24 Besok Kalian Akan Makan Enak

[25 HARI MENUJU PERNIKAHAN ISA & DINA]

Usai makan malam, Isa pergi ke garasi untuk menjemput Dina, namun ia baru teringat akan satu hal.

'Ya ampun, anak-anak itu!' batinnya.

Isa lantas langsung berlari menuju kamar Tantri dan mengetuk pintu kamar itu dulu sebelum mendapatkan izin untuk masuk.

Mendengar ketukan pintu kamarnya, Tantri mengintip keluar melalui jendela dan melihat Isa yang sedang menunggu pintu itu terbuka. Anak-anak yang sedang makan bersamanya lantas melihat dirinya. Tantri kemudian membuka pintu kamarnya.

"Tuan? Ada apa?" tanya Tantri.

"Anak-anak itu, apa mereka masih disini?" tanya Isa balik.

"Iya, mereka masih disini, tadinya mereka tidur dan belum makan karena menunggu saya, akhirnya kami makan bersama."

"Huft, syukurlah."

"Kenapa, Tuan?"

"Tidak, aku lupa jika mereka ada disini, aku akan menjemput Dina, jadi, aku akan mengantar mereka sekalian."

"Tapi, biarkan saja mereka makan dulu," sambung Isa.

"Baiklah."

"Boleh aku masuk?"

"Tuan Isa ingin masuk? Tentu saja."

Isa lalu tersenyum.

"Paman dari mana saja? Kok aku tidak melihat paman sejak siang," tanya Zhani.

"Wah, kali ini kau lebih banyak berbicara dan sudah tidak takut lagi pada brewokku, ya? Hahaha." Isa terkekeh.

"Dari siang hanya ada di kamar," jawab Isa.

"Memangnya apa yang menarik jika hanya menghabiskan waktu di kamar dari siang sampai malam?" tanya Fina.

"Kamar paman Isa kan lebih luas dari rumah kita, tentu saja akan lebih enak menghabiskan waktu di kamar seperti itu dari pada keluar," timpal Mona.

"Sudah, kalian makan saja, cepat," suruh Isa. Pemuda itu lantas menoleh ke Tantri, dilihatnya Tantri sedang melanjutkan makannya, gadis itu terlihat seperti orang yang tidak makan selama berhari-hari.

Tantri akhirnya sadar jika ia sedang diperhatikan oleh Isa, ia kemudian berhenti mengunyah sedang nasi yang bertumpuk di mulutnya. Isa lalu terkekeh.

"Hehe, maaf, Tuan, saya memang begini jika sedang makan," ujar Tantri setelah makanan di mulutnya habis ditelan olehnya.

"Tidak apa-apa, santai saja, aku juga kadang begitu kalau lagi sangat lapar," kata Isa.

"Pasti sangat melelahkan ya bekerja seharian? Aku hanya orang yang tidak mengerti dengan hidup yang penuh perjuangan. Terkadang aku ingin hidup bekerja keras sepertimu, tapi apa pun yang kudapatkan dihidupku saat ini, tetap harus kusyukuri, aku tidak boleh iri pada orang lain," sambungnya.

"Saya baru tahu jika ada orang kaya seperti Tuan yang ingin hidup dengan penuh bekerja keras seperti saya," ucap Tantri.

"Begitulah manusia, terkadang kita tidak sadar jika kita menginginkan hal yang aneh. Namun sebagai manusia, aku hanya ingin mencoba hidup dengan kesulitan yang berbeda, agar aku mengerti setiap hal dan setiap penderitaan. Aku juga ingin merasakan bagaimana setiap bentuk rasa bahagia yang di dapatkan oleh orang-orang yang berbeda kasta."

"Hmm, sepertinya jika hal seperti itu dijalani akan menarik."

"Yah, begitulah."

"Tuan kapan menikah dengan nona Dina?" tanya Tantri.

Isa tampak tidak menyangka dengan pertanyaan Tantri, hal itu bisa dilihat dari ekspresinya yang berubah jadi ekspresi terkejut.

"Hah?"

"Saya bilang, Tuan kapan menikah dengan nona Dina?" ulang Tantri.

"M-memangnya ada apa?"

"Sudah lama saya tidak makan enak, jadi ketika Tuan menikah dengan nona Dina, saya berharap bisa makan enak sebanyak-banyaknya," jawab Tantri, to the point.

"Hahahaha." Isa tertawa geli.

"Ada apa, Tuan? Apa yang lucu?"

