15 Apa Kau Mengkhawatirkanku?

Kedua pria itu membawa Dina ke sebuah meja yang dipakai oleh 4 orang pria lainnya yang sedang berjudi. Kini hanya 1 pria yang menahan mulut dan tangan Dina.

"Hei, kalian!" panggil pria yang tidak menahan Dina. 4 pria yang memakai meja tersebut kemudian menoleh.

"Mau bertaruh? Kali ini berkelompok, satu kelompok berisi dua orang, dan masing-masing kelompok harus menyediakan dua puluh juta Rupiah. Aku akan berkelompok dengannya, tapi kami sedang tidak punya uang, jadi kami membawa gadis ini sebagai pengganti uang kami. Tim yang menang akan mendapatkan uang dan gadis ini sekaligus. Buatlah kelompok, kalian ada empat orang. Jika salah satu kelompok kalian menang, maka kelompok itu akan mendapatkan dua puluh juta Rupiah dan gadis ini, kalian boleh melakukan apa saja yang kalian mau padanya, tapi jika kami yang menang, kami akan mendapatkan empat puluh juta Rupiah, dan gadis ini tetap menjadi milik kami," sambung pria itu.

Keempat pria tadi pun mulai berpikir dan melihat Dina dari ujung rambut hingga ujung kaki. Dina hanya bisa pasrah, dalam keadaan seperti ini, ia pasti sudah tidak bisa lari, banyak orang yang akan menahannya, terlebih lagi sebagian besar orang yang ada di kasino tersebut adalah pria.

"Judi ini tidak akan merugikan kalian, tapi sepertinya kalian juga butuh usaha untuk mendapatkan gadis secantik ini, jadi aku menerima taruhan ini. Aku akan berkelompok dengannya saja," ujar seorang pria yang memegang vape.

"Hmm, baiklah, aku mau berkelompok denganmu," kata pria yang dimaksud oleh pria yang memegang vape tadi.

Sedangkan 2 pria lainnya tampak tengah berdiskusi, dan akhirnya salah satu dari mereka pun buka suara sambil meletakkan beberapa lembar uang kertas pecahan Rp. 100.000 ke atas meja. "Gadis ini boleh juga, kami menerima taruhan ini sebagai tim. Ini uang kami."

"Mana uang kalian?" tanya pria yang menahan Dina. Kemudian pria yang memegang vape memberikan 2 ikat uang Rp. 100.000 yang menjadi jawaban kelompoknya.

Kedua pria yang menjadikan Dina sebagai bahan taruhan mereka pun tersenyum.

Di ruang kerjanya, Ny. Zemira terlihat sedang sibuk dengan beberapa dokumen, namun disaat ia sedang fokus-fokusnya, seseorang mengetuk pintu ruang kerjanya.

"Masuk saja," ucap Ny. Zemira.

Ketika pintu terbuka, terlihatlah sosok Ayang yang sudah 10 tahun terakhir ini bekerja di mansion Dhananjaya.

"Maaf, Nyonya, apa saya menganggu?" tanya Ayang.

"Tidak juga. Apa keperluanmu?" tanya Ny. Zemira balik.

"Anu, Nyonya, saya ... ingin mengundurkan diri," jawab Ayang.

"Saya tahu ini tiba-tiba, tapi sebenarnya saya sudah memikirkannya beberapa bulan terakhir. Sepuluh tahun bekerja untuk keluarga Dhananjaya bagi saya adalah pengalaman luar biasa yang tidak akan pernah bisa saya lupakan," lanjut Ayang.

"Apa alasanmu mengundurkan diri?" tanya Ny. Zemira sambil mengernyitkan dahinya.

"Setiap makhluk hidup pasti bertambah tua, begitu juga dengan saya. Saya rasa fisik saya tidak akan kuat lagi untuk bekerja seperti ini selama beberapa bulan kedepan, jadi saya memutuskan untuk berhenti saja dan kembali ke kampung halaman saya. Ini memang sedikit lucu karena kenyataannya fisik saya lebih lemah dari kak Kania."

Ny. Zemira terdiam sesaat dan mulai berpikir.

