapi sebelas hari tidak cukup untuk mempersiapkan segalanya, sedangkan dia sudah siap berangkat. Dia bahkan sudah mengatakannya pada pak Toni, tapi padaku? Dia beralasan lupa mengatakannya. Pria macam apa dia?"

"Karena itu kau memutuskannya?"

"Tentu saja iya! Murahan sekali aku jika aku mempertahankannya."

"Hahaha. Bukankah ini yang kau tunggu sejak kedatangan Arvin?"

"Aku akan membunuhmu jika kau terus berkata hal-hal seperti itu."

"Benarkah? Jika kau sampai mendekatinya dan berusaha menghancurkan hubungannya dengan Salma, akulah yang akan membunuhmu," canda Yahya.

"Berisik," sewot Wanda yang kemudian meninggalkan Yahya. Sedangkan Yahya hanya terkekeh.

Arvin lalu pergi ke dapur dengan nampan kosong dan sebuah senyuman. Namun ketika ia kembali, ia terkejut dengan kehadiran Khansa yang sedang berbincang dengan Yahya.

"Itu dia!" Yahya berseru sembari menunjuk Arvin.

"Hei, sayang," sapa Khansa pada Arvin seraya berjalan mendekatinya. Sapaannya ini sontak membuat Yahya, Wanda dan Andra terkejut setengah mati.

"Tunggu," ucap Yahya sambil berdiri.

"Kau selingkuh dari Salma? Atau kau selingkuh darinya?!" tanya Yahya pada Arvin.

"Yahya, ini salah paham," ujar Arvin.

'Ini bagus. Jika Arvin bisa selingkuh, itu artinya kesempatanku untuk merebutnya dari Salma semakin besar,' batin Wanda.

"Ini sudah jelas. Kau ternyata bukan pria baik-baik," kata Yahya.

"Ada apa? Akui saja. Bukankah itu lebih baik?" ujar Khansa pada Arvin, gadis itu lantas menggenggam tangan Arvin.

"Apa-apaan kau! Lepaskan!" Arvin memberontak.

"Cium aku, baru aku akan melepaskannya."

"Kau!"

"Argh! Khansa, dengar. Peraturan disini adalah, para pekerjanya tidak boleh bermesraan dengan pasangan mereka! Jadi lepaskan aku! Para pelanggan melihat kearah kita!" sambung Arvin.

"Kenapa? Kenapa harus ada peraturan seperti itu? Setiap orang berhak untuk melakukan hal-hal mesra dengan pasangan mereka, kan? Dan terima kasih karena telah mengakuiku sebagai pasanganmu, sayang," ucap Khansa.

"Khansa! Kau benar-benar menjijikkan! Lepaskan aku!"

"Baiklah, baiklah, aku melepaskanmu."

"Tapi dengan ini," lanjut Khansa seraya mencium pipi kiri Arvin.

"Itu melanggar aturan!!" seru Wanda. Yang lain? Hanya bisa diam, termasuk para pelanggan yang tak memalingkan perhatian mereka dari Arvin dan Khansa.

Lain Arvin, lain pula Raya. Ia benar-benar sedang sangat kesal sekarang atas pengakuan Jhana yang membuatnya ditertawakan oleh Ny. Zemira.

"Dasar wanita sialan! Karin sialan! Kurang ajar kau!" geram Raya sembari berjalan keluar dari dalam mansion ke halaman depan.

Ia lalu berjalan menuju taman, dimana disana Mona sedang memberi makan beberapa ekor kucing. Sedangkan Zhani dan Ismail pergi ke kandang kuda yang letaknya berada di luar gerbang.

"Hei! Jangan lari!" teriak Mona kepada seekor kucing yang tadinya berada di hadapannya, namun sekarang kucing itu berlari kearah belakang Mona. Mona pun langsung berdiri dan menghadap belakang, namun bukan kucing yang di dapatinya, melainkan orang yang pernah berusaha untuk membunuhnya, tapi gagal.

Siapa lagi kalau bukan Raya.

Seketika itu juga Mona langsung teringat wajah Raya yang sempat dilihatnya beberapa saat setelah ia tenggelam. Wajah itu menunjukkan ekspresi kegeraman, dan memancarkan aura membunuh yang kejam.

Mona benar-benar ketakutan sekarang, sepertinya ia akan gagal untuk melupakan kejadian buruk itu. Entah siapa yang akan menyelamatkannya sekarang, ia hanya berharap Tuhan akan mengirimkannya seorang malaikat sekarang.

"Kau lagi! Kenapa hanya muka jelekmu yang ada disaat aku sedang sangat kesal?!" bentak Raya.

"Sejak kau tinggal disini, aku sudah muak menghindarimu! Kau menjijikkan! Sudah cukup aku menjauhimu! Kau yang harus menjauhiku dan sadar betapa menjijikkannya dirimu!" sambungnya.

"Tapi ... Aku tidak pernah mendekati bibi, aku selalu menjauhi bibi Raya. Bibi saja yang selalu mendekatiku," ucap Mona.

"Kau manusia kotor! Hina! Tidak ada bedanya dengan Karin! Dasar yatim!"

"Kau boleh menghinaku! Tapi kau tidak boleh menghinanya!!" Mona berseru untuk membela Jhana.

"Kau!" Raya yang tampak geram, kemudian mendekati Mona dan menyentil mulut gadis kecil itu dengan keras sampai membuat Mona terkejut setengah mati.

"Berani kau berbicara tidak sopan padaku?! Berani?!" sambungnya. Mona hanya menggeleng sembari menundukkan kepalanya.

Tanpa mereka sadari, Salma sebenarnya berada di depan pintu dan baru saja melihat kearah mereka.

"Kau membuatku muak! Ingin rasanya aku menghabisimu sekarang juga!" ancam Raya.

"Kau jahat!" teriak Mona.

"Diam kau! Diam!" geram Raya sambil menutup mulut Mona dan mendorongnya hingga jatuh. Salma yang melihat hal itu, langsung bergerak menuju taman.

"Dimana sopan santunmu?! Siapa kau sebenarnya?! Hmm?!!!" tanya Raya. Emosinya sedang meluap-luap sekarang dan sudah melampaui batasan yang ada, dengan kata lain, Raya melakukan hal gila untuk kedua kalinya pada Mona. Jika sebelumnya ia pernah menenggelamkan Mona dengan sengaja, kali ini ia mencekik Mona dengan sangat erat, sangat.

"K-kau uhuk! Kau tidak pantas untuk mendapatkan perlak-uan sopan dari siapapun!" ucap Mona yang sudah kesulitan bernapas, namun ia masih berusaha melepaskan telapak tangan Raya dari lehernya.

"Aku tidak peduli akan apapun yang kau katakan lagi. Karena sesaat lagi, kau akan sadar, kalau sebenarnya kau sudah tidak berada di dunia ini lagi," kata Raya.

Disaat seperti ini, Mona benar-benar sudah tidak bisa berbicara lagi. Napasnya mulai menipis dan tenaganya mulai melemah, sehingga membuat tangannya terlepas dari tangan Raya.

Raya sendiri sudah optimis kalau aksinya kali ini akan berhasil. Hal itu bisa dilihat dari senyum yang terukir di wajahnya. Wanita itu berpikir kalau setidaknya daftar orang yang dibencinya akan berkurang 1.

Namun ke-optimisannya itu berubah menjadi rasa kaget dan takut secara bersamaan, sebab tangan Salma mendarat tepat di tangannya yang mencekik leher Mona dan hal itu sukses membuatnya melepaskan tangannya dari leher Mona.

avataravatar
Next chapter