56 Aroma Menjijikkan

Sesampainya di mansion Dhananjaya, Arvin langsung memarkirkan mobilnya. Ia keluar dari garasi, menghampiri Salma yang sedang memandangi rumah besar itu. Pemuda itu menyadari bahwa waktu sudah menunjuk pada pukul 05:35, jadi pergerakannya sedikit agak lebih cepat.

"Ayo kita masuk, aku bisa terlambat jika kita terlalu lama memulai sarapannya," ajak Arvin pada Salma.

"O-ok," Salma menerima ajakan itu tanpa mengalihkan pandangannya dari mansion tersebut.

"Hei, sudah. Kau bisa melihat mansion ini sepuasmu nanti. Oh iya, jam tiga sore nanti kau sudah harus pulang dari sini."

"Kenapa?" Salma bertanya, dan untuk pertama kalinya ia mengalihkan perhatiannya dari mansion.

"Aku sudah menemukan sebuah kursus bahasa Inggris yang cocok untukmu, jam pelajarannya dimulai jam empat, jadi kau sudah harus bersiap sejak jam tiga."

"Apa?! Jadi kau serius dalam hal itu?!"

"Tentu saja, untuk apa aku bercanda?"

"Sebenarnya aku tidak suka bahasa Inggris, tapi, tidak apalah."

Arvin tersenyum. "Yasudah, ayo."

Secara tidak sengaja, saat mereka berdua berjalan menuju pintu, Jhana berpapasan dengan mereka. Wanita itu juga hendak masuk kedalam, namun ia berhenti saat dirinya melihat Arvin berjalan menuju pintu bersama seorang wanita yang tidak dikenalnya.

Sadar posisinya saat ini adalah seorang ART di mansion itu, Jhana pun membukakan Arvin dan Salma pintu, lalu membiarkan mereka berdua masuk dengan sebuah senyuman.

"Terima kasih," ucap Salma sembari membalas senyuman Jhana. Ia sampai berhenti hanya untuk mengucapkan hal itu.

"Sama-sama, nona," balas Jhana. Jhana lantas melirik Arvin, ia menyadari jika Arvin sudah mulai tidak menyukainya sejak dirinya ketahuan menguping percakapan antara ibu-anak, Ny. Zemira dan Arvin.

"Siapa namamu?" tanya Salma.

"Karin, nona."

"Panggil aku Salma, tidak perlu pakai sebutan nona."

"Ah, baik."

'Ternyata ini yang namanya Salma, gadis yang menggantikan posisiku di rumah makan Populer. Sepertinya dia adalah gadis yang baik. Pantas saja Arvin memilihnya,' batin Jhana.

Arvin dan Salma kemudian masuk.

"Kenapa kau tidak mengucapkan terima kasih padanya? Meskipun dia pembantu disini, tapi jika dia melayani kita dengan baik, kita juga harus berterima kasih padanya, kan?" bisik Salma pada Arvin.

"Kau baru melihat dan mengenalnya beberapa menit yang lalu, kau tidak tahu dirinya. Tunggu saja, akan ada saatnya kau tahu bagaimana dirinya setelah beberapa hari," ujar Arvin.

Kania kebetulan lewat di hadapan mereka, Arvin lalu memanggilnya. "Bibi Kania! Dimana ibu?"

"Nyonya sudah berada di ruang makan, Tuan, kalian sudah ditunggu," jawab Kania.

"Baiklah, terima kasih."

"Saya permisi dulu. Mari, nona."

Salma lantas tersenyum melihat sambutan hangat yang tidak hanya diterimanya dari Jhana, tapi juga dari Kania.

Arvin kemudian menggenggam telapak tangan Salma dan berniat untuk mengajaknya langsung ke ruang makan, namun Salma menahannya.

"Ada apa?" Arvin bertanya.

"Aku belum siap," kata Salma sembari menggandeng tangan Arvin.

Pria itu lalu tersenyum.

"Mereka tidak akan menggigitmu," canda Arvin.

"Bukan begitu. Bagaimana jika aku tidak diterima dikeluargamu? Kau tahu perbedaan kasta kita sangat jauh."

