5 #04 - INTEROGASI

Dua orang pria bertopeng berlari berlari dengan tergesa-gesa ke dalam sebuah ruangan yang sangat minim pencahayaan. Setelah pintu terbuka, mereka terdiam sejenak sambil mengatur napas mereka. Sementara, empat orang dengan pakaian senada dan topeng bermotiv burung hantu berada di dalam ruangan tersebut. Selain itu ada pula dua orang yang berdiri di belakang mereka, dua orang ini terlihat memiliki kedudukan yang lebih rendah dari keempat pria yang lain. Seseorang melangkah menuju kedua pria yang baru saja tiba.

"Apa yang terjadi?" tanyanya dengan suara yang berat dan khas.

"Transaksi kita gagal. Tiga orang polisi datang dan menyergap."

Sontak seisi ruangan terkejut. Mereka saling menatap.

"Bagaimana dengan Samba?" seseorang mengajukan tanya, yang lain melirik kepadanya dan mengalihkan pandangan mereka pada dua rekan mereka yang baru saja tiba.

"Dia tertangkap. Kemungkinan ketiga bocah itu pun tertangkap."

PRRRAAAAKKKK...

Seseorang menggebrak meja. Pusat perhatian beralih padanya. Terlihat raut amarah dari sepasang mata yang di balik topengnya. Ia mengepal kedua tangannya dengan sangat erat penuh amarah. Guratan ditangannya yang membesar menggambarkan semua itu dengan jelas.

"Siapa yang berkhianat di antara kita?" ia menatap tajam kepada semua yang ada di ruangan itu. Semua tersentak dan saling menatap, seperti saling mencurigai satu sama lain.

...

PRRRRAAAAKKKK...

Sebuah tinjuan keras mendarat tepat di pipi kanan sang tahanan yang terduduk di sebuah kursi dengan kedua tangan terborgol di belakang kursi. Memar pun tercipta di wajahnya yang garang itu. Sang kapten tim khusus pun menjalankan tugasnya.

"Jadi, seperti ini tampangmu jika tak menenakan topeng burung hantu itu?" yang meninju sedikit meledek.

Napas sang tahanan tersenggal-sengal menahan sakit di wajahnya. Ia masih bersikeras tak akan mengatakan apa pun tentang Sarra' dan rencana besar mereka. Darah mulai berkucuran di mulutnya.

Sang eksekutor belum menyerah sampai si tahanan mau membuka mulut. Ia menarik dagu orang yang terlihat lebih besar darinya itu tanpa gentar sedikit pun. Ditamparkannya wajah si tahanan dengan sadih, namun tak melepaskan pengangannya dari dagu si besar.

"Sekali lagi kuminta padamu agar mengatakan semua informasi tetang Sarra'. Dengan begitu kau akan menerima hukuman yang lebih ringan dan kau bisa lekas bertemu dengan keluargamu."

"Hingga kau bunuh aku sekali pun, kau tidak akan mendapatkan informasi apa pun dariku!" sang tahanan masih teguh dengan pendiriannya.

"BANGSAT!!!" sebuah tintuan ke atas tepat di dagu dan tahanan pun dilancarkan, membuat sang tahanan dan kursinya terjatuh namun masih dalam posisi terikat.

"AAAAA..." dia mengeram kesakitan.

Sang eksekutor meraih kerah baju tahanan yang telah berlumuran darah itu dengan sadis. Ditataplah kedua matanya dengan garang. Yang ditatap hanya tersenyum licik walau terlihat sangat kelelahan.

BRRUUUUFFFTTT...

Pintu ruang interogasi terbuka. Ramos dan sang tahanan menatap ke arah pintu. Sang tahanan dengan pengelihatannya yang sedikit samar akibat eksekusi dari Ramos pun melihat sosok hitam besar yang memasuki ruangan. Ia sedikit terkejut dan memejamkan matanya serta menggelengkan kepala, saat dia kembali membuka mata ia hanya melihat dua orang memasuki ruangan tanpa bayangan yang ia lihat tadi.

"Apa itu?" bisiknya yang samar juga terdengar di telinga Ramos. Ramos menoleh ke arahnya, namun ia hanya melihat tahanan itu yang mulai teler.

