98 Bohemian Rhapsody

Malam akhirnya tiba. Salma memenuhi apa yang diminta oleh Wanda. Ia datang ke kost Wanda tanpa izin dari Nenek Marimar ataupun Gucci, ia bahkan tidak pulang dulu sebelumnya.

Meski kost Wanda tidak terletak di daerah yang sepi, namun Salma agak sedikit ragu untuk masuk ke dalam, terlebih lagi tidak ada garis Polisi di sana, jadi ia sedikit berpikir yang tidak-tidak tentang kost tersebut.

"Apa memang ini kostnya?" gumam Salma. "GPS tidak mungkin salah, kan?" sambungnya. "Tapi kenapa seluruh lampu di rumah ini menyala? Apa memang selalu seperti ini karena Wanda pulang pada malam hari?"

"Aaah, kenapa aku jadi banyak berpikir? Masuk saja, tidak sulit, kan? Ok, baiklah." Salma lalu melangkah mendekati pintu. Saat ia baru hendak menekan engsel pintu tersebut, tiba-tiba sebuah mobil datang dan berhenti di depan rumah itu.

Lampu mobil tersebut menyilaukan mata Salma, gadis itu berbalik badan menghadap mobil tersebut dan berusaha melihat siapa yang keluar dari dalamnya.

Mesin mobil itu akhirnya mati dan membuat Salma bisa melihat siapa yang datang. Dan ternyata itu adalah Arvin dan Yahya.

"Kalian?" ucap Salma, ia terlihat bingung.

"Kenapa kau ada di sini?" tanya Yahya yang tak kalah bingung dari Salma.

"Aku ..." Salma tampak gugup untuk menjawab pertanyaan Yahya. "Wanda menyuruhku ke sini," lanjutnya.

"Wanda? Kau sudah menjenguknya? Dari mana kau mengetahui berita tentangnya?"

"Ya ... Aku kan punya ponsel, dan aku menjenguknya sebelum kalian."

"Hm? Bagaimana bisa kau tahu kalau kau menjenguknya duluan?"

"Tentu saja karena dia memintaku untuk menyuruh kalian datang menjenguknya. Engh, ups." Salma jadi salah tingkah.

"Lalu kenapa kau tidak menghubungi salah satu di antara kami?" tanya Arvin.

"Ya ... Karena aku ..."

"Gengsi," sambar Yahya.

"Hei! Gengsi pada siapa?! Dia menyuruhku datang ke sini pada jam delapan malam, dan dia memintaku untuk menyuruh kalian datang padanya, jadi kupikir, dia juga akan meminta kalian datang ke sini pada jam delapan malam. Kuputuskan untuk tidak memberitahu kalian tentang permintaannya karena aku tahu bahwa hal itu hanya akan sia-sia karena kalian baru selesai bekerja pada jam sembilan!" jelas Salma.

"Ini Minggu, kita pulang satu jam lebih awal khusus hari Minggu, kecuali jika rumah makan Populer masih ramai bahkan setelah lewat jam delapan," ucap Yahya.

"Engh ... Aku lupa akan hal itu."

Yahya lantas memutar kedua bola matanya.

"Wanda tidak bertanya pada kalian tentangku? Maksudku, apa dia tidak bertanya apakah aku memberitahu kalian soal itu atau tidak?" tanya Salma.

"Tidak, dia menjadi lebih dingin sejak ditahan, aku juga tidak mengerti kenapa, para petugas dan Polisi itu juga aneh, kenapa mereka tidak memasang garis Polisi di sini? Atau kenapa mereka tidak bertindak saat Wanda menyuruh kami datang ke sini?" kata Yahya.

"Aku pun juga memikirkan hal yang sama."

"Jadi kenapa kau tidak membuka pintunya saja dan mencari rekaman yang Wanda maksud? Aku yakin dia juga mengatakan hal yang sama padamu dengan yang dia katakan pada kami," ujar Arvin.

"Aku ... Aku baru sampai, kalau keberatan, kau saja yang buka pintunya," ucap Salma.

"Tidak, aku tidak keberatan untuk menunggumu sama sekali, aku masih menunggu sampai sekarang. Ayo, buka pintunya, kau yang pertama datang."

"O-ok." Salma kemudian menarik nafas panjang dan merasa sedikit ketakutan ketika menekan engsel pintu itu.

