12 #11 - AKU ADALAH DIRIMU!

...

"HEEEIIII!!!"

Panji terkejut dengan apa yang ia lihat. Bayangannya di cermin kini seolah hidup dan berbicara padanya. Bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama, dan gestur yang sama. Namun, sosok itu memiliki tatapan yang sangat kosong dan mengerikan, serta senyum di wajahnya sangat menakutkan.

"Siapa kau?" Panji mengambil dan menodongkan pistolnya ke arah cermin.

"Kau tak mengenaliku, Panji?" bayangan itu berbicara dengan suaranya yang berat, "aku adalah dirimu!"

"Jangan main-main!" Panji menekan pelatuk pistolnya...

DOOOORRRR...

Timah panas itu meluncur dengan deras menuju cermin. Seketika...

PRRRAAANNNGG...

Cermin pun berhamburan menjadi beberapa keping bagian. Ada yang berserakan di lantai, ada yang terlempar hingga menancap di langit-langit, dan ada juga bagian yang masih tetap berada di tempatnya.

"Haaahhh..." sosok itu mengendus pelan sambil tersenyum dari sela-sela cermin yang retak, "kau pikir bisa membunuhku dengan cara seperti itu?"

"Apa?" perasaan Panji tak karuan, takut, lelah, dan tentunya keheranan.

"Aku tidak akan pernah mati, selama kau masih hidup!"

"Apa maksudmu?" Panji masih menodongkan pistolnya.

"Aku adalah sisi lain dirimu, Panji!" sosok itu kembali menjelaskan siapa dirinya, "sisi lain dirimu yang dipenuhi rasa dendam, sakit hati, dan kebencian!"

Panji masih menatap sosok yang sedang berbicara dengannya melalui cermin itu. Napasnya masih tersengap-sengap.

"Turunkan senjatamu, dan dengarkan ceritaku baik-baik. Akan kuceritakan semua tentangku, tentangmu, dan tentang kita!"

"Kita?" Panji belum menurunkan pistolnya.

"Dulu, kau, aku, dan kita adalah anak dari seorang profesor jenius yang berhasil menemukan sebuah serum untuk meningkatkan kekutaan fisik manusia menjadi berkali-kali lipat!" sosok itu mulai bercerita.

"Serum?" Panji mengingat cerita Maros saat menahannya.

"Maros sama sekali tidak berbohong soal itu!"

"Kau kenal Maros?"

"Sudah kubilang, aku adalah dirimu, dan kau adalah aku. Apa yang kau alami, juga bisa kurasakan!"

Panji menurunkan senjatanya perlahan.

"Bagus!" sosok itu melanjutkan ceritanya.

Ruangan itu tiba-tiba berubah menjadi ruang yang sangat luas dan menampilkan beberapa orang di sana. Sebuah adegan dari masa lalu yang kembali bergulir. Sebuah cerita tentang kebenaran.

...

"Ayah kita selalu berusaha keras demi berhasil menciptakan serum itu. Hingga suatu hari ia pun berhasil menciptakannya dan hendak memberi tahu Maros soal keberhasilannya itu. Tapi, ia mengurungkan niatnya saat tahu bahwa Maros hanya memanfaatkannya untuk menciptakan serum itu. Maros berniat menggunakan serum itu untuk membuat senjata biologis sebanyak-banyaknya. Tujuannya adalah menguasai dunia, dan membuat semua orang tunduk padanya!"

"Maros tidak bercerita soal itu!"

"Tentu saja, Maros tidak ingin kau tahu soal itu. Dia hanya ingin kita bergabung dengannya dan menjadikan kita sebagai senjata untuk menakut-nakuti dunia. Jika kau tahu tujuannya itu, sudah pasti kau menolak untuk bergabung, bukan?"

Panji terdiam, napasnya mulai bisa diatur sekarang.

"Ayah lalu pulang dan berusaha melenyapkan semua serum yang berhasil ia ciptakan itu dengan membakarnya. Ibu yang melihat semua itu, menganggap ayah sudah gila. Ayah mencoba menjelaskan kepada ibu tentang apa yang sebenarnya terjadi. Sesaat kemudian, sebuah mobil terdengar berhenti di depan rumah. Itu adalah Maros dan Bone."

Panji masih menyimak dengan wajah yang tak karuan ekspresinya.