"Aku sudah memikirkan hal itu sejak awal. Kau jangan khawatir, keluargaku memang tidak akan menerimamu. Tapi ibuku, dia tidak akan menilaimu dari status sosialmu. Aku tidak menjamin kalau ibuku akan menyukaimu, tapi aku menjamin kalau kau harus melewati beberapa ujian kecil untuk bisa memenangkan hati ibuku."

"Itu artinya ibumu tidak akan langsung tidak menyukaiku?"

"Hmm. Keluargaku itu biasanya langsung menilai orang bahkan sebelum mereka mengenal orang tersebut. Mereka biasanya menilai melalui kasta, tapi sebuah hal telah mengubah ibuku. Intinya kau jangan khawatir, jangan pedulikan perkataan saudara-saudaraku tentang dirimu, fokus saja pada ibuku."

"Termasuk Isa?"

"Anak itu sedang sibuk mengurus pernikahannya, dia tidak akan berbicara apa pun karena yang ada di pikirannya hanya tentang pernikahannya. Kau bisa benar-benar mengerti apa yang terus dipikirkannya setelah kau melihat halaman belakang."

"Baiklah, baiklah. Aku memegang ucapanmu."

Arvin tiba-tiba tersenyum jahil.

"Kenapa?" tanya Salma seraya mengernyitkan dahinya.

"Teruslah menggandengku, maka Romeo dan Juliet akan kalah saing dari kita."

Mendengar hal itu, Salma pun langsung menyadari jika dari tadi ia melepaskan genggaman Arvin dan malah menggandengnya. Dengan cepat, ia langsung melepaskan genggamannya dan seketika merasa gugup.

"A-aku ti-tidak bermaksud apa-apa," kata Salma.

"Hahaha, jika kau bermaksud apa-apa juga tidak apa-apa."

"Diam, kau!"

"Ssshhhtt."

"Ayo kita masuk ke ruang makan," sambung Arvin, pria itu lantas memutuskan untuk jalan lebih dulu dari Salma agar tidak membuat Salma jadi semakin gugup. Salma pun menyusulnya.

"Ngomong-ngomong, aku tahu pasangan bernama Romeo dan Juliet di dunia nyata, tapi aku tidak mengenal mereka," ucap Arvin hanya untuk basa basi.

"Siapa?" tanya Salma.

"Rekan kerja kak Kevlar. Juliet itu kebetulan temannya kak Bunga dan kak Raya."

"Aku tidak tahu satu orang pun yang kau katakan barusan."

"Ini mereka."

Ucapan Arvin barusan tentu saja menarik perhatian seluruh anggota keluarga Dhananjaya yang sudah berada di ruang makan. Salma kemudian mendekatinya.

"Apa kami terlambat?" tanya Arvin.

"Tidak, kalian tepat waktu. Sangat tepat waktu," jawab Isa.

"Kau bilang dia tidak akan bicara," ujar Salma pada Arvin.

"Hehe," Arvin hanya terkekeh kecil.

"Siapa kakak cantik ini?" tanya Shirina.

"Dia terlihat lebih cantik dari kak Dina," sambung Shirina.

"Hei!" protes Isa.

"Setidaknya Dina lebih kaya," sindir Bunga.

Arvin dan Salma lalu saling melirik. Arvin terlihat berusaha membuat Salma mengingat ucapannya tentang keluarganya, dan agaknya Salma peka akan hal itu.

"Jadi, kau yang bernama Salma?" tanya Ny. Zemira.

"Iya, bibi. Aku Salma. Dengan bibi siapa?" balas Salma.

"Aku Zemira, ibunya Arvin." jawab Ny. Zemira sambil tersenyum. Mereka berdua lantas berjabat tangan.

Salma lalu melirik Arvin, Arvin lalu menaikkan alis kanannnya.

"Ayo kita langsung makan. Mengobrolnya nanti saja, paling di iringi oleh perkenalan," ucap Ny. Zemira.

"Nenek pengertian sekali, aku sudah sangat lapar," keluh Shirina.