"Huft." Arvin yang tidak sabar melihat Salma yang begitu lambat pun akhirnya turun tangan. Ia memegang tangan Salma dan bersama mereka membuka pintu tersebut.

"Kalau takut, bilang saja. Lingkungan ini ditinggali oleh banyak manusia yang masih hidup, hanya saja mereka semua sudah bersiap untuk tidur dan sedang berada di dalam rumah mereka masing-masing sekarang," kata Arvin sesaat setelah pintu itu terbuka.

"Hei! Aku tidak takut sama sekali, aku hanya menunggu kalian para lelaki memimpin jalan." Salma berdalih. "Ngomong-ngomong, terima kasih karena tidak menuduhku telah menguntitmu," sambung Salma.

"Itu tidak ada hubungannya dengan rasa takutmu, jadi jangan mengungkit-ungkitnya."

"Siapa yang bilang ada hubungannya?"

"Oh, ayolah, kalian bisa melanjutkan adu mulut kalian nanti, aku akan membuatkan forum khusus untuk kalian, tapi aku mohon jangan di sini. Wanda ingin menunjukkan sesuatu pada kita, dan sepertinya ini adalah hal yang serius, jadi lupakan masa lalu untuk sesaat, padahal kupikir kalian sudah bersiap untuk berdamai." Yahya buka suara.

"Jangan bawa-bawa masa lalu di sini!" ucap Salma.

"Kenapa? Memangnya kalian ingin CLBK?"

"Wanda mungkin benar, kau cukup berisik sebagai seorang pria," keluh Salma.

"Ok, bisa kita masuk sekarang?!" Arvin mengagetkan Yahya dan Salma dengan nada bicaranya yang keras dan tinggi.

"Yasudah masuk saja duluan! Kau takut?" Salma menantang.

"Tidak!" Arvin lantas maju sebanyak 5 langkah. "Lihat? Aku sudah masuk," lanjutnya.

"Ooow, bagus. Apa di dalam sana ada bom?" Yahya menakut-nakuti, sampai-sampai Arvin langsung keluar dan berdiri di belakang Salma. Hal ini pun sontak membuat Yahya dan Salma tertawa geli.

"Duh, dasar anak manja. Gemas dengan rasa takutmu," ejek Salma sembari mencubit kedua pipi Arvin. Ia lalu memutuskan masuk lebih duku dari Yahya dan Arvin.

"Semuanya sangat rapi, benar-benar menunjukkan kalau dia adalah seorang perempuan," oceh Yahya ketika ia dan Arvin masuk bersamaan.

"Tidak ada yang mengatakan bahwa dia adalah transgender," canda Salma.

"Aku hanya memuji."

"Seperti lagu saja."

"Sssshhht, diamlah, kau cukup berisik sebagai seorang wanita."

"Jangan bertingkah seolah kita sedang mencari sebuah bom! Wanda meminta kita datang ke sini untuk mencari rekaman percakapannya dengan Khansa!" protes Arvin.

"Diamlah, penakut. Tidak ada bom di sini, Wanda tidak menyuruh kita datang ke sini untuk menemui ajal kita, aku yakin itu," ujar Salma.

"Bisakah aku percaya dengan keoptimisanmu itu?"

"Op-opti-mis?"

"Ya, kenapa?"

"Apa maksudnya itu? Sejenis mimisan?"

"Argh, lupakan saja."

"Ok, sejak kalian memulai pertengkaran kalian yang membuat telingaku bersenam, aku akhirnya mendapatkan rekamannya," ujar Yahya. Mendengar hal itu, Arvin dan Salma pun mendekat padanya.

"Hah? Apa itu? Kau yakin rekamannya ada di situ?" tanya Salma yang melihat Bluetooth Speaker Wanda dengan pandangan aneh.

"Itu speaker bluetooth, dia menyimpan rekamannya ke dalam kartu memori yang dimasukkan ke dalam speaker itu," papar Arvin.

"Oooh, baru ini aku melihat benda ini." Salma mengambil speaker itu dari tangan Yahya, lalu melihat-lihatnya. "Apa namanya tadi?" tanyanya pada Arvin.

"Bluetooth-"

"Kau yakin?" Salma menyela Arvin seraya mengembalikan speaker itu pada Yahya.

"Aku memiliki dua speaker seperti itu, asal kau tahu saja."

"Maksudku, kenapa namanya sangat aneh? Gigi biru? Terlalu banyak di bleaching atau bagaimana? Sampai gigi yang buat speaker ini membiru."