"Saat itu ayah melihat masih ada satu botol serum yang belum ia musnahkan. Ayah yang panik segera mengambilnya dan langsung mencarimu, mencari kita, dan dengan perasaan yang sangat kacau ia menyuntikan serum itu ke dalam tubuh kita."

"AAAAAAA...."

Adegan penginjeksian serum itu terlihat jelas di sana.

"Apa yang kau lakukan?"

"Ibu berusaha menghalangi ayah."

"Serum ini tidak boleh jatuh ke tangan mereka!"

"Tapi, Pandu adalah anak kita. Kau mengorbankan dia untuk itu?"

"Pandu?" Panji mengingat nama yang pernah disebutkan Maros untik memanggilnya.

"Itu adalah nama kita. Nama yang diberikan oleh ayah dan ibu kandung kita!"

Panji terkejut melihat adegan dan mendengar cerita selanjutnya.

SLLLLEEEEEPPPPP...

Sebilah pisau dihunuskan tepat ke arah jandung wanita malang itu.

"AAAAAA..."

"Apa yang terjadi? Kenapa?" Panji panik.

"Itulah yang terjadi, ayah membunuh ibu, karena tak ingin ada yang menghalanginya."

"Jadi, benar ayah yang membunuh ibu?"

"Maros tak berbohong soal itu! Lihatlah apa yang terjadi selanjutnya!"

KRRREEEEETTTTT

Pintu rumah terbuka. Dua orang bertopeng masuk dengan pistol di tangannya. Namun, seketika itu mereka terkejut melihat apa yang terjadi di hadapan mereka.

"Ali, apa yang kau lakukan? Kau membunuh istrimu sendiri?"

"A-aku... A-aku..."

"Kau! Polisi akan menangkapmu!"

"Ayah sangat ketakutan, selain itu ia pun tahu apa tujuan Maros dan Bone datang malam itu."

"Kalian ingin menguasai serum-serum itu. Kalian tidak menggunakannya untuk kebaikan, kalian hanya ingin membuat senjata-sejata biologis untuk membuat dunia takut. Kalian tidak pantas mendapatkan serum itu!"

Panji masih tak percaya dengan apa yang ia lihat. Bagaimana bisa kamar mandinya berubah menjadi sebuah ruangan tiga dimensi yang menampilkan adegan-adegan masa lalu dengan detail. Di sisi lain, ia pun penasaran dengan apa yang terjadi selanjutnya.

"Mereka memaksa dan mengancam ayah untuk memberi tahu di mana serum itu berada."

"Di mana kau sembunyikan benda itu?"

"Aku tidak akan memberitahumu!"

"Rupanya kau memilih untuk mati!"

DOOORRR... DOOORRR...

Panji membelalak terkejut. Perlahan ia mulai mengingat kejadian dalam adegan itu. Ia ingat yang terjadi selanjutnya adalah...

"AYYYYAAAAAHHHH!!!"

"Kau pasti mengingat itu!" sosok itu bercerita lagi, "itu adalah kau, aku, kita, yang baru saja siuman karena efek serum tadi."

"La-lari-lah, nak... Ce-pat..."

"Masih hidup kau rupanya!"

Clak.. DOOORRR...

"AYYYAAAAHHHH!!!"

"Maafkan, ayah!"

"Kejam!" upat Panji dalam bisiknya.

"Semua belum selesai."

"Kau jahat!" lirih ia ayunkan pukulan itu.

"Hahaha. Kau ingin ikut dengan kedua orang tuamu?"

DOOORRR...

"Pria besar itu? Bone?"

"Betul!"

"Aku seperti pernah melihatnya?"

Sosok miterius di cermin itu tersenyum tipis.

"Cari benda itu!"

"Siap, bos!"

"Bos?" Panji mengingat Sarra' yang ia temui tak memanggil Maros dengan sebutan bos.

"Dulu mereka memanggil Maros dengan sebutan itu, entah kenapa sekarang berubah?"

...

"Bone sudah kembali!" sosok itu menunjuk ke arah Bone.

"Aku tak menemukannya, bos!"

"Sial, di mana si keparat itu menyimpannya?"

"Sekarang, langsung saja kita lihat apa yang terjadi selanjutnya!

Adegan selanjutnya memperlihatkan Maros dan Bone yang sudah berada di luar rumah dan siap membakar rumah itu.

"AAAAAA..."