"Sulit untuk mendapatkan pekerja sepertimu, kau adalah orang yang cekatan, rapi dan bersih, kau menerapkan tiga hal itu dalam pekerjaanmu, itulah alasanku tetap mempekerjakanmu. Tapi, setiap pekerja memiliki hak untuk mengundurkan diri dari pekerjaan mereka, dan dengan itu, dengan berat hati aku akan membiarkanmu mengundurkan diri. Tapi ketahuilah, mungkin tidak akan ada yang bisa segesit, secepat, sebersih dan serapi kau disini, jadi jangan lupakan kami," ujar Ny. Zemira. Ayang pun tersenyum.

"Terima kasih, Nyonya. Bagaimana mungkin saya bisa melupakan keluarga ini? Semua yang berkaitan dengan keluarga Dhananjaya sangat berkesan bagi saya," ucap Ayang.

"Kapan kau akan mulai berhenti?" tanya Ny. Zemira.

"Besok. Siang ini sampai malam saya akan tetap bekerja, jadi ini adalah hari terakhir saya bekerja disini," jawab Ayang.

Ny. Zemira lantas membuka laci meja kerjanya dan mengambil 3 ikat uang pecahan Rp. 100.000 yang terdapat di dalamnya.

"Ini gaji terakhirmu. Mungkin itu kurang, tapi hanya itu yang ada di laci ini," kata Ny. Zemira seraya menyerahkan 2 ikat uang tadi pada Ayang. Ayang pun menerimanya dan tampak bahagia.

"Nyonya! Ini lebih dari cukup! Ini bahkan lebih banyak tiga kali lipat dari gaji saya selama sebulan! Terima kasih! Nyonya Zemira!" ucap Ayang.

Ny. Zemira hanya menjawab dengan mengangguk sambil tersenyum.

Dengan mulut yang ditutup menggunakan kain dan kedua tangan yang di ikat oleh tali, Dina berusaha untuk lari dengan mengamati kondisi sekelilingnya dulu. Dilihatnya keenam pria bejat yang berada dihadapannya masih fokus berjudi demi mendapatkannya.

Dina juga melihat beberapa wanita bertato dan berpakaian minim di kasino tersebut, beberapa dari wanita itu bahkan tengah memegang rokok dan botol alkohol secara bersamaan.

'Kurasa ini adalah nerakanya dunia,' batin Dina.

Ia kemudian melihat kesempatan untuk lari, ketika dirinya mundur 3 langkah, keenam pria tersebut tak memperhatikannya, sehingga hal ini membuat Dina yakin kalau ia bisa lari dari kasino itu.

Namun tiba-tiba Dina mengurungkan niatnya untuk lari, ia tak sengaja melihat Arvin yang berjarak sekitar 15 meter di depannya. Arvin tengah memperhatikannya, dan Dina yakin kalau tatapan Arvin bertuju padanya dan keenam pria yang sedang berjudi tersebut.

'Apa dia menyadari keberadaanku dari tadi? Kenapa dia tidak bertindak?' batin Dina.

"Yes! Woo hoo!" seru pria yang memegang vape, tampaknya ia dan teman sekelompoknya menang dalam perjudian itu, pria itu pun segera sadar kalau Dina telah menjauh beberapa langkah, ia lantas menghampiri Dina dan langsung menjambak rambut gadis itu.

"Apa kau mau lari? Hm?!" tanyanya

Dina hanya merintih kesakitan karena jambakan pria itu sangat kuat, ia tidak bisa menjawab karena mulutnya ditutup oleh kain, dan Arvin hanya memperhatikan.

Pria tersebut kemudian menarik rambut Dina dan membawanya ke kursi yang di dudukinya tadi, sontak saja Dina semakin kesakitan karena ia dituntun dengan cara dijambak.

"Anda milikku, nona," bisik pria tersebut pada Dina.

"Mau bernegosiasi?" tanya teman sekelompok pria yang menjambak Dina tadi pada pria tersebut.

"Negosiasi?" namun pria yang kini menghisap vapenya itu terlihat bingung.

"Ambil uang modal sepuluh juta Rupiah kita untuk kita masing-masing, dan ambil gadis itu untukmu, biarkan dua puluh juta Rupiah mereka menjadi milikku."