Tanpa menjawab, Isa merogoh sakunya dan mengambil dompetnya, ia mengambil uang pecahan Rp. 100.000 sebanyak 10 lembar, dan memberikannya pada Tantri.

"Ini," ujar Isa sambil menyerahkan uang itu.

"S-satu juta? U-untuk apa, Tuan? Saya memang hidup dengan bekerja keras, tapi saya tidak sesusah itu untuk mendapatkan uang dari bos saya hanya dengan bercerita tentang kesulitan dari kehidupan."

"Astaga, ambil saja. Aku memberikan ini agar kau bisa makan enak besok."

"Maksud, Tuan?"

"Besok, beli lah makanan enak untukmu dan mereka, jangan katakan pada siapa pun tentang hal ini, satu juta ini hanya untuk kalian saja agar kalian bisa makan enak besok, terlebih untuk kau, agar kau tidak harus bersabar untuk menunggu aku menikah dengan Dina."

"T-tidak perlu, Tuan. Saya bisa menunggu hingga Tuan menikah dengan nona Dina agar saya bisa makan enak."

"Ingat, rezeki itu tidak boleh di tolak."

"T-tapi ..."

"Ambil."

Tantri kemudian mengambil uang itu secara perlahan.

"Saya ambil ya, Tuan?" ucap Tantri sebelum benar-benar mengambil uang itu.

"Iya, ambil saja."

"Terima kasih banyak, Tuan."

"Besok kalian akan makan enak bersama kak Tantri, makanlah sepuasnya, ya!" ujar Isa pada anak-anak Jhana.

"Terima kasih, paman Isa," kata Fina.

"Paman, bagaimana dengan Arka?" tanya Mona.

"Bagaimana apanya?" tanya Isa balik.

"Apa dia baik-baik saja?"

"Tidak, dia sedang sakit, memangnya ada apa?"

"Tidak ada, aku hanya bertanya."

Isa lalu tak menjawab lagi.

Hanya tersisa Dina dan Yahya di rumah makan Populer, seluruh pekerja sudah pulang kecuali mereka berdua. Tugas Yahya memang menunggu pak Toni datang, sedangkan Dina menunggu jemputan dari Isa, dan ini sudah jam 21:10.

Belum lama menunggu, tapi akhirnya jemputan untuk Dina datang, ia pun kemudian berpamitan pada Yahya dan duduk di salah satu bangku di bagian depan mobil. Dina melihat anak-anak Jhana yang sudah tertidur pulas di bangku tengah mobil itu.

Ia tidak lupa akan hal yang sangat ingin dikatakannya secara langsung pada Isa, oleh karena itu, gadis itu pun mengatakannya.

"Isa! Sepertinya kak Arvin jatuh cinta pada kak Salma!"

"Kak Arvin? Jatuh cinta? Pada kak Salma?" Isa tampak heran.

"Iya!" ujar Dina.

Kemudian Isa teringat akan perkataan Arvin tadi sebelum keluar dari kamarnya. 'Isa, aku jatuh cinta.'

'Astaga! Itu artinya tadi dia ingin menceritakannya padaku, bodohnya aku! Kenapa aku mengabaikannya sejak awal?!' batin Isa.

"Siapa kak Salma itu?" tanya Isa.

"Pekerja baru yang menggantikan kak Jhana," jawab Dina, ia kemudian menoleh kebelakang dan melihat anak-anak Jhana yang sudah tertidur pulas.

"Memangnya kak Salma itu seperti apa orangnya?" tanya Isa, lagi.

"Kau bisa melihat orangnya secara langsung besok, temani saja aku bekerja, dan lihat saja, pasti besok kak Arvin datang lagi ke rumah makan Populer."

"Oh iya, aku tidak pernah menanyakan hal ini padamu," sambung Dina.

"Apa?" tanya Dina.

"Bagaimana hari-hari mereka di mansion?" Dina memaksudkan anak-anak Jhana.

"Aku tidak bisa mengatakannya buruk," jawab Isa.

"Lalu?"

"Sangat buruk."

"Hah? Kenapa?"

"Keluargaku masih menolak kehadiran mereka, bahkan hari ini saja mereka tinggal di kamar Tantri, untung saja Tantri menerima dan mau mengasuh mereka. Meskipun dia tidak benar-benar mengasuh mereka, tapi setidaknya Tantri berprilaku seperti ibu mereka, dia memberikan mereka makan dan membiarkan mereka tinggal di dalam kamarnya."

"Kau tahu? Aku yakin suatu saat nanti seluruh keluarga Dhananjaya pasti akan menerima kehadiran mereka. Mereka hanya butuh waktu."

