14 #12.5 epilog - Ruang Sidang

...

"Bersiaplah di posisi kalian masing-masing! Jangan sampai ada yang mencurigai kalian berempat!" seorang pria paruh baya memonitor melalui alat komunikasi jarak jauhnya.

"Baik!" suara seorang wanita menjawab.

"Baik!" suara seorang pria menjawab.

"Baiklah!" seorang wanita lainnya menyeru.

"Siap, ayah!" seorang pria menutup dengan tegas.

***

Hari itu pun tiba. Hari peradilan bagi Panji alias Klana. Panji duduk dengan kedua tangan terborgol di antara kedua pahanya dalam sebuah kurungan khusus. Kurungan yang berada tepat di tengah-tengah ruang sidang, menghadap ke arah kursi para audiens sidang.

"Hari ini adalah persidangan untuk Panji alias Klana, terdakwa kasus pembunuhan sadis terhadap lima anggota kelompok Sarra', dan sepuluh anggota kepolisian, serta seorang wanita di sebuah gudang tua. Dengan ini sidang dinyatakan dibuka!" pimpinan sidang membuka dengan mengetuk palunya.

Panji menatap dari balik kurungannya. Semua pasang mata menatapnya dengan penuh amarah, menghakiminya atas apa yang mereka tahu tentang dia selama ini. Pembunuhan sadis, darah, pembantaian, semua terngiang jelas di kepalanya. Wajah pucatnya menegaskan bahwa ia sangat terpukul.

Peradilan pun dimulai. Beberapa saksi dipanggil satu per satu untuk memberikan keterangan mereka masing-masing. Tidak ada satu pun saksi yang meringankannya. Semua saksi memberikan keterangan yang semakin membereatkan Panji. Kesaksian pertama dikemukakan oleh kapten tim Trisula.

"Kami dari tim Trisula menemukan fakta-fakta dan petunjuk yang jelas mengarah kepada Panji. Pertama, sample DNA dari darah dan rambut Panji yang sesuai dengan sample ditemukan di TKP satu dan dua. Selain itu, kami dari Trisula, dan anggota lain pun melihat langsung dengan mata kami bahwa Panji membunuh korban bernama Belu dari Sarra' dan beberapa anggota tim kami," kesaksian Dinda.

Keterangan selanjutnya adalah dari seorang saksi yang berprofesi sebagai dokter.

"Nama saya, Panca. Aku adalah dokter yang dipercayakan untuk merawat dan menjamin kesembuhan Panji, Ramos, dan Catur. Di setiap malam kejadian, saya selalu melihat Panji bangun dan meninggalkan bangsalnya. Ia terlihat sangat terburu-buru. saya mencoba mengikutinya, namun saya selalu kehilangan jejaknya. Dan kami memiliki bukti rekaman CCTV yang memperlihatkan bahwa Panji selalu terbangun di malam hari."

Panji terkesiap mendengar kesaksian dokter itu dan melihat rekaman yang dijadikan barang bukti, "jadi dia melihatnya selama ini?"

"Aku tidak tahu apa yang ia lakukan, namun setiap kali dia kembali, selalu ada becak darah di pakaian yang ia kenakan," Panca menambahkan.

Saksi selanjutnya adalah seorang anggota kepolisian.

"Bukan hanya kapten Dinda, kami pun melihat apa yang Panji alias Klana ini lakukan pada korban dan anggota kami yang lain."

"Apakah ada sesuatu yang ingin Anda tunjukkan?" tanya jaksa penuntut.

"Ada!" anggota kepolisian itu pun menyingkap lengan baju dan memperlihatkan goresan luka di lengannya, "ini adalah luka dari sayatan besi yang Klana gunakan!"

"Bukan aku yang melakukan itu!" Panji berbisik dalam hatinya.

"Saksi selanjutnya adalah sahabat sekamar Panji di asrama," Jaksa penuntut memanggil saksi selanjutnya.

"Tur, ini semua bukan ulahku, kau harus percaya. Tur, kita sahabat!" Panji berusaha meyakinkan Catur.

"Mohon tergugat agar tenang. Nanti akan ada waktu yang kami berikan kepada Anda untuk berbicara!" pimpinan sidang mengetuk palunya lagi.

"Ya, saya adalah sahabat Panji," Catur mulai berbicara.

"Tur," Panji berbisik lirih.

"Saya tidak pernah mencurigai dia sama sekali. Karena selama ini, saya yakin dia adalah orang baik," Catur menatap Panji dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.

"Aku masih baik, Tur. Ini bukan aku!"

"Anda yakin tidak pernah melihat hal yang mencurigakan dari dia?"

Catur mengalihkan pandangannya ke arah lantai. Ia sedang memikirkan dan mengingat sesuatu.

"Beberapa kali saya sempat melihat Panji keluar dari kamar. Saya pikir dia hanya ingin buang air, saya tidak pernah mencoba mengikutinya. Karena sama sekali saya tidak mencurigainya. Walau dia kembali dalam waktu yang sangat lama!"

Semua orang mengangkat kepala dan mulai mengangguk pelan.

"Tur!" Panji berbisik dalam hatinya lagi.

...

"Bagaimana jaksa penuntut? Apa masih ada saksi yang ingin dihadirkan?" pimpinan sidang bertanya kepada jaksa.

"Masih ada, yang mulia!"

"Silakan!"

"Kali ini siapa lagi?" Panji menunduk.

"Selanjutnya, seorang saksi yang sangat mengenal Panji alias Klana. Orang sangat tahu identitas Panji yang sebenarnya," jaksa diam sejenak, "silakan masuk, ibu Sekar!"

Panji terkesiap mendengar nama itu. Ia pun mengangkat kepalanya. Dilihatnya seorang wanita yang sangat ia kenal. Wanita baik hati yang sudi menyelamatkan dan membesarkannya hingga saat ini.

"Ibu?"

...

Sekar pun melangkah menuju kursi di tengah ruang sidang dengan ditemani anak perempuannya, Dewi. Ia menantap Panji yang terlihat sangat lemah dan menyimpan banyak beban itu dengan mata yang berkaca-kaca. Dewi berhenti dan duduk di salah satu kursi, membiarkan ibunya itu berjalan sendiri.

Sekar tiba di kursinya. Ia duduk. Menghela napas sejenak. Selanjutnya, ia mengangkat kepalanya. Menatap pimpinan sidang, dan beberapa orang di hadapannya. Dengan perasaan yang sangat kalut, ia mulai memberikan kesaksiannya.

"Panji dan Klana," Sekar menatap Panji lagi.

"Ibu?"

"mereka berdua adalah..." Sekar berkata dengan tegas, "anakku!"

***

~Season 1 Selesai~

avataravatar