3 #02 - WANITA BERTOPENG

...

Panji telah siap dengan seragam lengkapnya. Hari ini adalah hari yang sangat penting baginya. Hari di mana ia akan dinobatkan sebagai anggota resmi tim khusus kepolisian. Sebuah predikat yang sangat ia nanti-nantikan sejak lama. Setelah pengabdian selama dua tahun akhirnya, hari ini pun tiba.

Pria itu masih berada di kamarnya sembari menatap sebuah kalung pemberian ibu angkatnya bulan lalu saat ia kembali ke desa. Sebuah benda yang bisa menghubungkannya dengan masa lalu dan mengungkap siapa dia sebenarnya. Sebuah harapan yang masih terus menghantuinya. Sebuah harapan untuk membuktikan kepada semua orang yang pernah mengoloknya, bahwa ia pun memiliki orang tua kandung.

Sedari dulu ia memang sering mendapat perlakuan tidak adil dari kawan-kawannya. Semua terjadi karena mereka tahu bahwa Panji hanyalah seorang anak yang ditemukan hanyut di sungai dan tak jelas asal-usulnya. Segala jenis hinaan telah ia terima. Namun, selalu ada ibu dan Dewi yang menguatkannya. Setidaknya ada orang yang bisa mengakui keberadaannya tanpa harus menanyakan asal-usulnya, mereka adalah orang yang tulus.

Bola matanya ia alihkan ke atas meja. Sebuah foto yang ia ambil sebulan lalu dari TKP berdarah dalam perjalanannya ke kota. Kasus yang akhirnya ditutup dengan penarikan kesimpulan bahwa yang menyerang si bandar judi, yang belakangan diketahui pula sebagai bandar narkoba ini adalah seekor hewan buas yang entah bagaimana rupa dan bentuknya. Hal ini disimpulkan dari hasil visum yang menjelaskan bahwa di sekujur tubuh korban hanya ditemukan luka cakaran, yang kemungkinan hanya dimiliki oleh hewan.

Panji masih memikirkan sesuatu yang mengganjal di pikirannya mengenai lokasi dan temuan di TKP. Sebuah tempat dan kejadian yang sama persis dengan apa yang ia lihat dalam mimpinya. Tak ada yang tahu perihal mimpi itu, bahkan teman sekamarnya, Catur. Kecurigaannya makin memuncak dengan sebuah coretan menyerupai huruf atau inisial 'K'. Beberapa orang dalam tim penyidik menyatakan bahwa tanda itu hanya kebetulan terbentuk saja secara tidak sengaja. Bisa saja berasal dari percikan darah, atau gerakan acak yang dilakukan oleh si korban maupun pelaku. Panji tak bisa mengungkap lebih jauh, karena ia menganggap ini bukan wewenangnya.

...

Pintu kamar terbuka dan seseorang muncul di baliknya. Seorang sahabat yang sangat Panji kenal setidaknya dua dalam dua tahun ini. Catur, pria jenaka yang selalu mencairkan suasana sepanas apa pun. Kali ini tak ada raut jenakan, yang ada adalah wajah yang sangat tergesa-gesa.

"Ada apa, Tur?"

"Ada apa, ada apa! Buruan ke lapangan, sebentar lagi upacaranya akan dimulai. Ingat ini hari yang sangat penting untuk kita!" Catur mengingatkan dengan nada sedikit meninggi, mengingat Panji yang sangat lama di dalam kamar.

"Oh iya, maaf! Hehe..." yang dimarahi hanya menyeringaikan tawa.

Mereka bergegas menuju lapangan upacara. Bersiap di barisan masing-masing dan menunggu giliran prosesi terpenting, yaitu pelantikan dan penggucapan sumpah sebagai tim khusus kepolisian. Dari tengah barisan Panji memandang di kejauhan ibu dan Dewi duduk menatapnya penuh kebanggaan.

Hari ini adalah hari yang sangat penting baginya. Panji meraba dadanya dengan perasaan lega. Di saat yang bersamaan ia merasa ada yang hilang. Kalungnya. Kalung itu tak ada di lehernya. Ia pun keluar dari barisan dan berlari menju kamarnya yang tak jauh dari lapangan. Catur yang melihat gelagat aneh dari kawannya, langsung bergegas mengejar.

Sepanjang jalan menuju kamar, Panji memasang matanya dengan sangat baik. Pikirnya, barang kali terjatuh dalam perjalanannya yang sangat terburu-buru tadi. Catur menepuk pundaknya.

"Ada apa, Ji?"

"Kalungku jatuh!"

"Di mana?"

