68 Bersyukur

"Dia menyarankanku untuk mengakhiri permainan ini dan keluar sebagai pemenang dengan cara membunuh Nesha," sambung Juliet. Hal ini sontak saja membuat Bunga terkejut.

"Raya menyarankan hal seperti itu?" lirih Bunga.

"Ya. Awalnya aku menolak keras dan mengatakan kalau dia gila, tapi aku terus memikirkan sarannya itu dan kegeramanku pada Nesha. Mungkin wanita sialan itu pantas kubunuh, tapi disatu sisi, manusia sama sekali tidak berhak untuk mengakhiri nyawa manusia lainnya. Saran dari Raya memang gila, tapi dengan melakukannya, mungkin aku akan merasa puas walaupun seandainya Romeo dan Agatha tidak akan kembali lagi padaku. Tapi aku tidak bisa melakukannya karena tidak ada sejarahnya kalau membunuh orang adalah hal terpuji, namun jika aku tidak melakukannya, aku akan merasa tersiksa. Dilema ini membuatku tertekan, Bunga. Apa yang sebaiknya aku lakukan? Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa."

"Kapan kalian membicarakan hal itu?" tanya Bunga.

"Ketika kami bertemu beberapa hari yang lalu," jawab Juliet.

"Kenapa? Kenapa kau terlihat bingung dan merasa aneh? Kupikir kalian memiliki pemikiran yang sama," sambung Juliet.

"Tidak ada. Hanya saja, aku tidak habis pikir, bagaimana bisa Raya menyarankanmu untuk melakukan hal seperti itu? Ya, aku tahu kalau kau akan merasa puas dengan membunuh Nesha, tapi efek jangka panjangnya akan membuatmu sangat menyesalinya. Apa maksudnya? Dia ingin merugikanmu?"

"Aku pun awalnya berpikiran seperti itu. Tapi setelah aku berpikir ulang, satu-satunya jalan yang kupunya di kondisiku saat ini hanyalah saran dari Raya."

"Tapi, aku merasa masih ada cara lain untukmu agar kau bisa menang."

"Apa? Katakan padaku."

"Romeo merasa kau telah menipunya selama ini, kan? Lalu minta maaflah padanya," saran Bunga.

"Itu tidak akan bekerja, Bunga."

"Kenapa? Selama ini, banyak orang yang berpendapat jika wanita selalu merasa benar, tapi apa jadinya jika ada wanita yang akhirnya merasa salah? Dia akan memaafkanmu, hatinya akan luluh, percayalah padaku."

"Nesha adalah racun terjahat di dunia ini, Bunga. Hal yang berkaitan dengan hati tidak akan bekerja dalam masalah ini."

"Terserah padamu jika kau tidak ingin melakukan saranku. Yang terpenting, aku sudah memberikan saran yang baik untukmu, tidak salah jika mencobanya, kan?"

"Tapi seharusnya aku tidak melakukan apa-apa pada Romeo."

"Apa maksudmu?"

"Jika aku mengambil tindakan, hanya pada Nesha lah aku harus melakukan sebuah tindakan."

"Aku tidak mengerti, jelaskan lebih rinci."

"Raya menyarankan hal ini, dia mengatakan padaku kalau untuk mendapatkan Romeo kembali, aku harus melakukan sesuatu pada Nesha. Mungkin agar aku tidak terkesan murahan di mata Romeo."

"Dan dia menyarankanmu untuk membunuh Nesha?"

"Setidaknya dia memiliki saran yang bagus, walaupun cukup sulit bagiku untuk mempertimbangkannya."

"Lalu apa keputusanmu?"

"Entahlah, aku baru bertemu denganmu lagi setelah beberapa hari yang melelahkan ini. Saranmu tidak buruk sebenarnya, hanya saja kemungkinan aku bisa menang dengan saranmu sangat kecil, tapi mungkin, aku akan mencobanya."

"Baiklah." Bunga tersenyum.

"Pembicaraan ini membuatku sedikit merasa canggung. Mari mengubah topik pembicaraan kita. Kenapa Jasmine menetap di Jogja?" ucap Bunga.

