6 #05 - MAYAT TANPA KEPALA

...

"Situasi saat ini sedang tidak baik. Apa kau yakin akan tetap menemui pemesan itu?" ketua kelompok Sarra' itu menanyai keyakinan anggotanya sekali lagi.

"Tenang saja, aku telah menghubunginya. Kita akan bertemu di bagian belakang kafe. Lagipula kondisi polisi-polisi itu sedang tidak baik, akibat ledakan kemarin. Mereka pasti hanya akan mengirim anggota yang lebih lemah," Wara diam sejenak, pria berambut panjang yang terikat dengan janggut yang agak lebat itu melanjutkan, "rencana besar kita harus tetap dijalankan."

"Aku bisa menemanimu, Wara."

"Tidak perlu repot, kau adalah ketua kami, kau harus tetap di sini."

Wara pun berlalu meninggalkan sang ketua yang berdiri di bawah taburan bintang malam. Beberapa saat kemudian, seseorang pun datang, salah satu dari anggota Sarra'. Ia lantas berdiri di tempat Wara berdiri tadi.

"Kau tak curiga dengan dia?" ia lantas mengajukan pertanyaan kepada sang ketua.

"Kau masih mencurigainya, Bua?" sang ketua jutru berbalik bertanya.

"Polisi-polisi itu dengan mudah menemukan lokasi transaksi yang sangat jauh dari pusat kota. Wara ada di sana tapi yang tertangkap hanya Samba."

"Atas dasar apa dia melakukan itu? Selama ini dia melakukannya dengan  baik, tak ada satu pun tanda-tanda bahwa dia akan berkhianat."

"Bisa saja, dia melakukan itu sebagai kamuflase agar kita tak mencurigainya. Sama persis seperti yang dilakukan Bone, rekan terbaikmu empat belas tahun silam!"

Sang ketua menatap Bua dengan sedikit terkejut dan mata yang membelalak. Ia ingat betapa pedihnya penghianatan dari orang yang sangat ia percayai dan kini entah di mana.

"Kutugaskan kau untuk mengawasi Wara. Habisi dia jika berusaha berkhianat!"

"Perintah diterima, ketua!"

Bua pun berlalu mengikuti Wara secara diam-diam. Sementara sang ketua masih diam di tempatnya sambil menatap bintang yang bertaburan di langit.

"Bone, di mana kau sekarang?"

...

Wara telah sampai di lokasi baru yang dijanjikan. Dia telah siap dengan semua atributnya; topeng burung hantu, jubah hitam, dan tentu saja sumpukan barang haram dalam sebuah koper di tangannya. Tiga puluh menit berlalu, yang ia tunggu tak kunjung tiba. Hingga akhirnya seseorang berjalan mendekat dari kegelapan. Terlihat menggunakan jubah hitam dan sebuah topeng yang tak jelas ukirannya akibat berhalang bayang-bayang.

"Akhirnya kau tiba juga. Dari mana saja?" Wara menyapanya.

Pria itu tak menjawab, hanya terus melangkah menuju arah Wara yang terus memandanginya.

"Cepatlah! Aku tak punya banyak waktu. Serahkan uangmu dan kau akan medapatkan apa yang kau inginkan!"

Sang pria semakin mendekat. Perlahan sorotan lampu jalanan mengenai topengnya sangat jelas terlihat sebuah topeng berwarna merah tua, mata membelalak, mulut menyeringai, kumis melingkar, berjambang, dan berjanggut. Menyorotkan kesan angkuh dan kejam. Jubah panjang yang menutupi kedua tangannya pun sangat menyeramkan. Ia pun berhenti tepat di hadapan Wara dan tiba-tiba...

JLEEEEEBBBB

Sebuah besi panjang dengan ujung runcing keluar dari jubah lengan kirinya dan menghujam Wara tepat di dadanya hingga menembus di punggungnya. Wara terkejut sekaligus menahan sakit. Darah menyemburat dari mulutnya. Ia menatap pria bertopeng itu.

"A-apa yang kau lakukan? Si-siapa... siapa kau?"

"Kau tak mengenaliku, Wara?" Tangan kanan pria itu membuka sedikit topengnya. Wajahnya yang samar tertutup bayangan pun berhasil dikenali oleh Wara.

