8 #07 - GUDANG TUA

...

Seseorang dengan topeng berwarna merah menutupi seluruh wajahnya perlahan mendekati Bua yang masih menahan sakit akibat luka di kakinya. Sorot lampu yang minim sesekali hinggap di topeng menyeramkannya. Melangkah perlahan sembari menyeret tongkat besinya yang menimbulkan suara kengerian. Suara yang seolah mengirim pesan akan ada korban lagi malam ini.

"Siapa itu?" Bua menyadari pergerakan si pria dari kegelapan.

"Hei, Bua!"

"Kau? Siapa kau?"

"Namaku KLANA!"

"KLANA?" Bua mengingat nama itu dan menyadari sesuatu, "kaulah yang telah membunuh Wara!"

"Jangan lupakan Suli," Klana berbicara dengan nada sedikit terkekeh licik, "dan malam ini adalah giliranmu!"

Bua lantas meraih saku celananya dan mengambil sebuah pistol. Dengan cepat ia menodongkan pistolnya ke arah Klana. Yang diancam diam saja dan justru tertawa-tawa.

"HAHAHAHA!!!" tawanya hanya sebentar dan ia pun melanjutkan dengan berbicara pada lawannya yang mulai panik itu, "apa kau lupa, Bua? Kau sudah kehabisan peluru!"

Bua terkejut, lawannya bahkan tahu bahwa pistolnya tak lagi terisi tima panas.

"Bagaimana kau bisa mengetahuinya?" Bua memikirkan sesuatu, "kau sudah mengawasiku dari tadi?!"

"Bahkan sejak bertahun-tahun lalu, Bua!"

"Untuk apa kau melakukan semua ini?"

"Balas dendam!"

Tak berlama-lama lagi, Klana lantas menangkat besinya. Menyadarkan benda itu di pundaknya dan berlari ke arah Bua dengan kecepatan yang tak pernah terduga-duga oleh Bua. Ketika Bua sadar Klana telah berdiri di sampingnya, saat itu pula besi panjang itu tertancap tepat di leher Bua. Darah berkucuran hebat dari leher Bua. Mata Bua terbelalak menahan sakit yang teramat sangat. Tangannya mulai mengenggam besi itu, namun terlambat.

KHHHHHHHHHKKKKKKKKKKK

Suara khas itu pun terdengar menyakitkan. Bua mulai tak berdaya. Genggamannya perlahan terlepas. Dua terkapar dengan besi yang masih tertancap di lehernya. Bua tewa malam itu.

"Lima orang lagi!" Klana menatap telapak tangannya, lalu mengepalnya. Klana mencabut besi yang menancap di leher Bua dan segera memulai ritualnya, menulis namanya tepat di tembok yang tadi di sandari oleh Bua.

"KLA~~"

"UUAAAAAAAAAAAAA!" belum selesai Klana menuliskan namanya, terdengar suara seorang wanita berteriak tepat di belakangnya.

Klana berbalik dan menatap wanita yang sangat ketakutan itu. Wanita dengan pakaian minim dan riasan wajah yang sangat tebal itu berlari menjauh dari Klana. Ia berlari di antara kegelapan malam dan lorong-lorong yang sempit.

"Mengganggu saja!" Klana pun menyelesaikan tulisannya dan lantas mengejar wanita itu.

Klana mulai menyusuri setiap sudut gelap. Wanita itu menyadari, seseorang yang mengejarnya memiliki kecepatan lari yang tidak biasa. Ia pun berbelok dan bersembunyi di sebuah gudang tua.

"Di mana kau? Ayo, keluarlah!"

Wanita itu bersembunyi di antara tumpukan kotak kayu sembari menutup mulutnya sendiri dengan tangan. Ia menahan suaranya, napasnya, dan tangisannya yang dibalut rasa ketakutan yang hebat. Ia pun memejamkan matanya.

"Di sana kau rupanya?"

Wanita itu terkejut dan membuka matanya.

MEEEEEOOOOWWWW

"Sial!" Klana salah menduga.

Melihat sang pembunuh sedang membalikkan badan, wanita itu bergegas untuk melarikan diri lagi. Namun tangannya tak sengaja menengai sebuah box kayu dan box itu terjatuh. Wanita itu terkejut, begitu juga Klana yang lantas membalikkan badannya.

"Ternyata kau di sana!"

"Ampun, tuan. Jangan bunuh aku!" wanita itu bergerak mundur dengan wajah sangat ketakutan, "aku tak akan memberi tahu siapa pun."

