55 Bulan Madu

[16 HARI MENUJU PERNIKAHAN ISA & DINA]

Pagi-pagi sekali Arvin sudah tiba di rumah kontrakan Salma dan neneknya yang ukurannya jauh lebih kecil dibandingkan mansion Dhananjaya. Di pukul 05:15, pria tersebut pun mengetuk pintu rumah itu.

"Iya, iya, sebentar," ucap nenek Marimar dari dalam. Mendapati kalau nenek Marimar lah yang membukakan pintu untuknya, Arvin pun langsung memberikan salam yang dibalas oleh wanita tua itu.

"Siapa kau, anak tampan?" tanya nenek Marimar.

Arvin sontak saja menjadi bingung.

"Nenek! Siapa disana?!" Salma berteriak dari dalam.

"Salah satu pria idamanku!" jawab nenek Marimar.

Sambil tergesa-gesa, Salma kemudian muncul dari dalam dan keluar dengan membawa sepasang sepatunya.

"Kau akan pergi dengannya? Siapa dia? Dia terlalu tampan untuk menjadi sopir kekasihmu," ucap nenek Marimar.

"Nenek, nenek ini bicara apa? Ini Arvin. Bagaimana bisa nenek lupa kepadanya?" ujar Salma. Nenek Marimar lantas langsung memandangi Arvin dari ujung rambut hingga ujung kuku pria itu.

"Oh, astaga. Hahahaha. Benar, kau Arvin. Maaf, kita baru sekali bertemu selain sekarang, jadi aku belum menandai wajah tampanmu, karena terlalu banyak wajah pria tampan yang telah kutandai di usiaku yang lebih dekat ke kuburan dari pada kesenangan khas anak muda," kata nenek Marimar sambil tersipu malu.

"Tidak apa, nek. Aku mewajarkan itu, hanya kepada nenek. Karena nenek sangat spesial bagiku, dan bagi mataku yang sudah sangat beruntung karena telah melihat wanita secantik dan seseksi nenek," goda Arvin sembari mencoel pipi kiri nenek Marimar. Aksinya itu pun membuat jiwa nenek Marimar 'melayang-layang di udara'.

"Apa yang seksi dari kulit yang sudah keriput?" tanya Salma dengan polosnya yang sontak mengubah mood neneknya.

"Apa maksudmu?!" nenek Marimar bertanya balik.

"Apa aku salah bicara?" keluh Salma.

"Tentu saja! Tidak ada wanita seseksi nenek Marimar yang pernah kutemui di dunia ini," ujar Arvin.

"Bagaimana dengan wanita-wanita malam yang dulu sering kau temui? Kehidupanmu dulu dekat dengan mereka, kan?" tanya Salma dengan polosnya. Arvin kontan saja terkejut dengan pertanyaan kekasihnya itu.

"Kau tahu? Terkadang ucapanmu benar, tapi kebenaran itu membuatku kesal sekarang," ucap Arvin.

"Tidak ada yang perlu di sesali dalam hidup ini. Jika kau kesal dengan masa lalumu, buatlah masa depan yang tidak akan membuatmu menyesal dan kesal nantinya. Lakukan hal-hal yang baik sekarang dan jangan ulangi hal-hal buruk yang sudah kau lakukan. Manusia itu memang tidak bisa lepas dari kesalahan, tapi, jika manusia itu membiarkan dirinya jatuh kedalam kesalahan yang sama, itu namanya bodoh," kata Salma sambil berdiri usai memasang sepatunya.

"Kau benar-benar gadis polos yang tidak polos."

Salma terkekeh kecil.

"Yasudah, kalian pergi sana. Ayo pergi sebelum sarapan dirumah Arvin dimulai," suruh nenek Marimar.

"Apa maksud nenek?" Arvin tampak bingung.

"Oh, astaga, ternyata ada juga pria tampan yang tidak mengerti bahasa negara asalnya," keluh nenek Marimar.

