54 Aku Mengerti!

"Apa itu?" tanya Kevlar.

"Entahlah, aku hanya melihatnya saat keluar dari kamar itu dan dia mengatakan kalau dirinya sedang memeriksa keadaan ayah kalian," jawab Ny. Zemira.

"Dan dia tidak meminta izin pada ibu sebelumnya?" Bunga kembali bertanya. Ny. Zemira menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kepergian ibu ke dinas kependudukan sudah diketahui olehnya karena ibu yang memberitahunya langsung, jadi ibu tidak memiliki alasan lagi untuk menundanya," ucap Ny. Zemira.

"Tidak perlu repot-repot pergi, ibu. Saya sudah pergi ke dinas kependudukan kemarin," ujar Kevlar.

"Benarkah? Kau sangat menyayangkan tindakanku yang agak bertele-tele sepertinya," kata Ny. Zemira.

"Gerak-geriknya membuat saya tidak nyaman."

"Baiklah, tidak apa. Jelaskan tentang dirinya."

"Namanya memang Karin Nevilda, umurnya memang tiga puluh dan tidak ada kebohongan tentang data dirinya," papar Kevlar.

"Lalu kenapa dia berani sekali dalam bertindak disini?"

"Itulah yang harus kita ketahui. Wanita itu sulit dimengerti dan dia terlalu misterius."

"Awasi saja pergerakannya dulu, jangan langsung mengambil langkah untuknya, sebab aku tidak merasakan hal yang aneh darinya," ujar Bunga.

"Kau benar. Memahami dirinya mungkin harus kita lakukan," ucap Ny. Zemira.

"Baiklah, sepertinya aku tidak jadi pergi, terima kasih karena kau sudah bertindak cepat untuk menjawab rasa penasaranku. Aku bersyukur memiliki menantu sepertimu," sambungnya di iringi oleh sebuah senyuman. Kevlar membalas senyuman itu.

'Aku tidak bisa membiarkan Zemira tahu kalau sebenarnya Karin itu adalah Jhana, sebab dia bisa mengacaukan rencanaku jika sampai hal seperti itu terjadi. Tidak ada yang bisa menghalangi jalanku, tidak akan kubiarkan satu pun,' batin Kevlar.

Malamnya, saat akan tidur, Jhana menerima sebuah ketukan pintu. Ketika ia membuka pintu kamarnya, ia mendapati Mona yang sedang berdiri di hadapannya. Tanpa pikir panjang, wanita itu pun membiarkan putri pertamanya itu masuk.

"Ibu sudah tidur?" tanya Mona.

"Sebenarnya baru saja akan tidur, tapi, ada apa?" Jhana bertanya balik.

"Aku tidak bisa tidur," keluh Mona.

"Kenapa? Apa hal yang menganggu pikiranmu?"

"Tidak ada, hanya saja aku kepikiran sesuatu."

"Bukankah itu namanya hal itu menganggumu?"

"Tidak ibu, aku hanya kepikiran. Hal ini tidak mengangguku sama sekali."

"Yasudah, iya. Ceritakan pada ibu."

"Huft. Paman Isa menyuruh kami bertiga berdamai dengan Shirina dengan sebuah hadiah yang akan dia berikan setelah acara pernikahannya," jelas Mona.

"Lalu kalian melakukannya?"

"Ya, tapi ..."

"Kenapa? Kau merasa tidak nyaman? Tapi bukankah hal itu bagus? Meskipun pada awalnya kalian berbaikan dengan tidak tulus, tapi ibu yakin suatu saat kalian akan benar-benar berdamai."

"Aku tahu, dan ya, aku merasa agak kurang nyaman berdamai dengan orang dengan tidak tulus."

"Kalau begitu ajak saja Shirina benar-benar berdamai denganmu, mudah, kan?"

"Ibu tahu Shirina itu bagaimana orangnya."

"Dan ibu bilang ajak saja Shirina benar-benar berdamai denganmu. Ibu tidak menyuruh kau untuk mengajak Shirina benar-benar berdamai dengan adik-adikmu juga."

Mona lalu terdiam, ia terlihat berpikir.