"Mana kutahu? Bantu cari!"

Catur tak menjawab. Langsung saja mereka terus menusuri jalan hingga tiba di depan pintu kamar. Anehnya, pintu kamar itu terbuka, padahal Panji sangat ingat ia telah menguncinya tadi. Melihat ada yang aneh Panji dan Catur bersiaga, dan perlahan mengintip dari balik pintu. Seseorang berjubah dengan wajah tertutup topeng terlihat sedang berdiri di dalam kamar mereka sambil menggenggam kalung milik Panji.

Sosok misterius itu memencet sebuah tobol dari earphone kecil yang ada di telinganya.

"Dia benar-benar orang yang kita cari!" suara itu menegaskan bahwa ia adalah seorang wanita.

"Hei!!! Siapa kau?" Catur menggertaknya tiba-tiba.

Si wanita bertopeng terkejut dan berlari menuju jendela. Panji yang sigap menahannya dengan menarik bagian belakang jubahnya. Si wanita melakukan perlawanan dengan gerakan cepat melayangkan tinju ke arah Panji. Panji yang terkejut melepaskan jubahnya. Ia berusaha kabur lagi. Namun, lagi-lagi panji menahan hari belakang. Si wanita melakangkan sikunya ke arah wajah Panji, kali ini Panji berhasil menahannya.

"Siapa kau?"

Si wanita tak menjawab. Ia kembali melawan panji dengan meraih tangannya dan membantingnya ke arah depan. Panji tersungkur.

"Catur, tahan dia. Ambil kalung itu!"

Catur mencoba menyerang. Namun dengan sigap si wanita melompat dan menendang Catur hingga ia terjatuh. Wanita itu pun berlari menuju pintu dan keluar dari kamar. Panji dan Catur bangkit dan berusaha mengejarnya. Aksi kejar-kejaran di sepanjang lorong asrama pun terjadi. Wanita itu berbelok. Panji yang tahu seluk-beluk asrama memilih memotong jalan dan menyergapnya tepat di sisi yang lain.

Saat ia berhasil berada di sisi yang lain. Si wanita tak terlihat, ia justru hanya melihat Catur yang telah menggenggam kalungnya dan memberikannya pada Panji.

"Loh, bagaimana bisa?"

"Jangan remehkan Catur! Sesuai namanya aku ini ahli strategi."

"Terus pelakunya?"

"Setelah berahil kuambil kalung ini. Dia menyerangku, nih sampai berdarah," Catur menunjuk ke arah bibirnya, "terus dia kabur. Untungnya kalungmu berhasil kuamankan!"

"Ahli strategi, tapi kalah sama wanita!"

"Ya elah. Wanita selalu menang, bro!"

"Tapi, siapa dia ya? Kenapa dia datang ke kamar kita dan hanya kalung itu yang ingin dia ambil?"

Catur mengerutkan dahi, memasang wajah kebingungan, "ah, sudahlah, ada yang lebih penting! Ayo ke lapangan!"

Mereka bergegas kembali ke lapangan sesaat sebelum uapacara dimulai.

..

Upacara penting itu pun berjalan dengan lancar. Sekarang Panji dan Catur resmi menjadi tim khusus kepolisian. Tugas mereka sudah menanti. Kasus-kasus yang lebih berat dan berbahaya dari kasus-kasus yang sering mereka hadapi sebelumnya. Setelah upacara selesai masing-masing mereka diperbolehkan saling sapa dan berjumpa dengan keluarga masing-masing.

Panji yang ditemani Catur melangkah menuju ibu dan Dewi.

"Saudara angkatmu cakep juga, ya?" Catur berbisik pelan pada Panji, Panji menoleh ke arahnya dengan tatapan tajam dan dengan jenaka Catur berkata, "iya, ampun, kak!"

"Tur, ayahmu datang kan?" Panji mencoba menanyai Catur.

"Entahlah, Ji. Ayahku mungkin tidak datang, dia sibuk dengan urusannya. Lagipula, mantan kriminal kayak dia pasti trauma kalau harus ketemu sama polisi, apalagi di maskar polisi kayak gini!"

Panji tak terkejut mendengar fakta itu, ia pernah mendengarnya dari cerita Catur sebelumnya. Catur adalah anak keempat dari empat bersaudara. Ayahnya harus membesarkan mereka berempat sendiri, setelah ibunya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Cara apa pun ayahnya lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Termasuk menjadi seorang kriminal di masa lalu.

"Mantan kriminal kan bukan berarti masih kriminal," tandas Panji.

"Oh ya," Panji mengingat sesuatu, "katanya kau punya tiga saudara kan? Mana mereka?"