"Maksudmu gadis ini untukku dan uang itu untukmu?"

"Ya, gadis itu hanya akan menjadi milikmu, dan uang ini hanya akan menjadi milikku."

"Baiklah, karena aku sangat menyukai gadis ini, jadi aku terima negosiasimu."

Disaat teman-temannya menenggak alkohol, Arvin terus memperhatikan keenam pria itu dan Dina dari kejauhan, ia tidak jadi meminum alkohol miliknya dan hanya memegang botol alkohol tersebut.

"Sekarang, kau adalah milikku seutuhnya," ucap 'pria bervape' itu pada Dina. Pria tersebut melayangkan tangannya ke area sensitif milik Dina, Dina hanya bisa pasrah dan memejamkan kedua matanya.

Namun belum sempat pria itu menyentuh area sensitif Dina, Arvin datang menghajarnya dengan cara membanting dirinya dan memukulnya. Sontak saja semua yang ada di dalam kasino itu langsung memusatkan perhatian mereka pada Arvin dan pria itu. Ketika Arvin akan melayangkan pukulan lagi pada pria tersebut, pria yang menahan Dina tadi langsung menahan tangannya.

"Apa masalahmu?" tanya pria yang menahan Dina tadi pada Arvin.

"Siapa dia?! Aku tidak mengenalinya!" ujar Arvin.

"Dia anggota baru disini," jawab pria yang menahan tangannya itu.

"Katakan padanya kalau dia harus lebih banyak belajar sopan santun! Dasar bejat!" Arvin kini tampak sangat marah.

"Kendalikan dirimu, Arvin! Dia juga anggota disini! Kau tidak berhak menghajarnya seperti ini!"

"Argh!" gerutu Arvin seraya melepaskan genggaman pria yang menahan tangannya, ia berjalan menuju Dina dan melepaskan tali yang mengikat tangan calon adik iparnya tersebut, ia juga melepaskan kain yang menutup mulut Dina dan langsung menarik tangan gadis itu, membawanya keluar.

"Hei, sampah! Dia milikku!" seru pria yang dihajar oleh Arvin tadi.

"Perempuan baik sepertinya tidak pantas mendapatkan laki-laki brengsek sepertimu! Haryo, aku keluar dari daftar anggota kasino ini! Kalian berdua sama-sama brengsek dan menjijikkan!" amuk Arvin.

"Yasudah! Keluar saja sana! Kasino ini tidak butuh orang gila sepertimu!" teriak Haryo, pria yang menahan tangan Arvin dan menahan Dina tadi.

"Tapi gadis itu milikku!" ucap pria yang dihajar Arvin tadi.

"Masih banyak perempuan yang lebih bagus darinya, aku akan mencarikannya, tenang saja," ujar Haryo.

Arvin pun kembali menarik tangan Dina, kali ini secara paksa dan berjalan sambil memegangi tangan calon istri adiknya itu.

Mereka berdua berjalan lurus ke arah timur dengan Arvin yang masih menarik tangan Dina secara paksa, Dina pun merintih kesakitan. Arvin lantas melepaskan genggaman tangannya dari Dina karena rintihan tersebut setelah mereka berdua berjalan cukup jauh.

"Apa kau gila?!!" bentak Arvin pada Dina.

"Kenapa kau datang ketempat seperti itu?!!" sambungnya.

"A-aku ..."

"Jangan buat alasan! Bagaimana otakmu bekerja?!" sela Arvin.

Dina hanya diam sambil tersentak dengan segala bentakan Arvin, selain baru kali ini mendengar suara Arvin, baru kali ini juga Dina melihat Arvin marah, bukan hanya marah biasa, tapi marah besar, apa lagi padanya.

"Tapi ..."

"Berhenti menjawab!" ucap Arvin.

"Apa kau tahu betapa khawatirnya aku jika ada orang-orang yang kusayangi memasuki tempat seperti itu?! Apa kau tahu bagaimana marahnya Isa jika sampai kau dilecehkan secara fisik oleh pria-pria brengsek itu?! Kenapa kau semurahan itu?!" lanjut Arvin. Dina sontak saja terkejut dengan perkataan terakhir Arvin.

