86 Berakhir

[11 HARI MENUJU PERNIKAHAN ISA & DINA]

Pagi hari di mansion Dhananjaya, sarapan tengah disiapkan di ruang makan. Tn. Farzin sedang berjemur bersama Isa di halaman depan, sementara yang lainnya masih berada di kamar masing-masing, kecuali Ny. Zemira dan Arvin yang sudah berada di ruang makan.

"Pagi, ibu," sapa Arvin.

"Pagi, nak." Ny. Zemira menyapa balik.

"Bagaimana istirahat ibu?"

"Mampu menghilangkan segala beban di pikiranku. Bagaimana denganmu?"

"Cukup untuk membuat aku berpikir lebih jernih."

Ny. Zemira tersenyum mendengar itu.

"Aku minta maaf karena telah menamparmu semalam, aku sangat emosi saat itu, aku bahkan tidak bisa menjelaskannya secara benar sekarang."

"Tidak apa, Bu, sesekali aku layak mendapatkannya."

Ny. Zemira pun terkekeh mendengar itu.

"Aku sudah memikirkannya, aku juga akan meminta maaf pada Karin karena telah menamparnya semalam," ucap Arvin.

"Lakukanlah, tapi kau hanya akan meminta maaf karena telah menamparnya, tidak lebih," ujar Ny. Zemira.

Arvin tersenyum. "Aku tahu itu, ibu."

"Aku akan mencarinya dulu, ya," sambung Arvin.

"Baiklah," kata Ny. Zemira.

Sementara itu, Jhana yang baru akan dicari oleh Arvin, baru saja keluar dari kamarnya dan akan melanjutkan pekerjaannya. Tampak jelas bekas tamparan Arvin di pipinya, dan bekas tamparan itu menambah ciri khas penampilannya.

Ia secara tak sengaja saling melirik dengan Tn. Farzin. Lirikan mata Tn. Farzin padanya kali ini bukanlah lirikan memberi semangat untuk bekerja, namun lirikan penuh pertanyaan disertai sedikit kemarahan.

"T-ting-g-al-k-an aku s-end-ir-i," ujar Tn. Farzin pada Isa.

"Ayah ingin sendiri sekarang? Baiklah, aku akan masuk, ya?" ucap Isa, Tn. Farzin menjawabnya dengan mengangguk.

Saat berjalan menuju pintu depan, Isa berpapasan dengan Jhana, dan ia berhenti sesaat untuk melihat wanita itu. Jhana pun menghampiri Tn. Farzin setelah Isa masuk.

"Je-l-as-k-an," pinta Tn. Farzin pada Jhana.

"Aku tidak menaruh racun itu, ayah. Aku bersumpah," kata Jhana.

"Aku ... Aku hanya membuatnya, aku bahkan tidak mengantarnya," lanjutnya.

"Bibi Tamara datang ke dapur dan menyuruhku untuk membuat dua gelas jus buah naga, dan dia menyuruhku untuk keluar setelah aku membuat jus itu. Sungguh, bukan aku yang memberikan racun itu pada ibu, ayah. Aku sama sekali tidak berniat untuk menyakiti ibu." Jhana mulai menangis di paha ayah angkatnya. Tn. Farzin lantas mengelus kepala putrinya itu.

"Bukan aku, bukan aku yang memberikan ibu racun," ucap Jhana lagi.

Tiba-tiba, sebuah pemikiran terlintas di pikiran Jhana dan membuat ia langsung mengangkat kepalanya.

"Itu dia! Bibi Tamara datang padaku dan langsung menyuruhku untuk membuat dua gelas jus buah naga, dia bahkan tidak mengatakan padaku siapa yang akan meminum jus-jus itu. Kemudian dia menyuruhku untuk pergi setelah aku membuatnya, di saat itulah pasti dia menaruh racunnya!" seru Jhana.

Tn. Farzin mengernyitkan dahinya.

"Jika Raya sedikit 'melenceng', maka tak salah jika kita mencurigai kalau orangtuanya juga 'melenceng'. Lagi pula dugaanku ini sangat kuat," sambung Jhana.

'Aku tahu kalau itu bukan kau,' batin Tn. Farzin, ia melemparkan sebuah senyuman kepada Jhana.

"Satu hal yang harus kulakukan adalah mendapatkan bukti. Bibi Tamara mungkin sudah mengantisipasi agar aku tidak akan punya bukti, dia pasti tahu kalau aku akan berpikiran seperti ini, jadi dia pasti sudah memiliki benteng yang membatasiku dengan bukti, dan dia berpikir kalau aku akhirnya akan dipecat dan dia bisa bergerak secara bebas. Tapi, tidak. Dia perlu mengenalku lebih dalam, ayah setuju, kan?"

Tn. Farzin menjawabnya dengan mengangguk. Jhana pun tersenyum dan mencium kedua pipi Tn. Farzin.