"Sama seperti ayahku, mereka juga punya urusan masing-masing!"

Saat mereka tiba di hadapan ibu dan Dewi mereka saling sapa dan berkenalan. Catur memang sudah sering mendengar mereka dari Panji, namun untuk bertemu baru kali ini.

"Kenalkan, Tur. Ini ibuku dan Dewi!" mereka saling melempar senyum, "bu, Wi, ini Catur, teman kamarku!"

Perbincangan hangat pun berlangsung dengan sedikit bumbu-bumbu jenaka dari Catur. Perbincangan mereka pun terjeda dengan kehadiran seseorang berbadan tinggi besar dengan otot yang kekar. Dan sebuah goresan panjang bekas luka di wajahnya, menegaskan dia adalah seorang yang pernah melalukan sesuatu di masa lalu.

"Catur! Bisa bicara sebentar?"

Catur menoleh dan menatap si pria dengan wajah sedikit terkejut, "ayah?"

Catur dan ayahnya memisahkan diri dari Panji dan keluarganya. Dari jauh mereka terlihat sedang membicarakan hal yang sangat serius. Catur yang biasanya jenaka, kini terlihat tak sedang melontarkan guyon apa pun. Wajar saja, untuk dua orang ayah dan anak yang jarang bertemu dan berbincang lama, canda adalah hal yang asing. Catur lebih suka berkumpul dengan temannya daripada berlama-lama di rumah. Inilah alasan mengapa Catur memilih masuk tim kepolisian. Tak lama mereka pun berbalik menuju Panji dan keluarganya.

"Panji, ya?" pria bertato itu menyapa Panji.

"Iya, om!" yang disapa mengiyakan dan memberi senyuman.

"Catur pernah cerita tentang kamu."

Panji hanya tersenyum dan melirik Catur, yang dilirik pun tersenyum jenaka.

"Ibu?" ayah Catur menunjuk ibu Panji.

"Saya Sekar! Ibunya Panji!"

Ayah Catur mengangguk dan melirik ke arah Dewi, "kamu?"

"Saya Dewi, Om. Saudarinya Panji!"

Pria besar itu mengangguk sekali lagi.

"Om masih ada urusan, jadi harus pergi dulu. Tolong jaga Catur ya!"

"Iya, Om!"

Sang ayah melangkah untuk pergi. Catur mengantarnya menuju sebuah mobil antik yang masih cukup terawat. Dari jauh ayahnya membuka pintu mobil menatap ke arah Panji dan melempar senyum. Lalu menatap anaknya sejenak sambil berkata sesuatu yang tak bisa terdengar oleh Panji. Kemudian masuk ke dalam mobil dan pergi meninggalkan Catur yang masih berdiri dengan tatapan yang tajam.

...

Ibu dan Dewi langsung memutuskan untuk kembali ke desa setelah upacara selesai. Rasa bangga benar-benar menyelimuti mereka. Salah satu anggota keluarganya berhasil menggapai mimpinya.

Satu langkah telah Panji tuntaskan. Kini ia berstatus sebagai tim khusus kepolisian. Sebuah impian yang akhirnya ia capai. Suasana semakin larut kala itu, ia berjalan menyusuri lorong yang mulai menggelap. Benaknya dipenuhi rasa bangga.

Dari arah depan tepat di ujung lorong Panji melihat seseorang sedang mengintainya. Menyadari hal itu Panji memerhatikannya dengan saksama, tak ingin kehilangannya lagi, seorang wanita bertopeng yang menyerangnya pagi tadi. Dari sela-sela topeng, matanya terlihat membelalak. Ia menyadari Panji melihatnya.

"Panji!" seseorang menepuk pundaknya.

Yang dipanggil menoleh.

"Ada apa?" sambungnya yang melihat gelagat Panji yang aneh.

"Tadi ada..." Panji menoleh lagi ke ujung lorong. Sosok itu telah menghilang.

"Ada apa?"

"Tidak!" Panji menggelangkan kepala.

Mereka melanjutkan langkah menuju kamar. Sebelum benar-benar memasuki ruang itu Panji memastikan sekali lagi. Memandang ke arah ujung lorong. Tetap saja kosong. Tak ada siapa pun di sana. Setelah meyakinkan diri bahwa itu hanya halusinasinya saja, ia memasuki kamar dan menutup pintu.

...

"Sebelumnya saya ucapkan selamat bergabung kepada kalian!" ucapan selamat yang diiringi wajah tak terlalu menyenangkan dari sang komandan.