Matahari mulai muncul sempurna. Arvin sudah berada di rumah makan Populer, Kevlar sudah berangkat bekerja, sedangkan Isa baru saja pergi bersama Arka, Fina dan Shirina, Salma mengantar mereka hingga ke pintu barusan. Gadis itu melambaikan tangannya pada mereka dan sengaja tidak menutup pintu sebab beberapa dekorator pelaminan Isa dan Dina masih berlalu-lalang disana.

Salma lalu berjalan menuju ruang tamu dan menghampiri Ny. Zemira yang sedang menganyam.

"Aku tahu kau berpikir kalau keluarga ini bukan keluarga yang baik," ujar Ny. Zemira.

"Kami memiliki banyak kekurangan, jadi jangan heran dengan beberapa hal dari kami yang kau anggap aneh," sambungnya.

"Manusia tidak ada yang sempurna, kan? Itu wajar, bibi," ucap Salma.

"Kau gadis yang baik," puji Ny. Zemira.

Salma tersenyum. "Oh iya bibi, aku melihat beberapa anak yang tinggal bersama Tantri. Salah satunya pergi bersama Isa, Arka dan Shirina tadi. Siapa mereka? Keponakannya Tantri?" tanya Salma.

"Bukan, mereka hanya anak terlantar."

"Maksud bibi?"

"Mereka anak yatim. Ibu mereka adalah ayah sekaligus ibu bagi mereka. Wanita itu adalah orang yang berada di posisimu dulu. Kau bekerja di rumah makan itu untuk menggantikan posisinya. Mereka bertiga ditinggalkan oleh ibu mereka tanpa alasan yang jelas, jadi Dina mengasuh mereka. Tapi karena dia sedang sibuk mempersiapkan pernikahannya, jadinya merema dititipkan disini sampai Isa dan Dina menikah."

"Kenapa tidak mencari ibu mereka saja?"

"Sudah, tapi aku tidak mengerti kenapa Isa dan Dina berhenti mencari ibu mereka. Mereka berdua mengatakan kalau mereka akan melanjutkan pencarian mereka terhadap ibu anak-anak itu setelah mereka resmi menikah. Aku tidak mengerti kenapa mereka membuat hal ini menjadi berlarut-larut."

"Oooh, begitu."

"Lalu kenapa mereka justru dititipkan ke Tantri? Bukankah hal itu akan merepotkannya?" sambung Dina.

Ny. Zemira terdiam.

"Bibi? Apa ada masalah?" tanya Salma usai ia tidak mendapatkan sebuah jawaban dalam beberapa detik.

"Ti-tidak. Anak-anak itu hanya sedikit kirang diterima oleh beberapa orang disini, yah, aku tidak perlu menyebut nama," ucap Ny. Zemira.

'Aku paham, dia adalah salah satu orang yang tidak menerima kehadiran anak-anak itu,' batin Salma.

"Bagaimana denganmu?" tanya Bunga tiba-tiba. Ibu 1 anak itu mengejutkan Ny. Zemira dan Salma dengan kehadirannya yang sudah berada di pintu ruang tamu.

"Arvin bilang kau adalah gadis yang luar biasa. Kau adalah yatim piatu juga, sama seperti anak-anak itu. Kau diasuh oleh paman dan bibimu. Sekolahmu terputus dibangku kelas menengah pertama dan kau bekerja sejak saat itu. Apa semua itu benar?" sambung Bunga sembari berjalan menuju sebuah sofa.

"Tak heran jika kakak mengetahui beberapa hal tentangku, karena aku memang sudah menceritakan banyak hal tentang hidupku pada Arvin," ujar Salma.

"Apa pekerjaan paman dan bibimu?" timpal Raya yang meskipun baru datang, tapi sepertinya tahu tentang 'tema' percakapan di ruang tamu itu.

"Mereka hanya petani dan peternak sapi," jawab Salma.

"Pantas saja aku terus menerus mencium aroma menjijikkan pagi ini," sindir Raya yang kemudian pergi setelah beberapa saat berdiri di dekat pintu. Salma hanya terdiam.

avataravatar
Next chapter