"K-Kau?"

Tanpa ampun. Pria itu menarik besi runcing itu dan menamparkannya ke wajah Wara. Wara pun terpelanting ke belakang sambil menahan sakit di dadanya.

"AAAAAA..." eraman Wara.

Wara melarih saku jubahnya, ia bermaksud mengambil sebuah pistol di sana. namun, pria itu mencegahnya dengan menacapkan besi lucing itu ketangan Wara. Wara kembali mengeram kesakitan.

"AAAA..."

Dicabutlah kembali besi itu. Darah kembali berkucuran.

"Apakah kau merasakan sakit, Wara?"

"BAJINGAN!!!" Wara kesal, ia meraih sebuah batu dengan tangannya yang masih tersisa dan melemparkannya ke arah sang pria bertopeng. Batu itu tepat mengenai topengnya.

"Keparat!" unpat pria itu, lantas melakukan hal yang sama ke tangan Wara tang tersisa.

Wara berusaha untuk bangkit dengan kedua kakinya yang tersisa. Namun, tak diberi kesempatan oleh pria itu, ia menancapkan besinya secara bergantian ke kedua kaki Wara. Kali ini Wara benar-benar tak bisa bergerak sama sekali. Pria itu meraih jubah Wara dan menyeretnya menuju sebuah alat pemotong besi di sana. meletakan leher Wara di sela-sela kedua penjepitnya.

"Apa... Apa yang kau inginkan?"

Pria itu menatap Wara yang tak berdaya,

"KEMATIANMU!!!" ia menarik tuasnya dan memenggal kepala sang Wara. Kepalanya terpelanting jauh dari badan Wara. Ia tewas melam itu.

Dengan darah yang tersisa di besi runcing miliknya, pria itu mulai mengukir sebuah kata di tembok.

"KLANA."

Dia pun berlalu pergi meninggalkan jasad Wara yang mengenaskan tanpa mengambil apa pun di sana.

...

Dari kejauhan yang terselimuti kegelapan di balik sebuah tembok, seorang pria bertopeng burung hantu dan berjubah hitam memerhatikannya. Dia adalah Bua yang diperintahkan mengawasi Wara.

"Siapa pria itu?"

...

Tak lama, seseorang datang dengan mengenakan jaket dan topeng.

"Tuan Wara, apakah kau di sini?" ia bertanya pada udara yang kosong, "aku adalah orang yang berjanji akan menemuimu di sini. Aku membawa uangnya."

Masih tak ada jawaban.

"Tuan Wara?" ia terus mendekat dan tiba-tiba...

"AAAA..." ia melihat mayat tanpa kepala itu tepat di hadapannya.

Di tempat lain, kelompok Sarra' telah menemukan persembunyian baru. Sang ketua berdiri menghadap sebuah jendela tanpa penghalang, memandangi langit malam yang mengguratkan kilatan-kilatan mengerikan. Cahayanya sesekali menyorot topengnya yang tampak lusuh itu. Angin yang tertiup kencang pun membuat jubahnya berkibar-kibar. Di belakangnya nampak Bua tengah berdiri.

"Wara tewas di tangan seseorang yang misterius. Dia hanya meninggalkan kata 'KLANA' di tembok."

"BAJINGAN!!!" umpat sang ketua, ia pun berbalik dan di sana berdiri anggota Sarra' yang tersisa; lima orang termasuk sang ketua ditambah dua anggota baru yang akan meneruskan misi Sarra' di masa depan.

"Siapa pun orang itu, temukan dia! Beri dia pelajaran karena berani bermain-main dengan kita! Bawa dia ke hadapanku, hidup atau mati!"

Petir yang menggelegar menegaskan titah sang ketua kelompok.

***

Panji terbangun di sebuah ranjang rumah sakit. Di tangan kanannya tertancap jarum infus. Kepalanya terlilit perban. Seluruh badannya terasa sakit.

"Kau sudah sadar, Panji?"

Panji menoleh ke arah seseorang samping ranjangnya. Pria itu pun terbaring di atas ranjang dengan kondisi yang tak jauh berbeda dengannya.

"Catur?"