"Kalau untuk hal itu, aku memang belum pernah mencobanya. Kalau begitu aku akan mencobanya, terima kasih ibu," ucap Mona.

"Tapi, apa hal yang membuatmu merasa tidak nyaman untuk berpura-pura berdamai dengan Shirina? Kalian bertiga seperti air dan Shirina itu ibaratkan minyak, terlihat memang mustahil bagi kalian untuk berbaikan, jadi, kenapa kau mau berdamai sungguhan dengannya?" tanya Jhana.

"Karena aku ini orangnya cinta damai," canda Mona.

"Mona, ibu bertanya serius." Jhana terlihat jengkel.

"Hehehe, iya, maaf. Sebenarnya aku takut akan satu hal jika aku tidak benar-benar berdamai dengan Shirina," ujar Mona.

"Dan itu membuat kau tidak tenang sehingga kau datang ke kamar ibu malam-malam begini untuk meminta saran?"

"Ish, ibu. Ibu pintar sekali," puji Mona, Jhana tersenyum kecil.

"Katakan."

"Ini berkaitan dengan kejadian yang menimpaku beberapa waktu lalu," kata Mona.

"Hm? Yang mana?"

"Aku tenggelam ketika itu."

"Oh, iya, itu. Lanjut, ibu bersyukur kau sudah mau bercerita sedikit hal tentang kejadian itu."

Mona tersenyum. "Aku tidak menceburkan diriku sendiri saat itu, dan aku sama sekali tidak memiliki niat untuk berenang di kolam itu, karena ibu tahu kan? Kalau aku tidak pandai berenang."

"Ada yang mendorongmu," ucap Jhana.

"Tepat sekali."

"Sudah ibu duga. Katakan saja pada ibu pelakunya."

"Kenapa ibu tidak bisa menebak pelakunya?"

"Memangnya siapa yang mendorongmu ketika itu?"

Mona mengernyitkan dahinya, ia tampak terkejut karena Jhana tidak memikirkan nama Raya sebagai pelaku dibalik tenggelamnya dirinya kala itu.

"Bibi Raya. Apa ibu tidak pernah berpikir kalau dia yang sudah membuatku tenggelam saat itu?" jawab Mona.

"Tidak."

"Ada apa dengan ibu? Kenapa ibu tidak memikirkannya?"

"Mungkin karena ibu tidak pernah memikirkan soal kejadian itu. Kau tahu pekerjaan ibu sangat banyak."

"Maksudku, sesekali ketika ibu memikirkannya, kenapa ibu tidak menduga bibi Raya?"

Jhana terdiam.

'Karena di mansion ini tidak hanya ada satu iblis,' batin Jhana.

"Baiklah, ibu minta maaf soal itu. Bisa kita lanjut pembicaraan ini?" ujar Jhana.

"Yah, aku takut jika Shirina tidak berdamai dengan kami, maka dia akan menjadi tangan kanan bibi Raya dan bisa mengancam keselamatanku lagi, bahkan juga keselamatan Fina dan Zhani," kata Mona.

"Kau jangan takut, Raya tidak akan bisa melakukan hal seperti itu. Jika dia sudah ada niat untuk melakukannya, maka ibu pastikan kalau ibu akan menggagalkan rencananya. Tapi, tidak salah juga jika kau mengantisipasi agar hal itu tidak terjadi dengan cara melakukan perdamaian sungguhan dengan Shirina."

"Tapi kenapa ibu mengatakan kalau bibi Raya tidak akan melakukan hal itu?"

"Dari yang ibu lihat, dia sedang tidak berusaha untuk menjatuhkan kalian anak-anak ibu sekarang. Lagi pula, dia tidak memiliki urusan dengan kalian, jadi untuk apa dia berusaha untuk menyingkirkan kalian."

Mona terdiam. "Apa karena itu ibu bahkan tidak memikirkan bahwa bibi Raya lah yang telah mendorongku?"

"Hmmm, ibu rasa, ya."

Mona kemudian tersenyum, lalu menguap.

"Sepertinya aku sudah mendapatkan apa yang kubutuhkan sekarang, dan pembicaraan ini membuatku tenang. Aku akan tidur sekarang," ujar Mona seraya berdiri.

