2 #01 - MIMPI

...

Gelap, sunyi, sendiri, dan hampa. Tempat apa ini?

Batinnya terus bertanya-tanya. Sejauh apapun kakinya melangkah tetap saja tak berguna. Rasanya hanya berjalan di tempat yang sama. Untuknya, gelap bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Gelap selalu mengingatkannya pada masa lalu yang samar-samar di kepalanya. Dia masih berjalan menyusuri gelap dengan rasa panik yang terus berkecamuk di dada.

"Hu'... Hu'... Hu'..." terdengar sayup tangisan seorang anak.

Dia menoleh ke arah kiri. Dari kejahuan, seorang anak laki-laki berusia sekitar lima tahunan meringkuk memeluk kedua lututnya dan menundukkan wajahnya ke dalam dekapan itu. Dengan perasaan takut yang masih bersemayam, ia beranikan menghampiri anak dengan suara tangisan yang tersedu-sedu itu. Semakin dekat, ada perasan sedia di batinnya. Mencoba membandingkan si anak dengan dirinya di masa lalu.

"Dek, kenapa nangis?" tangannya meraih kepala si anak, berharap ia akan merasa tenang.

Si anak tak menjawab. Kali ini tangisannya terhenti. Seketika dentuman hening kembali menggema. Ruang hampa tanpa batas ini kembali ke suasana awalnya. Sementara, masih tak ada jawaban dari si anak. Tak lama, ia menangkat kepalanya perlawan, dari kegelapan wajahnya mulai terlihat.

Betapa terkejutnya ia ketika melihat wajah si anak. Wajah itu sangat mirip dengannya ketika ia seumuran itu. Namun ada yang aneh, wajahnya terlihat pucat dengan disertai guratan-guratan menyeramkan. Matanya hitam melotot. Bibirnya tersenyum jahat dengan garis bibir tak seperti bocah kebanyakan. Sontak dia melompat beberapa langkah ke belakang.

"WHAHAHAHAHA!!!"

Si anak yang tadinya menangis tersedu-sedu pun tertawa dengan sangat mengerikan. Suara mengerikannya menggantikan hening, menggema di mana-mana.

"Siapa kau?" si pria bertanya kepada makhluk mengerikan itu.

"AKU ADALAH DIRIMU!" si bocah mengerikan itu berlari dan menyergap si pria dari depan.

Si pria itu kembali terkejut dengan serangan tiba-tiba si anak. Spontan kedua tangannya menutupi wajahnya, berusaha berlindung dari serangan mengerikan itu. Matanya terpejam. Napasnya tak beraturan, detak jantungnya pun kebih cepat. Dia sangat merasa ketakutan. Namun, hingga beberapa saat ia tak merasakan serangan si anak padanya.

"Panji!" samar-samar suara seorang wanita memanggilnya. Ia mengenal suara itu.

Dibukalah kedua tangan dari wajahnya. Matanya pun perlahan terbuka, ia tak melihat anak tadi. Ruang hampa di hadapannya pun berubah menjadi sesuatu yang lebih mengerikan. Darah di mana-mana. Mayat seseorang terkapar di sana. Kondisinya sangat mengenaskan. Wajahnya menunjukkan ekspresi ketakutan yang luar biasa. Darah di sekujur tubuhnya. Beberapa bagian tubuhnya tercabik dan organ dalamnya pun ada yang berantakan ke luar tubuh.

Mata si pria kembali terbelalak. Wajahnya sangat ketakutan dengan apa yang terjadi di hadapannya. Napasnya kembali tek karuan, degup jantungnya seirama dengan napas. Ia menunduk, alangkah terkejutnya ia ketika melihat kedua tangannya berlumuran darah.

"Panji!" suara itu memanggilnya lagi. Ia mengangkat wajahnya, menoleh ke sumber suara di hadapannya. Terlihat wajah seorang wanita paruh baya yang sangat cemas.

"Ibu?"

Seketika semua gelap, ia tak meraskan apa-apa lagi.

...

Panji terbangun dari tidurnya. Peluh berkucuran membasahi tubuhnya. Belum pernah ia merasakan mimpi senyata ini. Degup jangtungnya pun tak seperti biasa, napasnya sangat tergesa-gesa. Persis seperti yang ia rasakan di alam mimpi tadi.

Jam di atas meja kamarnya menunjukkan pukul 02:14. Masih sangat lama menuju pagi, tapi ia tak merani memejamkan mata. Khawatir mimpi menyeramkan itu kembali menghantui tidurnya. Ia putuskan untuk keluar dari kamar, menuju dapur untuk menghilangkan dahaganya.

Ruang di luar kamarnya sangat gelap, berbeda dengan kamarnya. Sejak kecil ia tak menyukai gelap. Bayangan menyeramkan, dan serangkaian imajinasi seram akan menghantui kepalanya. Penerangan dari handphone di tangannya cukup untuk menuntunnya menuju dapur. Ia sangat berhati-hati, takut langkahnya membangunkan dua orang wanita yang tinggal serumah dengannya; ibu dan saudari angkatnya.

Gagang lemari pendingin diraih, pintu dibuka, dan diraihnya sebotol air dari dalam sana. Menenggaknya tanpa sisa. Dahaganya sedikit terobati. Mungkin sebotol lagi akan cukup.

"Panji?" seseorang mengejutkannya.

"Ibu? Ibu belum tidur?"

"Tadi ibu mendengar suara dari arah dapur. Ibu kira siapa, ternyata kamu."

"Maaf ya, bu. Panji jadi ganggu tidur ibu," anak itu hendak melangkah menuju kamar.

"Panji, ibu ingin bicara denganmu!" ibu menahannya.