Panji mengarahkan pandangannya lebih jauh. Ia melihat seseorang dengan kondisi lebih parah terbaring di sana. seluruh tubuhnya dililit perban. Pria itu dalam kondisi tak sadarkan diri. Luka bakarnya lebih para karena ia berada lebih dekat dengan sumber ledakan.

"Kapten?"

"Kondisinya lebih parah daripada kita. Dia belum sadar selama dua hari," Catur menjelaskan.

"Yang lain bagaimana?"

"Dua orang tewas."

Panji tertegun.

"Aku tidak sadar selama dua hari juga?" Panji berbicara kembali, "artinya, aksi Wara semalam tak ada yang mencegah?"

"Komandan sudah mengirim tim lain ke TKP."

"Hasilnya?"

"Aku belum tahu. Sampai sekarang tak ada yang mengabari."

Panji dan Catur terdiam. Beberapa orang pun datang dari arah pintu, komandan Anwar dan ajudan-ajudannya. Membawa dua buah map berwarna cokelat di tangannya.

"Kau sudah siuman, Panji?"

"Iya, Dan."

"Syukurlah! Hmm, ini!" komandan itu menyerahkan map pertama kepada Panji. Panji pun membukanya dan melihat beberapa buah foto yang ada di dalamnya.

"Apa ini?

"Mayat Wara!"

Catur dan Panji tertegun. Mereka saling menatap dan Panji memersilakan Catur untuk melihat foto-foto itu.

"Aku telah mengirim tim lain ke TKP. Namun, mereka tidak menemukan Wara yang datang untuk melakukan transaksi. Namun, dari arah belakang kafe itu, seseorang berteriak dan mayat Wara ada di sana."

"KLANA?" Catur menfokuskan pandangannya pada salah satu foto.

Komandan dan Panji melihat ke arahnya.

"Tanda itu ada di sana, dan telah diuji, seseorang menulisnya menggunakan darah Wara. Tapi entah siapa?"

"Bagaimana dengan saksi yang menemukan mayatnya?" tanya Panji.

"Dia mengaku bahwa dia hanya ingin menemui Wara untuk bertransaksi. Atas pengakuan itu dia ditahan. Dia mengatakan, tiba di sana dan melihat mayat Wara yang mengenaskan itu. Kepalanya belum ditemukan hingga sekarang."

"Bagaimana kau mengenali ini sebagai Wara?"

"Ciri fisiknya sama dengan data anggota Sarra' yang disimpan oleh kepolisian. Ditambah pengakuan saksi dan tato burung hantu di punggungnya dengan tulisan Wara di bawahnya."

"Kau ingin kami menemukan pelakunya?" tanya Catur.

"Tadinya, aku berpikir hanya kalian dan Ramos yang bisa mengusut kasus ini. Karena beberapa minggu belakangan kalian terlibat dalam beberapa aksi dengan Sarra'. Tapi..." Komandan menatap ke arah Ramos, "melihat kondisi Ramos dan kalian saat ini, aku akan mengistirahatkan kalian untuk sementara waktu. Sampai kondisi kalian pulih."

Komandan pun menyerahkan map kedua kepada Catur yang berisi surat pengistirahatan mereka untuk sementara waktu.

"Aku akan mengirim tim lain untuk mengusut kasus ini!"

"Mohon izin, dan! Aku ingin mengusut kasus ini!"

"Panji? Kondisimu?" Komandan menegurnya.

"Sarra' menghentikan serangannya saat melihat wajahku dua hari lalu. Samba dan Wara pun seperti mengenali wajahku. Aku yakin mereka tahu soal masa laluku. Kau tahu apa tujuanku ada di kepolisian ini!"

Komandan menatap Panji, "kau yakin ingin bergabung?"

"Iya!"

"Kalau Panji ikut saya juga ikut!" Catur pun tak ingin kalah.

Komandan menatap mereka dan menuju pintu keluar. Namun, sebelum keluar ia berbalik.

"Baiklah, kalian kuizinkan. Temui aku besok pagi di ruanganku. Hari ini beristirahatlah!" sang Komandan melanjutkan langkahnya, namun sekali lagi ia berhenti dan berbalik, "soal Samba, ia telah tewas kemarin malam. Seseorang menyerang ruang interogasinya. Semua sipir tewas. Orang itu melakukannya tanpa ada kegaduhan."

