10 #09 - SERANGAN MISTERIUS

...

Dalam sebuah ruangan yang gelap dan suram, Panji masih terlihat tak sadarkan diri dalam posisi terduduk di sebuah kursi dengan tangan terikat dan kepala tertutup sebuah kain. Seseorang melangkah menuju ruangan itu. Membuka kasar penutup mata Panji. Sementara seseorang yang lainnya menyim panji dengan seember air tepat di wajahnya. Panji terkesiap dan akhirnya sadarkan diri.

"Gelap?" Panji membuka mata, namun kegelapan membuatnya tak mampu melihat apa pun di sana. Ketakutannya terhadap gelap membuatnya panik, "siapa pun tolong nyalakan lampu!"

Lampu pun dinyalakan.

"Kalian?" Panji melihat dua orang tepat di hadapannya dan seseorang lain dengan atribut yang sama di belakang mereka, "Sarra'?"

...

Seseorang mulai melangkah menuju Panji. Langkah demi langkahnya terdengar mencekam, menggema dalam ruangan itu.

"Hei, Panji!" suara beratnya mulai menggema, "atau mungkin aku harus memanggilmu, Klana?"

"Aku bukan Klana!" Panji menatap tiga anggota Sarra' itu.

"Tak perlu berpura-pura di hadapan kami."

"Atas dasar apa kalian menuduhku?"

"Aku lupa, kau adalah seorang polisi. Yang pasti akan butuh bukti-bukti untuk mempercaya suatu perkara adalah fakta atau bukan!"

Panji menatap Maros yang menggenggam seseuatu di tangannya. Ia pun memperlihatkan benda itu kepada Panji. Sebuah kalung dengan gantungan berlambang abjad 'P'. Kalung yang pernah ibu angkatnya berikan kepada Panji, kalung yang pernah menempel di leherkan saat ia ditemukan lima belas tahun lalu di sungai.

"Atau mungkin kau lebih suka kupanggil dengan nama pemberian ayahmu, Pandu Adisetya?"

"Kalung itu?" Panju terbelalak, "kembalikan kalung itu padaku. Aku butuh itu untuk mencari orang tua kandungku!"

"Ternyata benar, kau adalah anak itu!"

"Kubilang, kembalikan padaku!"

"Tenanglah!" Maros mulai mendekat dan membisikan sesuatu tepat di telinga Panji, "akan kuceritakan tentang orang tuamu. Apakah kau tak ingin mendengarnya?"

"Apa yang kau ketahui tentang mereka? Katakan!"

Maros tersenyum tipis. Mengangkat kepalanya dan menarik sebuah kursi ke hadapan Panji lalu ia duduk di atasnya.

"Baiklah, akan kumulai dengan memperkenalkan nama ayah dan ibumu. Mungkin saja kau lupa. Ayahmu bernama Ali Adisetya, dia adalah seorang profesor yang hebat. Lebih tepatnya, gila. Dia selalu berhasil melakukan eksperimen-eksperimen yang luar biasa. Sayangnya, tidak ada yang mampu melihat potensi itu. Dia selalu ditolak oleh banyak orang."

Maros berhenti sejenak. Mengambil sebatang rokok. Membuka sedikit topengnya, memberi ruang untuk puntung itu bisa menyelip di bibirnya. Dibakarlah puntung itu, asap mengepul tepat di hadapan Panji.

"UHHHUUUKKK UHHHHUUUUKKK," Panji terbatuk-batuk.

"Kau tak suka dengan asap rokok?" Maros bersuara lagi, "sangat berbeda dengan ayahmu!"

Maros tak melanjutkan proses merokoknya. Rokok yang baru ia hisap sekali itu dijatuhkan ke lantai dan diinjak hingga padam.