"Maksudku, apa nenek tidak akan ikut dengan kami? Perkataan nenek menunjukkan hal itu."

"Hahahaha. Ternyata itu maksudmu. Aku kira kau sedikit bodoh sehingga tidak mengerti sebuah perintah."

"Ya, aku tidak akan ikut bersama kalian. Padahal aku juga ingin berkenalan dengan kedua orangtuamu. Tapi, anak dan menantuku tiba-tiba memutuskan untuk datang kesini setelah aku mengatakan pada mereka kalau Salma akan datang kerumahmu, mereka bilang mereka ingin ikut," sambung nenek Marimar.

"Mereka sudah berangkat, kan? Kenapa kau tidak bilang padaku tentang hal ini? Kalau aku tahu hal ini lebih awal, aku bisa mengatur ulang jadwal pertemuanmu dengan ibuku. Mereka juga harus ikut, keluargamu harus ikut," ujar Arvin pada Salma.

"Tadinya nenek memang akan ikut, tapi setelah nenek berbicara dengan bibiku, rencananya berubah," ucap Salma.

"Apa maksudmu?"

"Me ti uw dan Barbara ternyata sudah menikah dan mereka tidak memberi tahu hal itu sampai aku menghubungi mereka kemarin, dan hal itu membuatku marah," papar nenek Marimar.

"Siapa itu Me ti uw dan Barbara?" Arvin bertanya.

"Matthew." Salma membenarkan ucapan nenek Marimar dan Arvin.

"Nama aslinya Mulyanto, dia adalah sepupuku satu-satunya. Sejak lama dia menjalin hubungan dengan Barbara, nama aslinya Boneng. Tapi kak Mulyanto tidak kunjung menikahi kak Boneng karena kekurangan biaya, jadi dia mencari uang selama beberapa tahun belakangan ini. Sampai kami berdua pindah kesini, mereka belum juga menikah. Lalu kemarin, nenek menelpon bibi, nenek menceritakan tentangmu, bagaimana kita bertemu hingga pertemuan nenek denganmu. Nenek juga mengatakan kalau aku akan bertemu dengan ibumu hari ini pada bibi. Bibiku ingin ikut, apa lagi setelah nenekku mengatakan kalau kau itu orang kaya raya, dia semakin penasaran denganmu. Awalnya aku ingin menghubungimu untuk membicarakan tentang bibi dan pamanku yang ingin ikut dalam pertemuanku dengan ibumu, tapi nenek melarangku menelponmu setelah bibiku menjelaskan bahwa kak Mulyanto dan kak Boneng sudah menikah sebulan yang lalu tanpa memberitahu kami," sambung Salma.

"Biar kutebak. Rencana nenek adalah agar pertemuan antara kau dan ibuku bisa terjadi sesuai perjanjian, tepatnya pada pagi hari, agar paman dan bibimu tidak ikut dalam pertemuan itu karena nenek marah pada mereka," sela Arvin.

"Ya! Benar sekali! Kau pintar sekali! Aku membiarkan mereka datang kesini dan tidak menunjukkan rasa marahku pada mereka. Mereka memintaku untuk membicarakan tentang mengatur ulang jadwal pertemuan Salma dan ibumu dengan dirimu. Aku hanya menjawab iya, tapi begitu mereka sampai disini nanti, Salma sudah berada di rumahmu, sedangkan aku akan memarahi mereka, makanya aku memutuskan untuk tidak ikut hanya agar aku bisa memarahi mereka berdua sepuasku," timpal nenek Marimar.

"Ok, bagiku itu tidak masalah. Mereka memang salah. Tapi, kenapa mereka tidak memberitahu kalian?" tanya Arvin.

"Mereka beralasan kalau mereka lupa! Betapa konyolnya alasan itu!" nenek Marimar berseru.

"Makanya aku menyuruh kalian cepat pergi agar mereka tidak bisa hadir di pertemuan Salma dengan ibumu," lanjut nenek Marimar.

"Apakah Matthew dan Barbara ikut? Kenapa mereka memiliki nama samaran?"