Panji dan Catur telah berada di ruangan sang komandan pagi ini sesuai instruksinya semalam. Sesaat mereka tersenyum dan menangguk, menghargai ucapan selamat sang komandan.

"Tidak perlu berlama-lama. Kalian akan saya tugaskan menyelidiki sebuah kasus pencurian sekaligus pembunuhan di sebuah rumah. Periksa TKP, temukan apa saja yang mencurigakan!" sang komandan memasang wajah penuh keseriusan, "tangkap pelakunya!"

"Siap, Dan!"

...

"Semalam saya tidak di rumah. Hanya ada suami saya. Waktu saya pulang tadi pagi, dia sudah tidak sadarkan diri. Saya tidak berani mendekat," seorang wanita dengan dandanan serba mewah memberi kesaksiannya dengan masih memperlihatkan wajahnya yang ketakutan.

Korban adalah seorang pria berusia sekitar empat puluh tahun berkepala pelontos. Tewas dengan luka tusukan di kepala dan leher dan darah yang terbercak di mana-mana.

"Apa yang pencuri itu ambil?" tanya Catur pada saksi.

"Sertifikat tanah yang dia taruh di bawah tumpukan baju."

Sementara itu, Panji masih terlihat memeriksa sebuah kamar yang menjadi lokasi pembunuhan. Sebisa mungkin ia mencari di setiap sudut kamar, mencari apa pun yang bisa ia temukan sebagai barang bukti. Ruangan yang tak terlalu berantakan untuk sebuah kamar yang baru saja menjadi tempat perampokan dan pembunuhan.

Hanya ada sebuah lemari yang terbuka lebar dengan susunan baju yang sedikit berantakan. Serta sebuah meja rias yang juga sedikit berantakan dengan beberapa alat rias yang tak beraturan tempatnya.Tempat bedak yang terjatuh dilantai beserta sebuah lipstik yang terguling ke bawah meja. Di atas meja terdapat senbuah sisir yang hampir jatuh dengan gumpalan rambut yang masih tersisa di antara gigi-giginya.

"Ini semua sudah direncanakan!" Panji berbisik dalam hatinya sendiri, "pelaku menggunakan sarung tangan, tak ada sidik jari pelaku di gagang lemari."

"Apa itu?" pandangan Panji terganggu oleh sebuah pantulan cahaya dari antara tumpukan baju. Diraihnya benda itu, sebuah anting yang terlihat kaitnya telah rusak. Ia lantas memandang kembali ke arah jasad korban yang masih terkapar di sana. Ada sesuatu di tangan korban.

...

"Menemukan sesuatu?" Catur menepuk pundak Panji. Kini mereka telah kembali ke markas.

"Catur? Bagaimana dengan korban?"

"Korban sudah dibawa ke rumah sakit. Hasil otopsinya, korban mati kehilangan banyak darah dan beberapa organ di kepalanya yang rusak tertikam."

"Lihat ini!" Panji menunjukkan sesuatu.

"Anting? Pelakunya seorang wanita?"

Panji mengangguk ragu-ragu.

"Tunggu!" Catur memerhatikan anting itu baik-baik. Wajahnya melihatkan bahwa ia tak asing dengan benda itu. Diambilnya sebuah ponsel dari sakunya. Ia membuka galeri foto dan berhenti pada sebuah gambar di sana, "lihat!"

Panji memperhatikan dengan baik foto itu. Sesuatu membuatnya tercengang. Tidak. Tak hanya satu, dua hal dalam foto itu membuatnya kaget.

"Perhatikan, ini adalah foto yang tadi kuambil untuk dokumentasi. Yang berdiri di pintu itu adalah istri korban yang tadi kuwawancarai. Anting yang ia kenakan, sama persis dengan yang kau temukan. Dan terlihat juga di foto ini dia hanya mengenakan anting di telinga kirinya," Catur menjelaskan.

Panji memikirkan hal yang sama dengan apa yang Catur pikirkan. Tapi sesuatu yang lain dalam foto itu membuatnya tak terlalu fokus kepada kasus. Sesuatu yang sangat tidak ada hubungannnya dengan kasus ini. Seorang wanita bertopeng yang terlihat meningtip dari jendela di belakang sang istri. Sepertinya, Catur tak memperhatikan itu.

"Perhatikan ini, Tur!" Panji menunjuk ke sudut lain foto.

"Ini orang yang kemarin?"

Mereka saling tatap dengan wajah yang sangat terkejut.

...

Mereka pun kembali mendatangi TKP.

"Ini milik ibu?" Catur melihatkan anting tadi, "sama persis dengan yang ibu kenakan saat ini!"