"Besok kutanyakan saja ya pada orang yang pertama kali membuat speaker ini, kenapa nama speaker ini 'bluetooth speaker'."

"Kau kenal dengan pembuatnya?!"

"Ayolah, sangat jelas perbedaan dari candaan dan sungguh-sungguh."

"Jadi intinya kau kenal dengan pembuatnya atau tidak?"

Arvin pun lalu menepuk jidatnya mendengar pertanyaan itu lagi.

'Kenapa lemotnya kumat disaat seperti ini?' batin Arvin.

"Hei, jawab," paksa Salma.

"Tidak, puas kau?!"

"Santai saja jawabnya, kau membuatku bingung, makanya aku bertanya."

Yahya bernapas dengan kasar sembari melipat kedua tangannya dan menghentak-hentakkan telapak kaki kanannya ke lantai. "Sudah selesai?" tanya Yahya.

"Astaga, kau tidak memutarnya?" ucap Arvin.

"Aku tidak bisa memutarnya jika kalian terus-terusan bertengkar!"

"Putar saja dan pasti kami akan diam. Jangan membuatku semakin heran denganmu yang betah mendengar orang beradu mulut." Arvin lantas meraih speaker yang ditaruh Yahya di atas meja itu dan mulai memutar beberapa musik yang ada di dalamnya.

"Kenapa kau malah memutar musik? Kita tidak datang ke sini untuk berjoget," celoteh Salma.

"Diamlah, rekaman itu disimpan bersama dengan lagu-lagu ini," kata Arvin.

"Lompati saja lagu-lagu itu."

"Ini kan sedang aku lewati."

"Tapi kau memutar satu per satu lagu-lagunya."

"Ini adalah cara satu-satunya untuk mencapai rekamannya! Sabar sedikit! Sebentar lagi pasti adalah giliran rekaman itu!"

Salma terlihat kesal dengan bentakan Arvin.

"Dia sedang menstruasi atau bagaimana, ya?" bisik Salma pada Yahya. Yahya hanya bisa terkekeh kecil mendengar bisikan Salma barusan.

"Tunggu, tunggu." Salma menahan agar Arvin tidak melompati lagu yang satu ini.

"Kenapa?" tanya Arvin.

"Ini lagu kesukaanku, jangan dilompati, guruku bilang akan sangat baik bagiku untuk sering-sering mendengar lagu berbahasa Inggris untuk memperluas pengetahuanku akan banyak kata dalam bahasa Inggris, jadi aku mulai mencari lagu-lagu berbahasa Inggris yang Populer di internet, salah satunya ini, yang menjadi favoritku sejak awal. Well, walaupun sekarang aku sudah tidak kursus lagi, tapi aku masih suka mendengar lagu ini."

"Huft, baiklah, terserah kau saja." Arvin kemudian membongkar isi kulkas Wanda.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Yahya pada Arvin.

"Lagu itu berdurasi enam menit lebih, kita bisa melakukan banyak hal selama itu. Siapa tahu ada yang bisa dijadikan cemilan di sini," jawab Arvin.

"Hei, kau tahu tentang lagu ini?" tanya Salma pada Arvin.

"Itu lagu legendaris dan tetap populer bahkan setelah empat puluh tahun, jadi bagaimana bisa aku tidak mengetahuinya?" ucap Arvin.

"Iyakah? Jangan sok tahu."

"Judulnya Bohemian Rhapsody, dinyanyikan oleh Queen, puas kau?"

"Salah! Penyanyinya itu King! Bukan Queen."

"Terserahmu saja lah, Salma."

Mereka bertiga pun akhirnya menunggu sampai lagu itu selesai, dengan Salma yang sangat menikmatinya.

Hampir 7 menit berlalu, akhirnya lagu tersebut selesai, dan saatnya untuk mencari rekaman yang dimaksud oleh Wanda pun dilanjutkan.

"Ulang, tolong. Aku mohon," ucap Salma.

"Oh, ayolah, aku tidak ingin mengerak di sini," ujar Arvin yang lanjut mencari rekaman percakapan antara Wanda dan Khansa di speaker itu. Salma akhirnya mengalah dan menuruti Arvin.

Hingga akhirnya, giliran rekaman itu untuk diputar tiba. Semuanya langsung tahu bahwa itulah rekaman yang dimaksud oleh Wanda, bahkan dari detik kesatu.

avataravatar
Next chapter