"Kau tidak ingin tidur disini?" tanya Jhana.

"Aku tidak ingin membuat kak Tantri bingung besok karena tidak mendapatiku berada di kamarnya," jawab Mona.

"Baiklah."

"Selamat malam, ibu."

"Selamat malam."

Mona lantas keluar dari kamar itu dan berjalan menuju kamar Tantri. Setelah memastikan Mona sudah masuk ke kamar Tantri, Jhana pun mengunci pintu kamarnya dan berniat untuk tidur, namun secara tidak sengaja ia melihat kertas yang berisi tulisan tangannya mengenai ucapan Tn. Farzin tadi. Wanita itu pun meraih kertas itu dan membacanya.

"Apa ini menjelaskan tentang hubungan yang sebenarnya di antara Rasyid dan aku?" gumam Jhana.

'Aku asuh anak kau sebagai penyesalan,' batin Jhana.

Jhana memandangi tulisannya tersebut dalam waktu yang cukup lama.

"Ini benar-benar tidak mengartikan apa-apa," kata Jhana, ia lalu meremat kertas tersebut, namun tak lama setelah meremat kertas itu, Jhana membukanya lagi.

"Tidak mungkin ayah mengucapkan hal yang tidak ada artinya," sambung Jhana, ia lantas kembali melihat dan membaca kertas itu.

Wanita itu kemudian mencari pulpennya di dalam laci yang ada di kamar itu. Ia lalu menambahkan kata 'seorang' setelah kata 'asuh', alias sebelum kata 'anak'. Tulisannya memang jarang-jarang jaraknya, jadi jika ditambah 1 kata masih muat.

AKU ASUH SEORANG ANAK KAU SEBAGAI PENYESALAN.

Jhana kemudian menambahkan kata 'meng' di depan kata 'asuh'.

'Ucapannya tidak lengkap, jadi aku harus melengkapinya, karena hanya dengan begitu pertanyaanku akan terjawab,' batin Jhana.

"Aku mengasuh seorang anak kau sebagai penyesalan," gumam Jhana.

"Masih agak tidak nyambung," lanjutnya.

"Ucapan ini ditujukan padaku, jadi ada kata 'kau' disini, dan seharusnya ada kata 'yaitu' agar lebih bermakna."

AKU MENGASUH SEORANG ANAK YAITU KAU SEBAGAI PENYESALAN.

Jhana mengernyitkan dahinya.

'Ayah mengasuhku sebagai penyesalan?' batinnya.

Wanita itu kemudian menambahkan kata 'bentuk' setelah kata 'sebagai'.

"Aku mengasuh seorang anak, yaitu kau, sebagai bentuk penyesalan," ucapnya.

Jhana lalu teringat saat-saat awal Tn. Farzin tiba-tiba berbicara.

"A-a-k-k." Sekarang Tn. Farzin kembali kesulitan untuk berbicara.

"Pelan-pelan saja," ucap Jhana.

"A-a-ku m-m-m-enye-es-s-a-a-al," ujar Tn. Farzin.

'Ini terlalu sulit bagiku. Keinginanku untuk menahan Jhana sangat besar tadi, tapi kenapa aku kembali kesulitan untuk berbicara padahal keinginanku juga sama besarnya seperti ketika aku ingin menahan Jhana tadi?' batin Tn. Farzin.

"Atas apa? Teruskan, ayah, teruskan."

"Z-z-z-em-m-mi-r-ra."

"Apa maksudnya? Ayah menyesal ibu?" Jhana tampak bingung.

"Ayah menyesal dengan apa yang sudah ayah lakukan pada ibu di masa lalu?" tanya Jhana yang berhasil menyimpulkan maksud Tn. Farzin. Tn. Farzin kemudian mengangguk.

'Jadi, ayah menyesal dengan yang telah dilakukannya pada ibu di masa lalu. Itu artinya ayah menyesal telah menganiaya ibu, dan karena itu ayah mengasuhku?,' batin Jhana setelah mengingat hal itu.

"Jadi begitu! Aku mengerti!" Jhana berseru.

avataravatar
Next chapter