"Tidak semua orang menolaknya. Ada seorang wanita cantik mau mengerima kegilaan ayahmu. Dia adalah ibumu, Ratih Dwi Permata, seorang bidadari yang mampu menjinakan ayahmu. Mereka akhirnya menikah dan kau pun hadir melengkapi kebahagian mereka. Sayangnya, beberapa orang yang tak suka dengan apa yang dilakukan ayahmu selalu berusaha menyingkirkannya. Hingga ayahmu memutuskan untuk pindah ke tempat yang jauh dari mereka. Dia memilih alam bebas untuk dijadikan tempat eksperimennya. Katanya, ia bisa menemukan banyak inspirasi dari alam."

"Lalu apa hubunganmu dengan dia?"

"Pertanyaan yang bagus!" Maros tersenyum lagi, "aku dan ayahmu adalah rekan, sahabat, dan bahkan kami adalah saudara. Aku melihat potensi besar di dalam diri ayahmu itu. Hingga suatu hari, kami merencanakan pemberontakan."

"Pemberontakan? Apa maksudmu?"

"Aku, ayahmu dan rekan kami bernama Bone..."

"Bone?" Panji mengingat sesuatu.

"...kami adalah orang-orang yang merasa senasib. Kami mencari orang-orang yang juga merasa memiliki perasaan yang sama. Dan mulai membentuk Sarra'."

"Ayahku bagian dari kalian?"

"Iya. Bahkan dia adalah orang yang sangat penting di tim kami," Maros menarik napas, "kami selalu dianggap sampah oleh banyak orang. Mereka tidak pernah melihat potensi kami sama sekali. Padahal yang kami tawarkan akan hal yang sangat berguna bagi banyak orang."

"Apa yang kalian tawarkan?"

"Kami melakukan penelitian untuk menciptakan sebuah serum yang bisa membuat banyak orang atau hewan menjadi sangat kuat dan kebal dari penyakit apa pun. Sayangnya, uji coba pertama kami gagal. Objek hewan yang kami jadikan bahan percobaan tak mampu menahannya. Tapi, kami tidak menyerah. Kami terus mengembangkan serum itu. Dan ayahmu berperan dengan sangat baik."

"Apa kalian berhasil?"

"Kami hampir saja berhasil, jika ayahmu tidak berkhianat."

"Berkhianat?"

"Saat ia berhasil menyempurnakan serum itu. Kami berpikir, serum itu bisa menjadikan seseorang lebih kuat. Maka kami berniat menciptakan senjata perang kami sendiri. Namun, ayahmu justru ingin menguasainya sendiri. Dia menyumbunyikan hal berharga itu. Hingga kejadian di malam itu pun terjadi, aku dan Bone berusaha berbicara baik-baik dengan ayahmu. Sayangnya, dia tetap bersikeras tak ingin memberi tahu kami. Dan ayahmu, harus kami habisi!"

"Kejam!"

"Dia adalah penghianat, kami tidak bisa membiarkannya penghianat tetap hidup. Itu bisa membahayakan Sarra' dan rencana besar kami!"

"Apa yang kalian rencanakan?"

"Membalas dendam atas ketidakadilan mereka terhadap kami dan membuat dunia melihat kami. Membuat dunia tunduk di bawah kendali kami."

"Semua orang punya kehendak sendiri. Mereka pasti akan melawan!"

"Tidak. Selama kami punya senjata berharga itu. Dunia akan takut, dan pada akhirnya tak ada satu pun yang berani melawan. Dengan demikian semua bisa dikendalikan!"

Panji terbelalak lagi. Tak ada yang bisa ia ungkapkan.

"Kau adalah kuncinya!" Maros menujuk Panji yang masih terduduk dalam posisi terikat.

"Aku?"

"Setelah kami menggeledah seisi rumah, kami tak menemukan serum itu satu pun. Perlawananmu malam itu membuat kami sadar, mungkin ayahmu menyuntikkan serum itu ke dalam tubuhmu untuk menyembunyikannya dari kami. Hingga kau bisa lekas sembuh dari luka tembak dengan cepat. Berani melawan, bahkan dengan kekuatan yang tidak main-main, hingga membuat luka di wajah Bone."