"Aku lanjut bekerja dulu, ya," ucap Jhana. Wanita itu kemudian masuk dan meninggalkan ayah angkatnya berjemur. Namun ketika baru akan menaiki tangga, Jhana berpapasan dengan Arvin. Perhatian Arvin langsung terfokus ke bekas luka tamparannya yang berada di pipi kanan Jhana.

Mereka berdua mendadak jadi canggung. Arvin berusaha menyentuh bekas luka di pipi Jhana itu, namun Jhana menepisnya. "Ini baik-baik saja," kata Jhana.

"Aku ... Aku ingin meminta maaf untuk kejadian semalam. Aku sadar kalau sangat tidak pantas bagiku untuk menamparmu, terlebih lagi dengan kekuatan ekstra. Aku ... Aku tahu maaf saja tidak cukup untuk membuat luka itu sembuh, tapi ... aku ingin kau tahu kalau aku merasa sangat bersalah, sangat merasa," ujar Arvin.

Tn. Farzin tersenyum melihat hal itu, ia merasa bangga kepada putranya sebab sudah menyadari kesalahannya.

"Mungkin akan lebih baik untuk kita kalau tidak membicarakan tentang tamparan itu lagi. Saya memaafkan Anda, dan biarkan saya melupakan tentang kejadian semalam," ucap Jhana.

Arvin lalu mengernyitkan dahinya.

"Hanya kejadian semalam. Saya tidak akan melupakan tentang Nyonya Zemira yang keracunan, saya tidak takut untuk terus mengungkit hal itu, karena ketika saya benar, saya tidak akan berhenti untuk membuat orang percaya. Permisi, Tuan Arvin," sambung Jhana, ia tahu kenapa Arvin mengernyitkan dahinya. Jhana lantas masuk dan meninggalkan Arvin.

Arvin menatapi Jhana dari belakang, ia kemudian masuk dan pergi ke dapur.

"Bibi Kania, sarapanku dibuat bekal saja, ya? Aku akan makan di tempat kerjaku saja," pinta Arvin.

"Baik, nak," kata Kania.

"Kenapa kau tidak makan di sini saja?" tanya Ny. Zemira yang baru masuk ke dapur dan tak sengaja mendengar percakapan Arvin dan Kania.

"Aku ... Ada hal yang harus kuselesaikan di rumah makan tempatku bekerja," jawab Arvin.

"Apa?"

"Engh ... Masalah anak muda, tidak terlalu penting, aku bisa menyelesaikannya tanpa bantuan siapapun."

"Kau berbohong?"

"Tidak, tidak."

"Memangnya apa masalahmu?"

"Masalah anak muda hanya boleh diketahui anak muda saja, hehehe."

"Kau yakin semuanya akan baik-baik saja?"

"Ya, aku jamin seratus persen."

"Baiklah."

Kania akhirnya selesai membuat bekal untuk Arvin, ia lantas memberikan bekal itu kepada orang yang akan memakannya.

"Terima kasih, bibi," ucap Arvin, Kania hanya menjawabnya dengan senyuman.

Arvin kemudian langsung berangkat ke rumah makan Populer, padahal jika dihitung-hitung, ia akan tiba di rumah makan itu 10 menit sebelum jadwal rumah makan tersebut untuk buka.

Dan benar saja, ketika ia tiba, rumah makan itu masih belum buka. Di sana, Arvin mendapati Yahya yang juga sedang menunggu Pak Toni.

"Tumben kau datang cepat hari ini," ujar Yahya.

"Ya," kata Arvin, singkat, padat, cepat. Yahya lantas menggelengkan kepalanya.

"Salma sudah datang?" tanya Arvin.

"Kau bisa melihat dan menghitung? Kalau bisa, kau seharusnya tahu kalau di sini hanya ada kita," jawab Yahya.

"Aku hanya bertanya, santai saja jawabnya."

"Aku santai, kau saja yang terlalu sensitif."

"Aku bukan gigi berlubang."

'Pria ini sedang stress,' batin Yahya.

Dari kejauhan, terlihat Salma yang sedang berjalan menuju rumah makan itu. Salma langsung menghampiri Arvin tanpa ragu saat tiba di rumah makan tersebut.

"Terima kasih," ucap Salma, matanya terlihat berkaca-kaca.

"Hah?" Arvin tampak heran.

"Terima kasih untuk segala hal yang pernah kau lakukan untukku, baik atau buruk."

"A-apa maksudmu?"

"Aku tidak tahu masalahmu, dan aku tidak paham apa yang salah dari dirimu."

"Salma, bicaralah yang jelas."

"Aku tahu apa arti dari umpatanmu semalam, dan aku minta maaf karena mengumpatmu dengan kata-kata itu juga. Semalam aku tidak langsung pulang, aku pergi ke tempat kursus bahasa Inggrisku, dan menanyakan arti dari umpatanmu yang kuucapkan juga untukmu. Ketika aku tahu artinya, aku langsung memutuskan untuk tidak ikut kursus lagi, aku bukan murid di kursus itu lagi."