Dilepaslah genggamannya dari kerah baju sang tahanan, membuat tubuh sang tahanan dan kursinya menghantam lantai dengan gema yang terdengar di seisi ruangan itu.

"Sudah dapat informasi tentang dia?" Ramos bertanya kepada dua orang yang baru saja tiba itu.

"Namanya Samba," jawab Catur dengan tegas.

"Ada lagi?" Ramos menghampiri Cator yang membawa sebuah catatan di tangannya.

"Dia ikut andil dalam pembantaian di beberapa titik lima belas tahun lalu. Dia juga yang bertanggung jawab atas pembunuhan beberapa anggota kepolisian di tahun yang sama, dan..." Catur terdiam, matanya melotot membaca kalimat selanjutnya.

"Dan...?"

Catur menatap Panji dan Ramos.

"... dan dia membantai kelima anak dan istrinya sendiri empat belas tahun lalu, kemudian melarikan diri dan dinyatakan buron."

"He..hehehe..." pria bernama Samba itu tertawa sinis tanpa sedikit pun merasa bersalah, "itulah alasanku, tak keberatan jika kalian ingin membunuhku. Kau bilang akan mengembalikanku kepada keluarga? Heehh..."

"Masih ada lagi?" Ramos terus menanyai Catur.

"Tidak ada, kapten! Hanya itu yang bisa kami peroleh. Sarra' melakukan semuanya dengan rapi."

"Aku membunuh mereka agar aku tak didahului oleh kalian para polisi keparat. Aku melindungi mereka dari kejahatan dan kekejaman kalian," Samba mengungkapkan alasannya dengan sedikit menggebu-gebu.

"Panji, paksa dia buka mulut. Pastikan dia membeberkan semua tentang Sarra'!" Ramos memberi perintah sebelum membalikkan badan dan berjalan menuju pintu keluar, "aku ingin istirahat sebentar dan meminum kopi! Catur, bantu Panji!"

"Siap, Kapten!"

Panji melangkah menuju ke arah Samba yang masih tergeletak di lantai.

"Apa katamu tadi? Melindungi keluarga? Kau tidak melindungi mereka, kau membantai mereka agar tak ada yang membuka mulut soal Sarra'," Ujar Panji yang mulai meraih tubuh Samba.

Panji menarik kerah baju Samba dan matanya tertuju pada sebuah tato di leher yang bergambarkan burung hantu. Sebuah penggalan adengan yang entah dari mana melintas di kepala Panji. Ia ingat saat lima belas tahun lalu, ia yang berlumuran darah berada di dalam sebuah mobil yang dikemudikan oleh seseorang berotot dan memiliki tato yang sama di kirinya. Sementara itu, Samba menatap wajah Panji yang kini sangat jelas ia lihat. Ia seperti tak asing dengan wajah itu.

"Kau?" Samba berbisik dan cukup terdengar di telinga Panji. Panji pun mengarahkan pandangannya dan menatap Samba.

Panji sedikit tidak fokus dan melepas kerah baju Samba yang kembali terjatuh ke lantai dan menyisakan gema sekali lagi. Panji berusaha mengembalikan fokusnya dan kembali kepada pekerjaan yang harus ia selesaikan. Catur pun menyadari ada yang aneh.

"Panji?" Catur mencoba meraih kawannya. Namun, saat Catur mencoba menghampiri Panji, ia pun dikejutkan dengan teriakan ketakutan dari Samba.

"AAAAAAA..."

Semua pun menoleh ke arah Samba, termasuk Ramos yang baru saja membuka pintu. Ia pun menutup kembali pintu interogasi dengan cepat, agar suaranya tak terdengar ke luar. Sementara ia, batal keluar ruangan itu.

"Markas Sarra' ada di gedung tua yang terletak di perbatasan kota sebelah selatan. Kami dibagi menjadi empat tim, satu tim berisi dua orang. Besok malam, aku dan rekan timku, Wara, harusnya melakukan transaksi di sebuah kafe di tengah kota bersama seseorang. Lalu, dua hari setelah itu, ada yang melakukan perjanjian transaksi bersama tim lain di club malam terbesar di wilayah barat kota," Samba memejamkan matanya dengan ekspresi ketakutan. Semua tercengang, entah apa yang terjadi sehingga ia akhirnya mau membuka mulut dan memberi semua informasi itu, "sejauh ini hanya itu yang kutahu, karena rencana selanjutnya akan di bicarakan pada rapat sore ini. Sore ini mereka berencana melakukan pertemuan anggota untuk membahas pertemuan mereka dengan beberapa klien di ruang bawah tanah markas."