"Itu?" Panji melihat ke arah suara yang menggelegar dari kegelapan.

"Itu aku," sosok misterius itu melanjutkan, "itu aku yang penuh dengan kebencian, dendam, dan amarah. Itu bukan kau!"

Panji menatap sosok itu lekat-lekat.

PRRRAAAKKK...

"Kau pembunuh... Pembunuh... Mati kau!" si anak dengan penuh amarah terus melayangkan pukulan.

PRRRAAAAKKK...

"Kau yang mati, bajingan!"

"Kenapa susah sekali membuatmu mati seperti ayah dan ibumu?"

Panji kembali membelalak menyaksikan tubuh mungilnya itu terkapar.

"Bawa dia! Buang dia ke jurang!"

"Baik, bos!"

...

"Selanjutnya, tubuh kita di buang ke jurang. Berkat serum penguat itu, kita masih bisa berdiri dan berjalan. Hingga terjatuh dan terbawa arus sungai. Dan kau tahu apa yang terjadi selanjutnya!"

Sesaat kemudian, ruangan itu kembali menjadi sebuah kamar mandi dengan kaca yang berserakan. Sosok itu belum pergi, dia masih ada di balik pantulan cermin retak itu. Menatap dan tersenyum dengan cara yang sama seperti sebelumnya. Sosok yang sangat mengerikan.

"Jadi, apa yang akan kau lakukan, Panji?"

Panji kebingungan. Napasnya masih tersengap-sengap.

"Bagaimana jika kau bekerja sama denganku?" sosok itu kembali tersenyum tipis.

"Bekerja sama?" Panji terkesiap.

"Aku ingin kita kembali menjadi Pandu dan menyatukan kekuatan kita untuk membalaskan dendam atas kematian orang tua kita. Kau harus tahu, ayah membunuh ibu karena mereka. Secara tidak langsung, mereka pun telah membunuh ibu!"

"Bagaimana jika aku menolak?"

"Sebenarnya tidak masalah untukku. Aku tetap bisa membunuh mereka menggunakan tubuh yang sama dengan tubuhmu. Dan asal kau tahu, aku telah melakukannya selama ini."

"Melakukan apa?"

"Mengambil alih tubuhmu dan membunuh anggota Sarra' satu per satu."

Panji terbelalak lagi, "apa, apa maksudmu?"

"Kau tahu? Aku adalah orang yang selama ini kau dan tim kepolisianmu itu cari-cari!"

"Apa?"

"Aku adalah KLANA!"

Panji terkesiap mendengar apa yang sosok itu katakan, "tidak, tidak mungkin!"

"Apa yang tidak mungkin, Panji?" sosok itu mulai bercerita lagi, "kejadian yang kau lihat saat insiden Suli, itu bukan mimpi, itu semua adalah kenyataan. Aku yang melakukannya, kita, kita yang melakukannya!"

Panji menggelengkan kepala merasa semua ini tidak masuk akal dan hanya mimpi buruknya, "tidak!"

"Bagaimana kau bisa tahu, di mana letak kepala Wara berada? Semua itu tentu karena kau, kita ada di sana, menyaksikan anjing itu membawa kepala Wara ke dalam gorong-gorong!"

"Ini tidak mungkin! Aku melihat Klana menyerangku dan membunuh Sarra'! Bahkan aku melihat Klana tewas."

"Aku tidak kenal siapa mereka. Dan entah kenapa mereka menggunakan identitas Klana. Aku tidak peduli, walau sebenarnya mereka menggangguku, dengan membunuh sampah yang harusnya menjadi mangsaku!" sosok itu diam sejenak, "mereka bukan Klana yang asli. Akulah Klana yang asli, kita!"

"Tidak!"

"Inilah kenyataannya, Panji. KAU ADALAH PEMBUNUH!"

"Kau yang pembunuh!"

"Jika aku pembunuh, maka kau juga adalah pembunih. Karena kau dan aku adalah sama. Kau adalah aku, dan AKU ADALAH DIRIMU!!! HAHAHAHAHA..."

Sosok itu tertawa sejadi-jadinya. Membuat cermin-cermin itu bergetar.

"Maka jangan pernah tertidur sebentar saja, atau aku akan mulai mengambil alih tubuhmu! Tetaplah terjaga, Panji! HAHAHAHA..."

***

"Izin melapor, ketua!" seorang pria bertopeng datang di hadapan Maros.