"Sayangnya, kami baru menyadari itu setelah kau terjatuh ke dalam jurang. Malam itu kami kembali ke tepi jurang dan menyusurinya untuk mencarimu. Sayangnya, kau tidak ada di sana," Maros menarik napas, "setelah itu, kami berusaha menciptakan serum kami sendiri. Dengan beberapa keahlian yang kami miliki, kami terus menciptakan serum tandingan seperti yang dibuat ayahmu, dan bahkan mungkin lebih hebat."

Maros terus mengingat apa saja yang pernah terjadi.

"Hingga setahun, kami mengujinya kepada beberapa anak."

"Itu alasan kalian membantai banyak keluarga?"

"Demi keadilan besar, harus ada yang dikorbankan!"

"Kejam!"

"Sudah kubilang, demi keadilan," Maros merentangkan setengah tangannya, "sayangnya, aku dikhianati lagi oleh rekan terbaikku, Bone. Ia diam-diam pengkhianati kami dan memilih jalannya sendiri."

Maros menatap Panji lagi.

"Dan untungnya, sekarang kau ada di sini. Anak seorang profesor, sekaligus senjata yang paling berhasil."

"Bagaimana kau bisa yakin aku adalah anak itu?"

Maros mengangkat kalung itu dan menatapnya.

"Kalung itu? Siapa pun bisa memiliki kalung seperti itu!" Panji mengelak.

"Kau pikir untuk apa Suli ada di sekitar desamu waktu itu dan terbunuh?" seseorang di antara anggota Sarra' yang sedari tadi diam pun angkat suara.

Panji mengingat seseorang yang terbunuh di sebuah desa dekat desa yang ia tinggali.

"Suli sedang menjalankan tugas untuk menyusuri sungai itu, mencari informasi tentang anak hilang yang ditemukan di sekitar sungai. Dia berhasil mendapat informasi bahwa ada seorang anak yang pernah ditemukan di sekitar sungai. Ia belum sempat menyampaikan informasi lebih dalam, sayang ia langsung tewas," lanjut pria bertopeng itu.

"Dan kau adalah anak itu. Beberapa anggota Sarra' sudah mengawasimu dan mencari informasi tentangmu. Maka dari itu, kecurigaan kami bahwa kau yang membunuh anggota Sarra' termasuk Suli pun semakin besar," Maros langsung menuding Panji, "dan perlu kau tahu wajahmu itu sangat mirip dengan wajah ayahmu waktu muda dulu. Itulah yang membuatku yakin kau adalah Pandu Adisetya, anak dari Ali Adisetya dan Ratih Dwi Permata, alias Panji, alias Klana!"

"Aku tidak pernah melakukan apa yang kalian tuduhkan. Bukan aku yang membunuh mereka, dan aku bukan Klana!"

"Sudah kukatakan, tak perlu berpura-pura di hadapan kami!"

"Kalianlah pembunuh itu! Kalian yang telah membunuh orang tuaku!"

"Jangan asal menuduh seperti itu!" Maros terdiam sejenak, "aku dan Bone memang telah membunuh ayahmu, tapi kami tidak pernah membunuh ibumu!

"Apa maksudmu?"

"Aku dan Bone tiba di sana dan melihat ibumu sudah tergeletak dan berlumuran darah. Kau tahu apa yang lebih mengerikan?" Maros mendekatkan wajahnya lagi, "ayahmu memegang sebialh pisau dengan lumuran darah di tangannya!"

Panji terkejut dan membelalak tak percaya.

...

TRRRRAAAAKKKK

Tiba-tiba saja sebuah bom asap menggelinding ke dalam ruangan itu. Penglihatan empat orang itu pun terganggu. Lalu tanpa diduga, seseorang muncul dengan kecepatan yang luar biasa. Seseorang dengan topeng berwarna merah dan jubah hitam yang membalut tubuhnya. Sosok itu mulai terlihat dari balik asap.