Semua masih ternganga. Ramos menatap Catur yang kebingungan. Kemudian, ia pun menatap Panji yang kebibungan dengan raut wajah yang sedikit pucat.

"Apa yang kau lakukan, Panji? Bagaimana bisa?"

"Aku tak melakukan apa-apa, kapten. Aku hanya menarik kerah bajunya dan tak mengaja melepaskannya. Dia terjatuh. Dan..." Panji masih merasa kebingungan, "dan ia terjatuh di lantai."

Kapten Ramos masih menatap heran. Catur buru-buru mencatat beberapa poin penting yang diucapkan oleh Samba. Sementara Samba masih memejamkan matanya dan ketakutan setengah mati.

"Aku telah memberikan semua informasi yang kalian butuhkan! Keluar! Tinggalkan aku!" Samba terus berteriak.

Mereka bertiga pun meninggalkan ruangan interogasi. Meninggalkan Samba yang masih ketakutan. Ia menolak disentuh bahkan dibantu untuk duduk di posisi yang benar.

"WUUUAAAA.... AAAAA..." ia masih berteriak-teriak tak jelas.

"Apa yang terjadi?" tim khusus itu keluar dengan pertanyaan yang tak terjawab.

...

"Tim khusus kepolisian baru saja membekuk seorang bandar narkoba yang merupakan anggota geng paling berbahaya bernama Sarra'!" seorang pewarta baru saja menyampaikan berita terhangat dua hari belakangan ini. Mereka kini berada di ruangan kerja mereka.

"Jangan bangga dulu, pekerjaan kita belum selesai!" Ramos memberi peringatan kepada dua juniornya, "Catur, apa yang kau catat?"

"Besok malam, mereka akan melakukan transaksi di sebuah kafe. Sehari setelahnya, di sebuah club malam. Dan sore ini mereka akan mengadakan pertemuan sesama anggota mereka."

"Lawan kita bukan orang sembarangan. Siapkan diri kalian, kita akan melakukan penyergapan sore ini. Pastikan kita berhasil, agar tidak perlu memburu mereka besok lama dan lusa."

"Kita bertiga lagi, kapten? Mereka bukan orang sembarangan!" Panji mengajukan pertanyaan dan pendapat.

"Tenang, aku akan meminta Komandan Anwar untuk menyiapkan pasukan!" Ramos pergi meninggalkan Catur dan Panji.

"Akhirnya pakai bantuan juga," bisik Catur kepada Panji.

"Lawan susah, makanya pakai bantuan," Panji membalas.

"Ji, yang tadi itu apa?"

Panji menatap Catur, "yang tadi?"

"Iya, kenapa Samba bisa dengan mudahnya mengatakan semua itu. Bagaimana kamu melakukan itu?"

"Entahlah, Tur. Aku juga tidak mengerti."

...

Sebuah ruang pertemuan rahasia terlihat mencekam. Walau, suasana masih sore namun ruangan itu terlihat seperti tengah malam dengan pencahayaan yang minim. Beberapa orang berjubah hitam dan bertopeng burung hantu pun berkumpul di sana mengelilingi sebuah meja kayu yang di atasnya terdapat sebuah pelita sebagai penerangan.

"Wara, kau bisa melakukannya sendiri, besok malam?" seorang ketua menanyakan kesiapan anggotanya.

"Siap, ketua. Tanpa Samba pun, transaksi ini akan tetap kujalankan."

"Kau yakin?" salah seorang anggota lain menanyainya, "salah seorang di antara kita bisa menemanimu. Atau kedua anggota baru kita bisa menjadi partner sebagai mengganti Samba!" ia menunjuk ke arah dua orang yang berdiri di belakang mereka.

"Jangan meremehkanku, lagi pula mereka masih harus banyak belajar."

"Tapi, nyatanya, dua hari lalu Samba tertangkap dan kau nyaris tertangkap pula."

"Aku curiga, mengapa kau tidak tertangkap juga? Atau jangan-jangan..." seorang lainnya dengan suara yang sedikit melengking, menaruh curiga.