"Kak Jamal, kak Johan, kak Jacob, aku dan Jasmine memang rutin mengadakan pertemuan setiap setahun sekali. Kami memang lahir di Sumatera, tapi ketika kami remaja, kami dibawa pindah oleh orangtua kami ke Bandung. Setelah kematian kedua orangtua kami, kami mulai berpencar. Aku dan kak Jacob memutuskan untuk pindah ke Jogja, Jasmine menetap di Bandung, kak Jamal pindah ke Surabaya dan kak Johan pergi ke Semarang. Karena yang tinggal di Jogja ada dua orang, makanya pertemuan rutin kami selalu di adakan disini. Karena Bandung yang paling jauh dari Jogja, Jasmine akhirnya memutuskan pindah kesini, dan kak Jamal juga akan menyusul dalam beberapa hari kedepan untuk pindah ke Jogja bersama istrinya," jelas Juliet.

"Jadi, setelah Jacob kembali, kau akan tetap tinggal bersamanya?"

"Ya, Jasmine bau. Tubuh gemuknya sering berkeringat dan itu menjijikkan," jawab Juliet yang tidak mengetahui jika Jasmine mendengar semuanya.

Sementara itu, Arvin kembali ke rumah makan Populer dengan sebuah senyuman, membuat siapa saja terheran-heran melihatnya.

"Ada apa? Kenapa kau tampak gembira sekali?" tanya Salma.

"Tidak ada, bukan hal yang penting," jawab Arvin.

"Hmm, mulai merahasiakan sebuah hal dariku?"

"Tidak, tidak. Aku berani bersumpah bahwa penyebabku tersenyum seperti ini bukan hal yang penting."

"Ok, ok. Baiklah."

Arvin lantas mengelus kepala kekasihnya itu sembari tersenyum. Ia lalu mengingat sebuah kejadian lucu ketika ia sedang bersama Khansa. Ketika itu mereka baru selesai memakan es krim dan secara tidak sengaja bersendawa dengan keras secara bersamaan.

Bagi sebagian orang, sendawa memang hal yang jorok, namun jika kejadiannya seperti yang dialami oleh Arvin dan Khansa, kejorokan itu berubah jadi hal yang lucu bagi mereka. Hanya bagi mereka, sementara bagi pengunjung yang lain, mereka menjijikkan.

Arvin dan Khansa hanya tertawa, bahkan saat mereka menjadi pusat perhatian karena sendawa mereka tadi. Dan hal itulah yang membuat Arvin tidak bisa berhenti tersenyum sampai sekarang, sebab ia merasa hal itu sangat menggelikan.

Di mansion Dhananjaya, Mona dan Jhana bertemu secara tidak sengaja di pintu depan.

"Mona?" ucap Jhana.

"Ibu? Kebetulan sekali," ujar Mona.

"Memangnya ada apa?"

"Ada hal yang ingin kuceritakan pada ibu. Ibu sedang ada kerjaan?"

"Tidak, ibu memang sedang ingin mencarimu dan Zhani, rasanya sudah lama ibu tidak bertemu dan mengobrol dengan kalian."

Mona tersenyum. "Baiklah, ayo kita ke kamar ibu."

Jhana dan Mona lalu pergi ke kamar Jhana sambil bergandengan tangan, Tantri melihat hal itu tanpa sengaja, namun ia tidak tahu akan perbincangan antara ibu dan anak itu, sebab ia hanya lewat barusan.

'Rasanya mereka semakin lengket saja. Semakin kuat ikatan yang kak Karin jalin bersama anak-anak itu, semakin melemah hubunganku dengan mereka. Ironis sekali, padahal kami tidur di kamar yang sama,' batin Tantri. Ia kemudian pergi melanjutkan pekerjaannya.

"Ada apa?" tanya Jhana pada Mona saat mereka sudah berada di dalam kamarnya.

"Aku ingin menceritakan suatu hal pada ibu," jawab Mona.

"Ya, silakan."

"Kemarin, aku bertemu dengan bibi Raya."

"Kita tinggal di satu lingkungan dengannya, jadi bertemu dengannya adalah hal yang biasa, bukan?"

"Ya, tapi, ketika itu dia terlihat kesal, dan-"

"Jangan katakan kalau dia menyakitimu lagi?"

"Yah ... Itulah yang terjadi."

"Ya Tuhan. Kau baik-baik saja? Apa kau terluka?"

"Tidak, awalnya sedikit merah di leherku, tapi-"

"Dia mencekikmu?!"

"Ibu, aku baik-baik saja, jangan panik."

"Bagaimana bisa ibu tidak panik?! Sebelumnya dia pernah melakukan hal gila padamu dan ibu bahkan tidak bisa melakukan apa-apa saat itu! Bagaimana bisa ibu membiarkan dirimu terancam olehnya lagi?!"

"Mungkin sebelumnya ibu tidak bisa menolongku, tapi kemarin, aku bersyukur kak Salma datang untukku."