Panji dan Catur kembali tertegun.

"Apa ada kaitannya dengan kasus Wara?" tanya Panji.

"Kemungkinan!"

...

Keesokan harinya, Panji dan Catur menuju TKP pembunuhan Wara untuk melakukan menyelidikat. Sisa darah berceceran di mana-mana, menyisakan aroma yang mengundang sekumpulan lalat. Panji melihat ke arah tembok dengan tulisan 'KLANA'. Ia seperti mengenal tulisan itu. Huruf 'K' yang sedikit tidak beraturan itu mirip dengan...

"Astaga!" Panji menyadari sesuatu.

"Ada apa, Ji?"

"Aku ingat pernah melihat huruf 'K' seperti itu."

"Kau kenal pelakunya?"

"Tidak! Tapi ini sama persis seperti huruf 'K' yang kulihat beberapa bulan lalu di desa. Kasus pembunuhan sadis yang hampir serupa dengan ini. Itu bukan dilakukan oleh hewan!"

"Pembunuhan itu? Kasusnya sudah ditutup!"

"Kita temui Dwita!"

"Dwita? Untuk apa, Ji?"

"Dia wartawan kan? Dia pernah menulis berita soal kasus itu kan?"

...

"Ini data yang kalian inginkan!" wanita berkacamata dengan seragam jurnalis lengkap menyodorkan beberapa berkas laporan di hadapan Panji dan Catur.

"Namanya Suli. Dia tewas mengenaskan, polisi menyimpulkan ia diserang binatang buas karena terdapat beberapa luka cabukan di badannya."

"Hewan buas mana yang bisa menyerang manusia di sebuah bangunan kosong?" Panji bertanya dengan nada sedikit pelan.

Catur dan Dwita saling tatap.

"Maksudmu, Ji?"

Panji menatap tajam ke arah Dwita.

"Siapa Suli ini sebenarnya? Bandar judi atau gembong narkoba? Apa hubungannya dengan Sarra'?"

"Mari kita cari data soal Sarra'!" Dwita membuka laptopnya dan mulai mengetik sebuah kata.

Setelah mencari, beberapa saat kemudian Dwita menemukan sesuatu.

"Ini dari Website, Sepolisian. Kelompok mavia Sarra' terdiri dari sepuluh orang pada awalnya. Lima belas tahun lalu, salah satu anggotanya ditemukan tewas dalam sebuah kebakaran. Lalu, Sarra' bergerak dengan sembilan orang, setahun kemudian mereka membuat kegaduhan di mana-mana. Setahun kemudian mereka dikabarkan kehilangan salah seorang lainnya yang entah karena apa, tidak ada kabar yang jelas soal itu. Ada yang bilang anggota tersebut telah tewas, ada juga yang mengatakan dia memutuskan untuk meninggalkan Sarra' karena merasa tidak sejalan lagi," Dwita diam sejenak dan menatap Catur, lalu menatap Panji, "setelah belasan tahun menghilang, kini mereka dikabarkan muncul kembali. Berikut anggota Sarra' yang berhasil teridentifikasi."

Dwita terdiam dan menggerakan jarinya mengarahkan layar laptopnya ke bawah. Dan melanjutkan bacaannya.

"Maros sebagai ketua. Samba, Siwa, Wara, Bua, Redo, Belu, Suli sebagai anggota yang masih aktif, Ali, anggota yang tewas dalam sebuah kebakaran dan Bone, anggota yang tidak diketahui keberadaannya," Dwita membelalak melihat gambar sketsa para anggota Sarra', "astaga!"

Dengan terburu-buru ia mengambil beberapa foto di atas meja itu, dan mencocokkannya dengan sketsa yang ia dapatkan, "kalian harus lihat ini!"

Dwita menunjukkan sketsa wajah salah satu anggota Sarra' dan juga foto mayat yang di temukan beberapa bulan lalu. Hasilnya, sama persis. Mayat itu adalah anggota kelompok Sarra' bernama Suli.

"Dugaanmu benar, Ji. Dia ada kaitannya dengan Sarra', apa mungkin pelakunya orang yang sama dengan yang membunuh Wara?" Dwita mencoba berpikir.