PRAAAAKKK...

Sontak, pria yang disebut Wara itu menggeprak meja.

"Maksudmu, aku yang memberi informasi transaksi itu kepada mereka?"

Semua menatap ke arah Wara. Ia merasa difitnah dan dipojokkan. Ia kembali membalas tatapan mereka dengan berusa meyakin mereka.

"Aku tak mungkin melakukan hal itu. Aku akan membuktikannya. Akan kupastikan tak ada polisi yang akan tahu soal ini."

"Bagaimana jika Samba yang membuka mulut?"

"Aku kenal siapa Samba, dia tidak mungkin melakukan hal itu. Ketua, kau pun tahu itu, kejadian lima belas tahun lalu dan setahun setelahnya!"

"Kita beri kesempatan Wara untuk membuktikannya. Jika kau gagal, kau tahu sendiri apa akibatnya!"

"Percaya padaku!"

...

Sementara di luar gedung, anggota kepolisian telah siap melakukan penyergapan. Mereka mulai menyebar ke seluruh gedung untuk melumpuhkan beberapa penjaga. Dengan sigap mereka lantas menyusup masuk dan siap menyergap. Kapten Ramos memberi instruksi agar empat orang berjaga di luar dan lima sisanya ikut menyusup ke dalam. Alhasil tujuh orang termasuk Ramos, Panji, dan Catur ikut menyergap.

"Kuingatkan padamu, Tur. Jangan gegabah!" Ramos mengingatkan.

Catur mengangguk.

"Ikuti aba-abaku, aku di depan."

...

"Belu, Bua, bagaimana dengan transaksi kalian?"

"Kami sudah siap untuk..."

"Tunggu!" Sang ketua menghentikan pembicaraan rapat, "kita kedatangan tamu!"

...

"Jangan bergerak!" Sang Kapten menodongkan pistolnya kepada para buronan itu.

Sang ketua terlihat memberi kode kepada dua orang yang berada di pintu, dan ternyata tak terlihat oleh para tim penyergap. Seketika kedua orang itu memukul tangan tim penyergap terdepan, dan senjata pun berlepas dari tangan mereka. Anggota yang lain terkejut dan mengarahkan moncong senjata mereka ke arah dua orang tersebut.

Secara bersamaan, semua anggota Sarra' yang lain mengambil senjata dan menembaki tim penyergap. Dengan sigap, tim berlindung di tempat yang aman sambil menembaki musuh mereka. Aksi baku tembak tak terhindarkan, peluru saling bersahutan di udara.

"AAAA..." sebuah timah panas berhasil mengenai lengan seorang anggota kepolisian.

Panji menoleh ke arah ereman. Dengan berani ia pun mencoba menerobos hujanan peluru. Ia berdiri dari tempat berlindungnya. Entah apa yang terjadi, hujanan perluruh dari musuh berhenti, semua terpaku pada Panji.

"Kau?" sang ketua seperti mengingat sesuatu.

Tak lama, sebuah bom asap dilemparkan ke arah tim kepolisian. Seketika asap pun menyebar menghalangi pandangan. Saat asap telah menghilang, para anggota Sarra' itu pun tak ada di tempat.

"Ke mana mereka?" Ramos berusaha menghilangkan asap yang tersisa di hadapannya dan menerobos ke depan.

Tit.. tiit... tiiiiiiit...

"BANGSAT!!!" Ramos dan semua tim berkejut.

"Mereka memasang bom... BERLINDUNG!"

Beberapa anggota tim berlari, Ramos pun berusaha menghindar, namun...

BOOOMMMM!!!

Ramos dan tim terpental dengan beberpa luka di tubuh mereka yang cukup parah.

"Ti-tim... Ti-Tim yang di luar, Tolong kami!" Panji menghubungi tim di luar.

"Jangan terlalu banyak berharap, mereka pun sama seperti kalian!" yang membalas panggilan itu justru orang lain.

"K-Kau?"

...

Tim Sarra' kembali lolos ke dalam hutan. Sebuah jalan rahasia di bawah meja rapat berhasil membawa mereka keluar menuju hutan dan selamat dari bahaya. Seorang anggota Sarra' yang lain berhasil melumpuhkan empat orang anggota kepolisian yang menjaga di luar.