"Akan kujelaskan di dalam mobil, aku tidak ingin mereka datang, karena sebenarnya aku juga sangat marah, tapi inilah rencana nenekku, dan ini bukan ide yang buruk," ujar Salma.

"Baiklah," ucap Arvin.

Usai berpamitan pada nenek Marimar, Arvin dan Salma segera berjalan menuju mobil Arvin dan langsung tancap gas menuju mansion Dhananjaya.

"Jadi, kenapa Boneng dan Mulyanto memiliki nama samaran?" tanya Arvin pada Salma sembari menyetir.

"Itu hanya bisa-bisa nenekku saja," jawab Salma.

"Maksudmu?"

"Maksudku, nenekku sering mengubah nama orang lain menjadi berbau Eropa dengan inisial yang sama. Contohnya, namamu bisa saja diubah oleh nenekku menjadi ... menjadi apa ya? Ah! Aku tidak ahli mengubah-ubah nama orang seperti itu. Lagi pula namamu aku rasa sudah cukup berbau Eropa."

"Lalu kenapa nenekmu tidak mengubah namamu?"

"Nenekku dulu memanggilku dengan nama Sophie, tapi ketika dia memanggilku dengan nama itu, aku tidak pernah menyahut, sengaja memang hahaha, agar dia memanggilku dengan nama asliku. Dan itu terbukti bekerja."

"Astaga, kau ini."

"Hahaha. Aku tidak suka namaku diganti-ganti seperti itu."

"Apa itu artinya Marimar bukanlah nama asli nenekmu?"

Salma mengernyitkan dahinya, ia tampak terkejut.

"Apa? Apa pertanyaanku salah?" Arvik bertanya setelah dirinya tidak mendapatkan jawaban dari Salma.

"Tidak, pertanyaanmu tidak salah. Tapi, apa kau tidak berpikir bahwa nenekku juga telah mengubah namanya?" Salma bertanya balik.

"Tidak, karena kupikir nenekmu itu hanya mengubah nama orang."

"Justru dia mulai mengubah nama orang sejak namanya sendiri dia ubah. Bahkan orang-orang di kampung kami mulai mengikutinya, mereka memanggil kak Mulyanto dengan nama Matthew, memanggil kak Boneng dengan nama Barbara, dan seterusnya."

"Astaga, hahahaha."

"Ya, tertawa lah, karena hal itu memang menggelikan. Hanya aku warga di kampung itu yang tidak mengikuti nenekku dalam hal memanggil nama orang lain."

"Jadi, siapa nama asli nenekmu?"

"Nenekku mulai mengubah namanya sejak aku lahir, jadi aku tidak pernah tahu nama aslinya."

"Kenapa?"

"Karena nenekku dan para orangtua yang ada di kampung kami merahasiakan nama asli mereka mulai dari generasiku. Jadi kami anak-anak di kampung itu hanya mengetahui nama Eropa mereka. Begitulah."

"Kau pasti bercanda," ucap Arvin seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Aku serius. Bahkan di data diri para orangtua, nama mereka ya nama buatan mereka sendiri yang berbau Eropa. Negara mencatat nenekku bernama Marimar. Nama yang dipilih nenekku untuknya terdengar seperti nama wanita Amerika, tapi baginya itu sama saja."

"Oh, Tuhan. Bagaimana dengan paman dan bibimu? Apa nama mereka yang mereka pakai sekarang tidak asli?"

"Mereka berdua juga, tapi aku tetap mengetahui nama asli mereka berdua."

"Ngomong-ngomong, apa Matthew dan Barbara ikut dengan paman dan bibimu kesini?"

"Setahuku tidak, karena sepertinya mereka masih menikmati masa-masa awal pernikahan mereka."

"Bulan madu?"

"Sejak kapan Bulan di kalender bertambah jadi tiga belas?"

Arvin seketika meneguk ludahnya. "Lupakan saja," ujar Arvin.

avataravatar
Next chapter