Bagaimana bisa Arvin tega mengatakannya sebagai perempuan murahan? Padahal sudah jelas kalau terjadi pemaksaan saat itu.

"Aku tidak murahan!" seru Dina, matanya mulai berkaca-kaca menahan tangis.

Arvin akhirnya sadar kalau yang diucapkannya salah.

"Lalu kenapa kau datang kesana?" tanya Arvin yang mulai meredam emosinya.

"Aku tidak datang kesana secara sengaja! Aku juga tidak mau datang ketempat seperti itu! Tapi ..." kali ini Dina yang emosi.

"Tapi apa?!" sela Arvin.

"Isa menyuruhku kencing di kasino itu!!" Dina tampak merasa geram.

Arvin lantas terkejut mendengar jawaban Dina. Ia tidak percaya jika Isa menyuruh Dina datang ke tempat perjudian itu, namun disatu sisi ia bertanya-tanya.

Apa yang dikatakan oleh Dina itu benar?.

"A-apa yang terjadi?" tanya Arvin yang bingung mau bertanya apa lagi.

"Kami dalam perjalanan kembali ke rumah makan Populer, ditengah jalan aku ingin kencing dan Moma menghubungiku dan mengatakan kalau gas di kostku bocor, jadi Isa menyuruhku kencing di toilet yang terdapat di kasino itu, dia bilang kak Arvin akan menjagaku," jelas Dina yang tampak lebih tenang.

"Mona? Siapa Mona?"

"Dia adalah anak sulung kak Jhana," jawab Dina.

"Kak Jhana ...?"

"Jhana yang kukenal mungkin berbeda dengan Jhana yang keluarga Dhananjaya kenal, jadi jangan pikirkan tentang dia. Kembali ke inti pembicaraan ini saja."

"Apa lagi yang harus dibahas? Sekarang semuanya sudah jelas, aku mengerti semuanya," ujar Arvin.

"Maksudku, apa kak Arvin benar-benar mengkhawatirkanku? Apa kakak menyayangiku?"

"Ada apa denganmu?" tanya Arvin yang tampak heran, namun melanjutkan jalannya.

"Kakak tadi mengatakan hal itu," ucap Dina seraya menghampiri Arvin.

Arvin kemudian meraih tangan kanan Dina dan mengenggamnya dengan kuat. "Tutup mulutmu!" katanya. Dina lantas merintih kesakitan karena genggaman tangan Arvin yang sebelumnya telah meninggalkan bekas luka di pergelangan tangannya.

Arvin pun secara refleks melepaskan genggamannya, ia lalu kembali berjalan dan Dina mengikutinya, mereka berdua berjalan dengan suasana hening yang dihiasi oleh diamnya mereka berdua.

Usai melakukan perjalanan yang cukup melelahkan, Jhana pun langsung berbaring di atas ranjangnya dan memejamkan matanya.

'Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan?' batinnya.

Setelah cukup lama berbaring, Jhana akhirnya bangun dan keluar dari kamarnya, ia berjalan menuju kedepan masjid. Disana Jhana melihat Arini yang tampak sudah lelah usai menemaninya tadi, membersihkan isi dalam masjid tersebut. Hati Jhana pun tergerak untuk menawarkan bantuan.

Setelah terjebak macet, Isa akhirnya berhasil sampai di kost Dina. Ia menjadi panik karena mendapati anak-anak Jhana yang tidak keluar dengan bau gas yang sudah menyebar kemana-mana. Isa pun kemudian mengetuk pintu kost Dina, dan terlihatlah Zhani yang membuka pintu dengan menjepit hidungnya dengan tangan mungilnya sendiri. Isa pun lantas masuk kedalam kost tersebut dan melihat Fina dan Mona yang sedang kebauan.

"Apa yang kalian lakukan disini? Pada saat gas mengeluarkan bau seperti ini, seharusnya kalian segera keluar. Ayo cepat keluar," suruh Isa. Mendengar perintah dari Isa, anak-anak Jhana pun langsung keluar dari kost tersebut dan menjauh.

avataravatar
Next chapter