Sementara, para tim di dalam yang terkena efek ledekan bom pun komdisinya sangat memeprihatinkan. Luka bakar dan lumuran darah memenuhi tubuh mereka yang terkapar di dalam ruangan bawah tanah.

KRIIINNNGGG... KRIIIINNNGGG...

"Halo, dengan komandan Anwar di sini ada yang bisa kami bantu?"

"Komandan Anwar, saya harap Anda bergegas menuju markas Sarra'. Anggota tim Anda membutuhkan pertolongan!" seorang penelepon misterius menghubungi sang komandan.

"Siapa, Anda?"

"Anda tidak perlu tahu siapa saya. Yang jelas saya berada di pihak Anda. Lekas, anggota Anda membutuhkan pertolongan medis segera!" seorang pria berjubah hitam dan bertopeng burung hantu itu pun menutup teleponnya.

"Halo, halo?!" Komandang Anwar berusaha menghubunginya lagi, namun sayang tak ada jawaban.

***

Di dalam hutan yang gelap.

"Aku yakin, Samba telah dipaksa dan memberitahukan mereka tentang lokasi markas kita!" seorang bertopeng itu angkat suara.

"Samba tidak mungkin melakukan itu," Wara masih bersikeras.

"Para polisi itu pasti menyiksanya!"

"Kalau begitu, kita harus mencegahnya mengatakan informasi lebih banyak!"

"Ketua, apa kau menyadari sesuat tentang anggota kepolisan tadi?" seseorang bertanya di luar bahasan rapat.

Semua menatapnya. Sang ketua pun mengubah ekspresinya.

"Anak itu ya?"

 SRRRRTTTT...

Seseorang mendarat di tengah-tengah petinggi tim Sarra' yang sedang berbicara dan lantas berlutut.

"Gawat, ketua!"

"Triad? Ada apa?" sang ketua balik bertanya kepada anggota baru itu.

"Tim kepolisian datang ke markas kita, dan mereka membawa tim yang berhasil kita lumpuhkan sore tadi."

Semua menatap ketua, dan menunggu perintahnya.

"Apakah kita harus menyerang mereka lagi?"

"Jangan, biarkan mereka. Jangan biarkan mereka mengetahui keberadaan kita lagi!"

Semua hening, angin malam pun berhembus dengan mencekap.

***

Sementara itu, tengah malam di markas kepolisian di pusat kota. Seorang pria samurai bertopeng mengendap-endap di atap markas. Keadaan yang sangat gelap membuatnya menyatu dengan kegelapan. Ia berlari dan melompat dengan sangat lincah dan cepat. Ia menuju ruang intogasi di bagian belakang markas. Ia mendarat di sebuah lorong tepat di hadapan seorang penjaga.

SSSSSTTTTT...

Pedangnya tepat menebas leher penjaga itu. Ia pun mulai berlari lagi ke arah lorong yang gelap.

"Siapa itu?" penjaga lain menyadari keharian sang samurai bertopeng. Ia pun menghampirinya. Dari kegelapan, pedang itu berhasil menancap di leher sang penjaga.

Beberapa penjaga lain pun dibantai dengan sangat brutal.

SSSSSTTTTT...

SSSSSTTTTT...

SSSSSTTTTT...

Sangat lihai ia memainkan pedangnya. Pembantaian itu pun tak menimbulkan kegaduhan. Hingga akhirnya ia pun tiba di depan sebuah ruang interogasi yang di gembok dan dirantai. Pedangnya yang sangat tajam mampu melepas rantai dan gembok itu. Ia pun masuk dan menemukan Samba yang masih tergeletak di lantai.

Samba pun mengangkat kepalanya dan melihat seseorang masuk ke dalam ruang interogasinya. Sang samurai meraih kerah baju Samba dan memerbaiki posisi Samba. Samba menatap sang pria yang mulai membuka topengnya.

"Kau?" mata Samba membelalak.

...

SLLLEEEEPPPP...

Pedang menancap mulus di leher Samba. Darah berkucuran. Samba menjemput ajalnya malam itu.

...

Sang pria misterius itu menekan eartphone di telinganya.

"Sudah kubereskan!"

"Bagus!"

...

avataravatar
Next chapter