Yang ditanyai terkejut dan meraba telinganya, "iya, itu milik saya. Terjatuh tadi pagi waktu saya berlari keluar untuk mencari pertolongan."

"Silakan, Panji!" Catur mempersilakan Panji mengemukanan pendapatnya.

"Tak usah mengelak! Kau pelakunya!" Panji langsung memotong pembincaraan.

"Apa maksud Anda?"

"Pertama, anting itu mirip dengan yang kau kenakan, benda itu ada di antra tumpukan baju. Hanya benda milik pelaku yang bisa terjatuh di sana," Panji mulai memaparkan analisisnya.

"Saya yakin korban sebelumnya melakukan perlawanan saat tahu Anda ingin mengambil sertifikat itu, hingga anting yang Anda kenakan terjatuh di sana," lanjutnya.

"Kedua, ada beberapa helai rambut di tangan pelaku yang menunjukkan ia juga melakukan perlawanan dengan menarik rambut Anda. Dan DNA rambut itu sudah diteliti, hasilnya sama persis dengan DNA rambut yang ada di sisir yang ada di meja rias, tidak mungkin itu milik suami Anda. Ia tak memiliki rambut!" tuntas Panji yang tak bisa dijawab oleh si istri.

Akhirnya, sang pelaku mengakui perbuatannya. Dengan alasan hanya ingin menguasai sertifikat itu, karena tahu korban akan menjualnya dan menyumbangkannya kepada beberapa panti asuhan. Ia pun dibawa menuju sel.

...

Panji menyadari ada seseorang yang mengawasinya di TKP sedari tadi. Ia menoleh ke arah sudut rumah besar itu. Terlihat seorang bertopeng mengawasinya. Panji berlari berusaha mengejarnya yang juga terlihat berlari. Dan setibanya ia di tempat itu, tak ada seorang pun di sana.

"Di mana kau?"

Seseorang menghampirinya dan menepuk pundaknya.

"Panji? Ada apa?"

"Catur, wanita bertopeng, tadi ada di sini!"

Catur memperhatikan sekitar. Tempat itu kosong, tak ada seorang pun di sana.

"Tidak ada siapa pun. Kita harus cepat kembali kemarkas!"

...

"Kerja bagus!" sang komandan terlihat puas dengan hasil kerjanya, "kembalilah besok pagi ke ruanganku. Ada seseorang yang ingin kukenalkan kepada kalian."

"Siap, Dan!" mereka pun berlalu meninggalkan ruangan.

Sang komandang meraih ponselnya dan menghubungi seseorang, "saya ingin kau datang besok pagi. Saya sudah menemukan orang yang cocok dengan timmu!"

...

***

Hari berganti malam. Di antara pekatnya malam, dua orang bertopeng dan berjubah berada pada satu titik temu. Rimbunnya pepohonan menjadi tempat yang dianggap pas untuk menyembunyikan diri dan rahasia. Tanpa sapa, seseorang di antara mereka yang baru saja tiba langsung memberi peringatan.

"Sebaiknya, kau tak perlu mengawasinya lagi. Apalagi sedekat itu. Dia bisa saja curiga," suara itu menegaskan ia adalah seorang pria.

"Aku hanya ingin memastikan itu benar-benar dia," sang wanita bertopeng menyanggah.

"Kau sudah menemukan jawabannya kan?"

Si wanita terdiam.

"Biar aku yang mengawasinya. Kau bantu yang lain untuk memastikan penyusupan tengah malam nanti berjalan lancar!"

"Apa kau bisa dipercaya?" si wanita meragukan.

"Kau lupa, siapa yang ditunjuk sebagai pemimpin di tim ini?"

Si wanita terdiam. Melangkah mundur perlahan sebelum akhirnya berbalik badan, "baiklah!"

Dia pun berlalu dengan berlari ke arah hutan yang gelap dan rimbun. Si pria bertopeng hanya memperhatikannya yang semakin tak terlihat dari jauh. Ia berbalik, menekan sesuatu di telinganya, sebuah earphone yang terhubung ke sebuah perangkat di dalam jubahnya.

"Malam ini kau harus berhasil, lakukan dengan baik!" titahnya pada seseorang di ujung frekuensi.

...

Seseorang di dalam sebuah ruangan gelap menerima pesan suara si pemimpin tim. Terlihat sebuah topeng dengan motif burung hantu merekat di wajahnya, nampak berbeda dengan motif dua rekannya tadi.

"Jangan pernah meragukanku!" tegasnya. Kemudian ia berjalan ke luar ruangan mengenakan jubah, lengkap dengan topengnya.

...

avataravatar
Next chapter