"Salma?"

"Ya. Entah apa yang membuatnya melihatku dan bibi Raya dari kejauhan, yang jelas, akhirnya dia menghampiri kami dan menyelamatkanku."

"Dia melihatmu dicekik oleh bibi Raya?"

"Ya, dan dia tahu segala tentang bibi Raya sekarang."

"Kau tahu pada batas mana kau harus menceritakan hal-hal seperti itu padanya, kan?"

"Ya, tentu saja. Dia hanya tidak menyangka."

"Itu wajar. Lalu bagaimana dengannya? Apa dia baik-baik saja?"

"Ya. Tapi ponselnya dihancurkan oleh bibi Raya, karena bibi Raya berpikir kalau kak Salma merekam aksinya itu."

"Keterlaluan sekali dia. Ibu harus meminta maaf dan mengganti ponsel Salma itu."

"Dan membongkar segala rahasia kita?"

Jhana terdiam sejenak.

"Lalu pilihan apa lagi yang ibu punya?" Jhana balik bertanya.

"Aku tahu itu, kita memiliki banyak 'tapi' dalam setiap tindakan yang ingin kita ambil, tapi sebaiknya biarkan saja semuanya mengalir seperti ini dulu," ucap Mona.

"Tapi ponsel itu pasti penting untuknya," ujar Jhana.

"Kemarin sebelum dia berangkat ke kursus bahasa Inggrisnya, dia memberitahu dan menunjukkan padaku ponsel barunya, dan ponsel itu berjenis smartphone."

"Apa?"

"Kak Salma bilang, ponsel itu pemberian paman Isa."

"Ini membingungkan. Jadi Isa juga tahu segalanya sekarang?"

"Tidak, aku dan kak Salma mengarang cerita dengan mengatakan pada paman Isa bahwa semua itu hanya kecelakaan. Jadi kami menjelaskan kalau pada saat itu aku sedang memberi makan seekor kucing, tapi kucing itu malah lari dan aku mengejarnya, dan tanpa sengaja menabrak kak Salma hingga membuat ponselnya terjatuh," papar Mona.

"Dan Isa percaya?"

"Tentu, kalau tidak, mana mungkin ponsel itu terbeli."

"Apa Salma tidak marah padamu?"

"Kenapa kak Salma harus marah padaku?"

"Tentu saja karena ponselnya. Jika dia tidak menghampirimu dan menolongmu, mana mungkin ponselnya bisa hancur."

"Hmm, soal itu, dia tidak marah sama sekali. Dia gadis yang baik, ibu."

"Benarkah? Apa kau sudah meminta maaf padanya?"

"Sudah, makanya aku bilang ibu tidak usah meminta maaf dan membongkar rahasia kita dihadapannya."

"Tapi ibu merasa tidak enak."

"Untuk apa ibu merasa tidak enak? Bukankah paman Isa sudah menggantikan ponsel kak Salma?"

"Tapi ponsel itu hancur bukan karena Isa."

"Ibu, paman Isa itu pamanku, biarkan dia juga memiliki tanggung jawab atas diriku, karena pada akhirnya aku bukan hanya milik ibu, kan?"

Mendengar hal itu, Jhana hanya bisa diam dan terkekeh.

"Kau benar, dan kau pintar," puji Jhana.

"Jika aku tidak pintar, berarti aku bukan anak ibu," canda Mona.

Anak dan ibu itu kemudian tertawa. Sudah lama mereka tidak tertawa bersama seperti ini, berdua, hanya berdua.

Karena Mona adalah anak tertua Jhana, jadi Mona lah yang biasanya paling nyambung untuk diajak berbicara seperti ini. Dan sejak segala kondisi menjadi seperti sekarang, rasanya mustahil mereka berdua memiliki waktu berdua untuk mengobrol dan tertawa.

Oleh karena itu, Jhana bersyukur karena ia dan putri sulungnya masih memiliki kesempatan untuk melakukan hal ini. Wanita itu bersyukur, sangat bersyukur. Sebab sebelumnya ia berpikir bahwa sampai ia mati nanti, ia tidak akan memiliki kesempatan ini lagi. Ditambah lagi Mona benar, pada akhirnya gadis kecil itu bukan hanya milik ibunya seorang.

Tidak peduli siapa yang lebih dulu akan menemui ajalnya diantara mereka, Jhana tetap ingin terus bisa memiliki kesempatan langka ini. Tidak hanya bersama Mona, tetapi juga dengan Fina, dan Zhani.

avataravatar
Next chapter