"Tulisan 'KLANA' di tembok itu punya kemiripan dengan huruf 'K' yang ada di TKP Suli. Ini pasti dilakukan oleh orang yang sama."

Dwita mengangguk pelan.

"Kenapa dia tidak menyelesaikan tulisannya? Dia bisa melakukan itu saat di TKP Wara," Catur masih bingung.

"Mungkin ada sesuatu yang menghalanginya. Terburu-buru ingin pergi, atau bisa saja ada seseorang yang datang ke TKP dan dia pergi karena tidak ingin perbuatannya diketahui," Dwita mencoba berteori.

"Yang menjadi pertanyaan, untuk apa dia melakukan ini? Ada masalah apa dia dengan Suli dan Wara?" Panji menaruh tanya.

"Jangan lupakan Samba, dia tewas juga secara misterius, tanpa jejak. Bahkan tulisan 'KLANA' atau 'K' tidak ditemukan di TKP Samba," Catur mengingatkan.

"Benar!" Panji mengangguk, "coba cari sesuatu tentang KLANA!"

"Baik!" Dwita kembali mengetikkan kata yang diperintahkan.

"Klana atau Kelana adalah salah satu karakter pada topeng yang digunakan dalam tari topeng yang bersifat antagonis. Topeng Kelana menggambarkan seseorang yang suka berkelana dan mengembara untuk menemukan jati dirinya. Topeng Kelana memiliki karakter yang penuh dengan dinamika dan hawa nafsu. Warna topeng merah tua menunjukkan watak angkuh dan kejam, mata membelalak, mulut menyeringai, kumis melingkar, berjambang serta berjanggut. Kelana digambarkan figur gagah dengan hidung panjang, mata melotot, mulut monyong menganga, rambut godekan," Dwita tersenyum menyadari informasi yang ia peroleh adalah salah, itu bukan informasi yang diinginkan oleh Panji dan Catur, "semua artikel membahas itu!"

"Coba cari, pembunuhan oleh Klana!" Catur menyarankan.

"Tidak ada. Hanya ada artikel mengenai pembunuhan Wara yang meninggalkan jejak KLANA. Tidak ada satu pun berita yang membahas tentang sosok pembunuh dengan kode Klana ini."

"Siapa orang ini? Dia melakukan dengan sangat rapi. Dia sudah memerhitungkan semuanya sebelum melakukan ini," Panji mengerutkan keningnya.

Dwita kembali menatap Catur dan Panji.

"Mungkin jawabannya ada di TKP! Kita kembali ke sana dan mencari informasi sebanyak-banyaknya!" Catur kembali menyarankan.

"Aku ikut kalian. Mungkin ada hal menarik yang bisa kuberitakan di sana!" Dwita merajuk.

Panji dan Catur saling tatap, seakan meminta persetujuan satu sama lain. Lantas dengan gerakan tubuh dan raut wajah, mereka pun mengiyakan permintaan wartawan cantik itu.

...

Panji dan Catur tiba kembali di TKP. Mereka memeriksa setiap sudut tempat itu. Menanyai orang sekitar namun tak ada yang melihat apa pun malam tadi. Panji menatap pemotong besi yang berlumuran darah di sana. Dia mendekatinya perlahan. Ia memerhatikan setiap jengkal alat itu. Dia berusaha mencari petunjuk, namun nihil, sidik jari pun tak ada di sana. Namun, tiba-tiba sesuatu berdenging di kepalanya.

NGIIIIIIIIIIINNNNNNGGGGG...

Panji merasakan sakit seketika itu. Penglihatannya mulai samar. Sebuah banyangan muncul di kepalanya. Seekor anjing memabawa sebuah kepala bertopeng dengan mulutnya.

"Panji!" Catur menepuk pundak Panji. Yang ditemuk tersadar dengan napas yang tak beraturan.

"Ada apa?"

Panji menatap Catur, "ikut aku, Tur!"

Panji pun berjalan ke arah sebuah terowongan kecil diikuti oleh Catur. Betapa terkejutnya kedua anggota kepolisian itu melihat apa yang mereka temukan.

"Astaga!"

"Kepala itu?"

...

avataravatar
Next chapter