"Ada apa, Triad?"

"Berita di televisi dan koran mengatakan tim kepolisian berhasil membunuh Klana yang selama ini kita cari!"

"Klana? Anggota polisi itu?"

"Bukan, ketua. Klana telah diidentifikasi hanya sebagai masyarakat biasa. Dugaan kita soal polisi itu tidak tepat!"

"Belu, kau bisa bertransaksi dengan tenang malam ini!"

"Baik, ketua!"

***

"Din, kau harus melihat ini!" Ayu mendekati meja Dinda yang terlihat sedang berbunga-bunga.

"Ada apa?" Dinda terkesiap.

"Aku harus memanggilmu 'Kapten'?"

"Tidak perlu," Dinda menggelengkan kepalanya, "jelaskan apa yang ingin kau katakan?"

"Ini, ini adalah informasi yang tim dapat dari keluarga target operasi kita semalam."

Dinda memasang wajah yang mulai serius.

"Keluarga dan rekan pelaku mengaku dia adalah orang yang baik. Sehari-hari tidak ada yang menenalnya sebagai seorang kriminal. Dia adalah seorang pedagang bakso bernama Anji. Beberapa hari sebelumnya, dia mengeluh kepada rekan dan istrinya mengenai hutang yang membelitnya."

"Hutang? Jadi dia melakukan ini hanya karena hutang?"

"Beberapa orang mengatakan, siang hari sebelum kejadian pelaku pernah terlihat membeli topeng dari sebuah toko kesenian. Dan ada yang melihatnya pergi ke toko senjata tajam."

"Siang? Maksudmu pelaku baru merenacanakan perampokan bersenjata itu di hari yang sama dengan kejadian?"

"Betul. Dan atas dasar itu, bisa dipastikan Klana yang kita cari selama ini bukanlah dia. Dia menggunakan identitas Klana untuk menakut-nakuti banyak orang termasuk kepolisian.

"Klana masih buron? Siapa Klana yang asli?"

"Kau harus melihat berkas ini! Ini dikirim dari lab pagi tadi!" Ayu menyodorkan sebuah map berisi laporan hasil pengujian laboratorium.

Dinda membuka map itu dan mulai menarik keluar kertas di dalamnya. Dinda mulai membaca isi kertas itu, dan betapa terkejutnya dia.

"Astaga!" Dinda berdiri dari kursinya, "perintahkan tim satu segera untuk menangkap Panji dan membawanya ke mari! Aku akan menemui komandan untuk melaporkan hal ini!"

"Ok, Din!"

"Panggil aku 'Kapten'!" ekspresi berbunga-bunga yang terpancar dari wajah Dinda seketika hilang, berganti dengan wajah yang sangat marah.

Ayu kebingungan, dan segera melaksanakan perintah sang Kapten, "siap, kapten!"

***

Panji terkesiap dan terbangun dari tidurnya. Ia berada di sebuah sofa, tertidur dalam keadaan terduduk. Ia menatap ke arah jam di dinding, pukul 15:04.

"Astaga! Aku teridur selama ini?"

Panji berjalan menuju kamar mandinya.

"Ini semua hanya mimpi, kan?"

Betapa terkejutnya dia saat melihat ke dalam kamar mandinya. Baca berserakan di mana-mana. Saat ia sedang kebungungan, tiba-tiba rombongan polisi masuk dan langsung menodongkan pistol ke arahnya.

"Jangan bergerak!"

Panji terdiam tepat di pintu kamar mandi dan dari kaca yang hancur itu, ia bisa melihat dengan jelas polisi yang berada di belakangnya sedang menodongkan senjatanya.

"Ada apa ini?"

Polisi itu mengeluarkan surat perintah menangkapan dan sebuah laporan lab.

"Kami diperintahkan untuk menangkap dan membawamu ke kantor untuk diselidiki. Ini karena hasil lab menujukan kecocokan antara DNA-mu dengan yang ditemukan Trisula di TKP."

"Mana Trisula?"

"Mereka dan komandan sudah menunggu di kantor. Kuharap kau bisa bekerja sama!"

Panji melihat ke arah cermin sekali lagi. Ia melihat tiga orang polisi sedang menodongkan pistolnya ke arah Panji.