"Siapa kau?" Maros terkejut.

"Orang yang akan menjemput kematianmu!"

Saat sosok itu mulai melangkah menuju Maros. Kedua rekannya pun berusaha melindunginya.

"Pergilah dari sini, ketua. Kami yang akan mengurusnya!"

"Baiklah, kupercayakan kepada kalian, Redo, Siwa!" Maros pun pergi melalui jendela.

Sosok itu berusaha mengejar Maros. Namun dihalangi oleh kedua anggota Sarra' yang lain. Mereka pun terlibat perkelahian dua lawan satu. Seseorang di antara anggota Sarra' mengayunkan tinjunya ke arah sosok itu dan dengan sigap ia menghindar. Yang lain berusaha menyerang juga, namun si sosok bertopeng menangkisnya dan mengayunkan tinjunya ke arah dagu. Alhasil lawannya pun jatuh.

Jual-beli serangan pun terus terjadi. Dari atas, bawah, dan segala arah. Tetap saja tak ada satu pun serangan Sarra' yang berhasil mengenai target. Justru merekalah yang berkali-kali terkena serangan. Saat sosok itu tengah menghadapi seseorang di antara anggota Sarra', tiba-tiba yang lain menodongkan senjatanya.

"Jangan bergerak!"

Suasana hening seketika. Si sosok misterius pun terdiam. Dan dengan kecepatannya ia langsung berdiri di belakang si penodong dan dengan kedua tangannya ia mematahkan leher orang itu. Satu anggota Sarra' pun tewas.

"Siwa!" melihat rekannya tewas, anggota Sarra' yang lain berusaha melawan dan menyerang, "HHHHAAAAAAAAA!"

JLLLLEEEEEBBBB

Sebuah besi menembus jantung si penyerang. Sosok itu rupanya sudah siap dengan besi runcing itu. Ia mencabut besi itu dan sang korban pun roboh tak berdaya dengan lumuran darah yang terus berkucuran.

...

Sosok misterius bertopeng itu terdiam. Sepasang mata di balik topengnya membelalak.

"KLANA?" Panji menegur sosok itu, "Kau Klana?"

Sosok itu berbalik dan menatap Panji dengan napasnya yang tersenggap-senggap. Seketika ia menghilang dari hadapan Panji dan berdiri tepat di belakang Panji. Panji menoleh ke arahnya. Seketika ia memukul tengkuk Panji dengan sisi luar tangannya. Panji pun terkejut dan tak sadarkan diri.

Sosok misterius itu berbicara melalui earphone-nya "satu anggota Sarra' berhasil melarikan diri. Dua orang tewas!"...

...

Di tempat lain Maros terus berlari ke dalam hutan. Hingga ia merasa aman dan menghentikan langkahnya.

"Klana?" Maros masih tak menyangka akan ada serangan seperti itu, "Siapa Klana sebenarnya?"

Ia menatap kalung yang masih berada di tangannya.

***

Beberapa saat kemudian rombongan polisi pun tiba. Tiga anggota tim Trisula dan Catur. Betapa terkejutnya mereka, melihat dua anggota Sarra' yang tewas mengenaskan. Dan sebuah tulisan dari darah manusia, "KLANA". Namun, kali ini tulisan itu terlihat sedikit berbeda.

Panji yang masih tak sadarkan diri pun langsung di bawa ke rumah sakit. Ia hanya pingsan dan tak ada luka yang serius.

...

Setelah beberapa jam kemudian. Saat malam mulai menguasai. Panji pun tersadar. Trisula dan Catur pun ada di sana. Tanpa basa-basi, seseorang dari Trisula mengajukan pertanyaan kepada Panji.

"Kau yang membunuh mereka berdua?"

...

avataravatar
Next chapter