"Bagaimana kau bisa berpendapat seperti itu? Bahkan aku saja merasa geram dengan keluargaku sendiri."

"Entahlah, itu hanya keyakinanku, jika aku tidak yakin, maka aku tidak akan membiarkan mereka tinggal di mansion itu selama aku bekerja."

Usai itu, keheningan terjadi. Setelah beberapa menit, akhirnya Isa kembali bertanya.

"Dina," ucapnya.

"Hm?" sahut Dina.

"Apa kau menceritakan tentang perlakuan keluargaku pada anak-anak itu ke orangtuamu?"

Dina terdiam. Ia bingung bagaimana harus menjawabnya, namun akhirnya ia menjawab.

"Awalnya aku berniat untuk menceritakannya, tapi keyakinan yang tadi kukatakan membuatku mengurungkan niatku, terlebih lagi jika aku menceritakannya pada orangtuaku, pasti hubungan kita akan di akhiri oleh ayah dan ibuku."

"Aku sama sekali tidak keberatan jika kau menceritakan tentang hal itu pada orangtuamu, kurasa itu lebih baik agar semuanya saling mengetahui sifat masing-masing hingga ke akarnya. Tapi jika sampai hubungan kita di akhiri oleh orangtuamu, maka aku akan berjuang seumur hidupku untuk mendapatkanmu lagi. Aku minta maaf karena tidak menceritakan tentang sifat buruk yang dimiliki keluargaku, sejak aku kecil memang mereka begitu."

"Aku tidak yakin."

"Soal apa?" tanya Isa.

"Kau khawatir kalau aku tidak yakin dengan perjuangan yang akan kau lakukan jika sampai hubungan kita di akhiri? Hahaha."

"Jangan membuatku menjadi tidak tenang," sewot Isa.

"Hahaha. Aku tidak yakin jika keluargamu benar-benar memiliki sifat buruk mereka itu. Kak Arvin contohnya, kulihat dia menyukai kak Salma, jika dilihat dari status sosial mereka, mereka bagaikan bumi dan langit. Sebenarnya mereka tidak seperti itu."

"Itu hanya kebetulan saja jika kak Arvin menyukai kak Salma. Dia bilang dia tidak pernah jatuh cinta, jadi pasti rasa sukanya itu hanya bualan saja."

Mendengar perkataan Isa barusan, Dina lantas menjitak kepala tunangannya itu.

"Aduh!" keluh Isa.

"Bualan sesungguhnya adalah ketika dia mengatakan kalau dia tidak pernah jatuh cinta. Kau belum pernah melihat bagaimana mereka bertatapan, jadi jangan menilai dulu."

"Kalau begitu, apa hal yang membuat mereka semua menjadi memiliki sifat buruk itu?"

"Mungkin mereka semua memiliki alasan masing-masing, atau mungkin saja alasan mereka berbeda-beda."

"Sudahlah, lupakan saja tentang keluargaku. Kau sudah mengundurkan diri?"

"Eh! Astaga! Aku lupa untuk mengundurkan diri!"

"Kalau begini kita tidak bisa menikah ditanggal yang kita mau."

"Hehe, besok aku akan mengundurkan diri. Besok pasti aku tidak akan lupa lagi, kalau sampai aku lupa, kau harus mengingatkanku."

"Kirim saja pesan kepada pak Toni, kalau kau besok mengundurkan diri, pasti tidak akan di izinkan olehnya, itu terlalu mendadak."

"Hm, benar juga."

"Yasudah kalau begitu, kasih alasan yang sebenarnya saja, ya?" sambung Dina.

"Silakan saja."

Selama Dina mengetik, Isa bertanya sesuatu kepada gadis yang sebentar lagi akan menjadi istrinya itu.

"Dina, aku boleh bertanya?"

"Menjelang hari pernikahan kita, kenapa kau semakin sering bertanya?" sindir Dina, Isa hanya terkekeh.

"Kenapa kau tidak melawan pria-pria itu?" tanya Isa.

Dina mengernyitkan dahinya. "Pria-pria yang mana?"

"Pria-pria yang di kasino kemarin."

Dina terdiam sejenak. "Entahlah, aku memiliki pengalaman bela diri, tapi entah kenapa aku hanya menunggu bantuan dari kak Arvin, itu sudah mindsetku untuk tidak menggunakan kemampuanku dan hanya berharap pada kak Arvin."

"Mindset?"

"Iya."