"Tiga orang?" Panji berbisik. Kemudian ia mengarahkan pandangannya ke seluruh sudut kamar mandi. Sebuah pistol ada di sana. Beberapa serpihan kaca pun berserakan di mana-mana. Sejurus kemudian Panji melakukan gerakan tiba-tiba yang mengejutkan, ia masuk ke dalam kamar mandi dan dengan segera menutup pintu.

DOOOORRRR... DOOORRRR... DOOORRR..

Ketiga polisi yang terkejut itu langsung menembaki pintu kamar mandi. Tak ada suara dari Panji. Pintu pun terbuka secara perlahan. Para polisi saling menatap dan memberi kode untuk memeriksa. Seseorang pun maju dengan senjata masih di tangan.

Tiba-tiba saja Panji melompat dari sisi kanan pintu ke arah kiri dengan menjatuhkan tubuhnya. Bersamaan dengan itu, sebuah serpihan kaca meluncur ke arah polisi yang maju. Dan dua kali tembakan di arahkan masing-masing ke arah dua orang di belakangnya.

DOOOORRR... DOOOORRRR...

SLEEEEPPP... SLLLEEEPPP... SLLLLEEEPPP...

Tiga polisi itu tumbang dengar bersimbah darah.

Panji berdiri di depan pintu kamar mandi dan menatap ke arah cermin. Bayangannya terlihat tersenyum sinis dan sangat menakutkan ke arahnya. Panji tersengap-sengap, menatap tangannya yang gemetaran. Tak percaya atas apa yang baru saja ia lakukan. Ia pun segera meninggalkan tempat itu dengan berusaha menghindari kepungan polisi.

"Selama ini aku yang memburu banyak penjahat. Tapi, kali ini aku yang diburu oleh rekanku sendiri!"

...

Laporan kegagalan penangkapan Panji pun sampai hingga ke telinga Trisula dan komandan. Pasukan segera di kerahkan untuk mencari dan menangkap Panji alias Klana. Dan di antara mereka termasuk Catur. Pencarian pun di fokuskan di sekitar asrama polisi, mereka yakin Panji belum kabur terlalu jauh.

Panji berlari dan berusaha keluar dari kompleks asrama polisi. Menyusuri lorong-lorong yang dijaga dengan ketat. Dengan kelihaiannya, Panji bisa melewati itu dengan baik. Hingga tibalah dia di salah satu lorong dan berpapasan dengan Catur.

"Kau ingin menangkapku?"

"Kenapa kau lakukan semua ini, Ji?"

"Kau tidak akan mengerti!"

"Mengerti apa? Balas dendam? Semua itu tidak menyelesaikan masalah!"

"Sudah kubilang kau tidak akan mengerti!"

Catur mulai berkaca-kaca. Dan merasa dirinya dikhianati.

"Aku titip kepolisian ini padamu, Tur!"

"Kau lupa cita-citamu?"

"Ku titipkan juga cita-citaku padamu!"

"DIAM KAU, KEPARAT!" Catur menodongkan pistolnya ke arah Panji.

"Aku rela mati, jika itu di tangan sahabatku sendiri. Bunuh aku, Tur. Bunuh aku!" Panji menutup mata.

"Dengan ini, Klana akan mati!" bisik Panji dalam hati.

Tubuh Catur gemetar. Dan sesaat kemudian ia menekan pelatuknya...

DOOOORRRRR...

Suara ledakan itu terdengar hingga ke penjuru asrama. Mengundang banyak polisi untuk datang.

"Larilah, sekarang!" seru Catur.

"Tur?" Panji membuka matanya dan melihat pistol catur yang berasap. Ia menoleh ke arah belakang, dan melihat sebuah vas bunga berhamburan terkena timah panas itu.

"KUBILANG, LARI SEKARANG!"

Panji pun berlari ke arah Catur yang masuh berdiri menodongkan pistolnya tanpa bergerak sedikit pun. Ia masih gemetaran. Panji menepuk pundak Catur, menatapnya, dan berlalu ke arah belakang Catur lalu menghilang di balik lorong.

Beberapa orang polisi pun tiba dan melihat Catur masih berdiri dan menodongkan senjata ke arah yang berlawanan dengan arah perginya Panji.

"Ke mana dia?" tanya salah seorang.

"Ke arah sana!" Catur menunjuk arah yang berlawanan itu.

...

"Catur! Maaf!" Panji berbisik kepada dirinya sendiri.

...

avataravatar
Next chapter