Klana tersenyum tipis di balik topengnya. Ia pun lantas bergerak cepat ke arah sang wanita dan melaih lehernya dengan tangan kiri. Tangannya itu mencengkeram dengan sangat kuat. Sang wanita bisa merasakan sarung tangan Klana yang berlumuran darah Bua tepat menempel di lehernya.

UHHHUUUKKK

Wanita itu mulai kehabisan oksigen.

"Sebenarnya aku tak punya urusan denganmu. Aku juga tak ingin membunuhmu," Klana makin mengeratkan cengkeramannya, "tapi, tidak boleh ada saksi yang melihatku membunuh Sarra' satu per satu. Jadi, kau pun harus kulenyapkan!"

Tubuh wanita itu terangkat hingga kakinya tak lagi menyentuh lantai gudang. Ia terus meronta-ronta, menggerakkan kakinya dan kedua tangannya menggenggam tangan Klana yang sangat berotot. Beberapa saat kemudian, pergerakannya mulai melemah. Wanita itu melepaskan genggamannya, wajahnya memucat.

Setelah merasa korbannya tidak bernyawa lagi, Klana melepaskan cengkeramannya. Wanita itu pun terjatuh tepat di lantai. Wanita itu pun menemui ajalnya malam itu di tangang Klana.

"Lagipula, sampah sepertimu memang pantas disingkirkan!"

...

Belu pun kembali ke lokasi ia meninggalkan Bua. Sepeda motornya diparkir tepat di hadapan jasad Bua. Betapa terkejutnya ia melihat rekannya itu tewas mengenaskan dengan sebuah luka tusukan di lehernya dan darah yang berserakan di mana-mana. Ia pun lekas meninggalkan sepeda motornya yang masih dalam keadaan hidup.

"Bua? Astaga!" ada rasa marah, sedih, dan dendam yang berkecamuk di benaknya, "siapa yang melakukan ini?"

Pandangan Belu lantas tertuju pada rangkaian huruf dari bercak darah di tembok. Nampak masih segar dengan tulisan tangan yang tidak begitu baik.

"Klana?" Belu mengepalkan tangannya, "orang itu!"

Belu pun pergi meninggalkan jasad Bua.

...

"Apa?!" Maros, si ketua kelompok Sarra' terlihat sangat marah mendengar kabar dari Belu.

"Pelaku meninggalkan tulisan yang sama dengan yang ia tulis setelah membunuh Wara!" Belu melanjutkan ceritanya, "KLANA!"

"Orang yang sama, siapa Klana sebenarnya?" Maros mewakili seisi ruangan yang juga bertanya-tanya. Termasuk dua anggota baru Sarra' yang sangat dibanggakan Maros akan menjadi penerus mereka.

"Apa ada hubungannya dengan Bone?" salah seorang bertanya.

"Aku tidak yakin Bone akan melakukan hal seperti itu," Maros menyangkal, "aku kenal siapa dia!"

"Sebelum tewas, Bua sempat mencurigai seseorang dan mencerikannya padaku!" Belu kembali angkar suara.

"Apa yang ia ceritakan?"

"Bua mencurigai seseorang dari salah satu kepolisian itu adalah pelakunya."

"Maksudmu, anak itu?"

"Iya. Bua mengatakan anak itu sangat mirip dengan profesor yang kau habisi lima belas tahun lalu. Mungkin saja, ia adalah anak yang kau buang di jurang itu. Dan sekarang ia datang untuk menuntut balas atas apa yang kau lakukan pada ayahnya. Tapi,..." Belu terhenti.

"Tapi apa?"

"...tapi, malam ini aku baru saja menghajarnya, dan kulihat ia langsung dilarikan ke rumah sakit," semua mata kembali memandang Belu, "jadi, Bua mungkin saja salah menduga."

"Bagaimana jika Bua benar?" salah satu dari anggota baru Sarra' buka suara. Semua mata tertuju padanya. Seorang pria dengan topeng burung hantu sama seperti yang lain dan sebuah pedang yang terselip di pundaknya.

Maros terbelalak, benaknya sangat ketakutan. Ia khawatir jika salah satu anggotanya akan menjadi korban selanjutnya.

"Redo, Siwa, bawa polisi itu ke hadapanku. Aku ingin tahu siapa dia sebenarnya!"

"Baiklah!"

"Belu,cari Bone! Aku ingin bicara dengannya!"

Semua mata terkesiap mendengar titah sang ketua.

***

"Baru saja, ditemukan mayat dengan kondisi mengenaskan. Terdapat luka tusukan di lehernya. Diduga mayat ini adalah salah satu anggota kelopok Sarra' yang buron. Pelaku pembunuhan diduga sama dengan pelaku yang membunuh rekan korban beberapa waktu lalu. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya tulisan tangan 'KLANA' di lokasi kejadian."