"Salma, aku tidak mengerti dengan apa yang kau katakan."

"Akulah yang tidak mengerti tentang dirimu. Mungkin terlalu cepat bagi kita untuk menjalin hubungan disaat kita baru beberapa saat berkenalan, sehingga aku tidak tahu bagaimana kau sebenarnya," ujar Salma, di saat yang bersamaan, Wanda sampai di rumah makan itu.

"Manusia mana yang tega mengumpat pasangannya dengan kata 'bajingan?'" sambung Salma, kini ia menangis.

'Ini seru,' batin Wanda. Sementara itu Arvin hanya bisa mematung.

"Kecuali kau sepertinya. Tapi, kenapa tiba-tiba kau menjadi seperti ini? Aku tahu kalau aku juga mengumpatmu dengan kata-kata itu, tapi, kupikir maknanya tidak sejauh itu, dan saat aku mengetahui artinya, aku hancur." Salma belum berhenti.

"Salma, dengarkan aku dulu."

"Apa yang kau lakukan saat aku dan kak Yahya berusaha menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi? Kau mengataiku 'bajingan'. Ingat, kan? Seharusnya iya, karena itu terjadi kurang dari dua puluh empat jam yang lalu." Salma menyela Arvin.

"Umpat aku sekarang, tidak apa, asal jangan bersikap seperti ini, tolong, aku tidak sanggup melihatmu menangis."

"Tapi kau sanggup membuatku menangis, dan ini sangat menyakitkan. Kau terlalu keras kepala, kau tidak mempedulikan apapun ketika kau benar-benar marah. Sekarang, biarkan aku menjelaskan apa yang seharusnya langsung kujelaskan padamu kemarin meskipun kau mengataiku 'bajingan'. Aku tidak mengenal Khansa, aku tidak menguntitmu, aku tidak menaruh curiga sama sekali padamu, dan aku tahu tentang kedekatanmu dengan Khansa dari kak Yahya, bukan dari hasil menguntit. Kak Yahya menceritakan padaku tentang kedatangan Khansa ke sini, dan aku mendukungmu saat aku tahu bahwa kau sedang berusaha membuat Khansa move on. Tapi apa yang kudapat? 'Bajingan'. Kau mengumpatku dengan dua kata, di mana yang satunya benar-benar membuatku hancur sampai sekarang."

"Salma-"

"Kenapa kau sangat marah? Jika kau tidak memiliki kedekatan yang lebih dari teman dengan Khansa, lalu kenapa kau sampai semarah itu? Aku tidak pernah berpikir hal yang aneh-aneh tentang dirimu, tidak pernah. Lalu kenapa kau berpikir kalau aku ini posesif? Kenapa, Arvin? Ada apa denganmu? Ke mana perginya Arvin yang kukenal dulu? Ke mana perginya Arvin yang sangat menghargai perempuan? Dulu kau menyelamatkan Dina di kasino, tapi kemarin kau memakiku tanpa alasan yang jelas. Aku benar-benar bertanya, Arvin. Ada apa denganmu?"

"Biarkan aku menjelaskannya-"

"Awalnya kupikir aku akan sangat senang jika kau membagikan masalahmu denganku, karena sejak beberapa hari ini, kau lebih banyak diam, bahkan kak Yahya menyadari perubahanmu. Tapi sekarang, entah kenapa ketika mendengar suaramu, di kepalaku selalu terngiang umpatan itu. Jadi maaf, aku tidak bisa mendengar sebuah penjelasan darimu yang sudah pasti panjang lebar. Terima kasih untuk kursus bahasa Inggris yang kau berikan padaku, terima kasih karena kau sudah mencintaiku, terima kasih karena kau pernah berjuang untuk mendapatkanku. Terima kasih, terima kasih banyak. Ketahuilah bahwa aku akan selalu menyayangimu, tapi mungkin, untuk sekarang dan seterusnya, aku hanya akan menyayangimu sebagai teman, sama seperti kau menyayangi Khansa sebagai teman. Kita tidak berhasil untuk membangun sebuah hubungan yang serius. Maafkan aku jika ada sikapku yang membuatmu kesal selama aku menjadi kekasihmu. Aku menyayangimu, teman."

Salma lantas memeluk Arvin sebagai tanda berakhirnya hubungan mereka, sedangkan Arvin hanya bisa mematung dan tidak membalas pelukan itu. Ia benar-benar terkejut dan tidak pernah menduga hal ini sebelumnya. Sekarang rasa terkejut dan tidak menyangkanya sama dengan yang dirasakan oleh Jhana ketika ditampar olehnya.

Berakhir sudah hubungan Arvin dan Salma.

avataravatar
Next chapter