"Kau tahu? Aku sangat menyukai kak Arvin yang sekarang," lanjut Dina.

"Suka?" ujar Isa dengan nada selidik.

"Astaga, suka, bukan cinta."

"Suka kenapa?"

"Karena perubahan sikapnya."

"Kurasa dia tidak berubah."

"Loh? Kupikir dia sudah menceritakan segalanya kepadamu."

"Tentang apa?"

"Apa yang terjadi pada kalian? Apa kalian bertengkar?"

"Bertengkar? Tentu saja tidak."

"Jadi kenapa kalian terkesan agak menjauh?"

"Sejak siang aku tidak ingin mengobrol, aku tidak mempedulikan segalanya sampai malam."

"Kenapa?"

"Mood."

"Seperti sedang menstruasi saja," sindir Dina. Isa lantas mendengus.

"Aku hanya kesal dengan kak Raya," ucap Isa.

"Memangnya ada apa?" tanya Dina.

"Dan kak Bunga juga sebenarnya, mereka lah yang sangat mengintimidasi Mona, Fina dan Zhani. Lama-lama aku jadi muak dengan mereka."

"Jangan begitu, kak Bunga itu kakak kandungmu dan kak Raya itu adalah istri kak Rasyid, kau tidak boleh bersikap seperti itu pada mereka."

"Aku sudah terlalu sabar, Dina. Atau mungkin kuota kesabaranku seharusnya ditambah lagi."

Dina hanya memutar kedua bola matanya.

"Jika mereka bertiga saja tidak kesal dengan perlakuan kak Raya dan kak Bunga terhadap mereka, lalu kenapa harus kau yang kesal?"

"Aku hanya merasa kasihan pada mereka bertiga."

Dina lantas tersenyum mendengar jawaban Isa, ia kagum pada calon suaminya itu, karena Isa adalah sosok yang sangat berbeda dari keluarganya.

Sementara itu, di lain tempat, Juliet terlihat gelisah di kamarnya. Ia berjalan kesana kemari sembari terus melihat ke arah jam dinding dan mengintip keluar dari jendela kamarnya. Hal itu ia lakukan secara berulang, terus menerus.

Hingga akhirnya suara mobil yang masuk kedalam rumahnya, membuatnya menjadi sedikit lega dan langsung keluar dari kamarnya.

Tak lama kemudian, terdengar suara ketukan pintu yang berasal dari pintu depan. Ketika Juliet berjalan menuju pintu, ia melihat Hena yang hampir sampai di pintu, Juliet lantas menyuruh asisten rumah tangganya itu untuk berhenti berjalan.

"Hena, biar saya saja," ucap Juliet yang bermaksud agar dirinya lah yang membuka pintu depan.

"Baik, Nyonya," ujar Hena yang berjalan kembali ke kamarnya.

Setelah Hena masuk ke kamarnya, Juliet lalu membuka pintu depan rumahnya, dan melihat sosok pria dewasa yang terlihat oyong, pria itu tak lain dan tak bukan adalah suaminya.

"Dari mana saja kau? Jam segini baru pulang," tanya Juliet, yang belum mempersilakan suaminya itu untuk masuk.

"Aku baru selesai bekerja," jawab suami Juliet.

"Romeo, katakan dengan jujur, kau selingkuh lagi kan dengan Nesha?!"

"Juliet, aku baru pulang, jangan tanyakan hal yang aneh-aneh, aku lelah."

"Jawab saja 'iya' atau 'tidak'!"

"Juliet, tidak begini caranya menyambut suami yang baru pulang dan sudah lelah bekerja."

"Kalau begitu, apa yang kau kerjakan hingga baru pulang jam segini?!"

"Ini belum terlalu malam, Juliet, kau tidak perlu menginterogasiku seperti ini."

"Aku tidak sedang menginterogasimu, aku hanya bertanya, jawab saja 'iya' atau 'tidak', itu saja!"

"Aku tadi sedang bersama rekan kerjaku."

"Rekan kerja yang mana?!"

"Kevlar Novandiro. Puas kau?"

"Hah?! Kevlar?! Hahaha, Bunga mengatakan kalau suaminya sudah pulang sejak jam tujuh malam tadi, dan dia tidak keluar lagi sejak itu. Jelas kau selingkuh dengan Nesha, kan?!"

"Argh! Aku pusing!" gerutu Romeo, ia kemudian mendorong Juliet dan berjalan masuk kedalam rumahnya dalam keadaan mabuk.

'Astaga, dia mabuk lagi,' batin Juliet.

avataravatar
Next chapter