"Klana?" Panji bangkit terkesiap.

"Sementara itu, tak jauh dari lokasi kejadian, tepatnya di sebuah gudang tua terdapat mayat seorang wanita. Diduga pelaku pembunuhan adalah orang yang sama, meski tak menulis nama 'KLANA' namun bercak darah yang ada di leher korban sama dengan darah korban pria dengan luka tusukan di leher."

Panji sudah merasa dirinya lebih baik. Walau pun beberapa bagian tubuhnya masih terasa pegal-pegal, ia tetap merasa harus bangkit setelah mendengar kabar pembunuhan Sarra' di televisi.

"Tim penyelidik khusus yang memberi keterangan sebagai berikut,"

"Kami sempat terlibat baku tembak dengan korban semalam. Kami juga mengintai Klana, namun semalam dia tidak muncul. Mungkin setelah kami membubarkan diri karena salah satu anggota kami terluka, barulah Klana muncul dan melakukan aksinya."

"Siapa Klana sebenarnya, pak?"

"Kami pun belum bisa memastikannya, tim kami sedang melakukan penyelidikan untuk mengungkap kasus ini."

"Catur?"

...

"Tur!"

"Panji? Kenapa kau ada di sini?" Catur terkejut melihat kawannya itu tiba-tiba muncul di TKP.

"Kenapa kau tidak memberitahuku soal ini?"

"Kau perlu istirahat, Ji!"

"Aku tidak apa-apa. Kau tidak perlu khawatir, aku baik-baik saja!" Panji bersikeras tetap ingin berada di sana, "apa yang sudah kau dan tim temukan di sini?"

"Tulisan di tembok itu sama seperti tulisan tangan di TKP sebelumnya."

"Bagaimana dengan korban wanita?"

"Dia juga korban Klana!"

"Kenapa Klana membunuhnya juga? Apa hubungan wanita ini dengan Sarra'? Atau Dwita mungkin benar, Klana melakukan ini secara acak?"

"Mungkin tidak ada hubungannya," Catur menjelaskan, "menurut kesaksian beberapa orang, wanita ini adalah warga sekitar sini. Ia memang sering keluar larut malam. Kemungkinan, ia hanya lewat dan tak sengaja melihat Klana menghabisi korbannya. Untuk menghilangkan jejak, Klana membunuh orang yang menyaksikannya melakukan kejahatan."

KRIIIIINNNGGG

Ponsel Catur tiba-tiba berdering. Sebuah panggilan tanpa nama pun tampil di layar ponsel itu. Ia lantas menjawab panggilan.

"Hallo?"

"Ini aku!" seseorang di ujung telepon menjawab.

"Kau? Ada apa?"

"Aku ingin kau menemuiku sekarang. Ada yang ingin kusampaikan. Akan kukirimkan lokasinya!"

"Baiklah!" Catur menutup poselnya.

"Ada apa?" Panji membuka pertanyaan.

"Aku akan menemui seseorang. Ikutlah denganku, Ji!"

"Siapa?"

"Nanti kau akan tahu sendiri!"

Panji menatap Catur yang mulai melangkahkan kaki menuju suatu tempat. Ia pun mengikuti rekannya itu dari belakang. Mereka mengendarai sebuah mobil dengan Catur sebagai pemegang kendali.

...

Kendaraan pun dipacu. Catur dengan sangat baik mengendalikan kemudi. Akhirnya mereka tiba di sebuah gang sempit dan harus melanjutkan dengan sedikit berjalan kaki. Beberapa tumpukan sampah terlihat di sana. Bau menyengat pun tak bisa dihindari, walau telah menutup hidung.

"Kau akan bertemu seseorang di tempat seperti ini?" Panji menunjukan ketidaknyamanannya.

"Lokasi yang ia kirimkan tepat di sini."

"Siapa dia sebenarnya? Kenapa memilih tempat seperti ini?"

"Sudah kubilang, nanti kau juga akan tahu. Dia orang yang sangat penting!"

Panji menatap Catur sambil terus mengikuti langkah kakinya. Entah siapa yang akan ia temui di tempat kumuh seperti itu. Kecoa? Atau entah hewan apa?

"Akhirnya kau datang juga!" seseorang berjubah hitam dengan topeng burung hantu tiba-tiba saja muncul dari balik sebuah bangunan tua, "lama sekali!"

"Lokasi yang kau pilih jauh dari pusat kota," Catur menyanggah.

Sementara itu Panji terkejut melihat siapa yang ditemui oleh Catur. Jubah, topeng, dan atribut yang ia kenakan, Panji sangat mengenali semua itu. Dia adalah...

"Sarra'?"

...

avataravatar
Next chapter