Kini mereka telah duduk saling berhadapan di sebuah meja makan. Sebuah perbincangan hangat antara ibu dan anak tersaji di sana.

"Pagi nanti, kamu jadi kembali ke kota?"

"Iya, bu. Waktu libur sudah habis, besok kami sudah harus memulai latihan lagi."

"Bagaimana kehidupan di asrama? Kamu betah?"

"Aturannya memang sangat ketat. Maklum, asrama polisi. Tapi, Panji senang, ini memang tujuan Panji. Dengan menjadi polisi, Panji harap bisa menemukan apa yang Panji cari. Lagipula, Panji tidak sendiri, bu. Panji punya teman di sana, namanya Catur, dia kawan sekamarku."

Wanita itu tersenyum mendengar cerita anak angkatnya.

"Sudah dapat apa yang kamu cari?"

"Belum, bu. Tapi, Panji akan tetap cari tahu tentang mereka, Panji harus tahu siapa Panji sebenarnya, siapa keluarga Panji, ayah dan ibu kandung Panji yang sebenarnya!"

"Ada sesuatu yang ingin ibu berikan padamu," wanita yang mulai menua itu meraih sesuatu dari kantungnya. Sebuah kalung dengan inisial 'P' diperlihatkannya pada Panji.

Panji meraihnya.

"Benda itu ada di lehermu lima belas tahun yang lalu. Itulah alasan kenapa ibu menamaimu Panji, agar sesuai dengan inisial di kalung itu. Alasan lain karena kau adalah anak yang kuat."

"Kenapa baru sekarang, bu?"

"Ibu menunggu waktu yang tepat," dia menatap mata Panji, "kamu sudah semakin dewasa. Kamu bisa menentukan pilihanmu sendiri."

Panji menatap wanita yang telah baik hati padanya itu. Setidaknya, jika bukan karena jasanya dan beberapa warga desa, mungkin sekarang ini ia tidak ada. Wanita ini dengan suka rela menolongnya, memberinya tumpangan dan menjamin hidupnya. Bahkan menyekolahkannya hingga kini ia berhasil masuk sekolah kepolisian dan tinggal di asrama polisi. Ia dianggap seperti anak sendiri.

"Lima belas tahun lalu, saat ibu menemukanmu. Ibu merasa kamu bisa menjadi teman bermain untuk Dewi, setidaknya dia bisa sejenak melupakan apa yang terjadi pada ayahnya."

Panji terdiam sambil mengingat cerita sang ibu tentang apa yang terjadi pada suaminya enam belas tahun silam. Panji tak tega meninggalkan keluarga kecilnya ini. Keluarga tak sedarah yang lebih dari apapun.

"Kembalilah ke kamarmu. Ini masih malam, pagi-pagi sekali kau harus berkemas."

"Iya, bu." Panji melangkah menuju kamarnya kembali.

"Jangan menjadi orang yang mendendam!" seru sang ibu, Panji tersenyum dan terus melangkah menuju kamar.

Tibalah ia di kamarnya. Ditatap kalung itu sejenak. Diletakkannya dalam tas. Dan akhirnya ia kembali memberanikan diri untuk memejamkan mata. Berharap kali ini tak ada lagi mimpi yang aneh.

...

"Panjiiii...!" suara seorang gadis lembut memanggil namanya.

Panji masih asyik menempelkan kepalanya pada bandal.

"Pan..jiii..." suara lembutnya masih memanggil-manggil.

"PAAANNNJJJIII!!!" suara itu berubah menjadi sangat keras terdengar tepat beberapa senti di telinga kirinya.

Sontak Panji pun terkejut. Ia terbangun. Dilihatnya seorang gadis cantik dengan ramput panjang terurai yang tersenyum manis padanya.

"Dewi?"

"Hari ini kamu jadi berangkat, kan?!" si gading bertanya dengan sedikit kesal, "calon polisi tapi bangunnya selalu kesiangan. Katanya di asarama disiplin?"

"Ngantuk, Wi. Semalam susah tidur!"

Dewi mengalihkan pandangannya ke sebuah foto di meja. Terpajang senyuman dari tiga wajah di sana. Fotonya bersama Panji dan ibu yang diambil beberapa tahun lalu saat kelulusannya bersama Panji dari sekolah menengah atas. Ia meraih figura itu, tersenyum dan menunduk sejenak.

"Keluarga kecil kita akan berpisah lagi ya?" matanya mulai berkaca-kaca.

"Kita masih bisa bertemu lagi di pelantikanku bulan depan. Kuharap kau dan ibu datang!"

"Setelah itu? Kita akan jarang bertemu, kan? Atau bahkan tidak sama sekali? Apalagi kudengar, kau akan mencari keluargamu yang asli!"

"Aku akan sering ke mari, mengunjungimu dan itu. Bagiku, kalianlah keluargaku."

Air mata wanita itu mulai menetes. Panji memeluk saudarinya itu.

"Lagipula, aku masih punya tanggung jawab untuk hadir sebagai wali di ijab qabul pernikahanmu nanti!"

Dewi tersenyum tipis. Diusapnya kedua pipinya yang basah. Panji melepaskan dekapannya.

"Jangan dulu berandai-andai tentang pernikahanku. Yang harusnya menikah lebih dulu adalah kau. Kau lebih tua dariku!"

"Kata siapa? Aku ditemukan lima belas tahun lalu di sungai tanpa identitas, saat itu kau berusia telah lima tahun. Artinya, aku belum tentu seusia denganmu, bisa saja aku lebih muda."

"Aku lupa sedang berbicara dengan siapa. Calon penyidik kepolisian kota. Sudah jelas analisanya akan sejauh itu," ledek Dewi disertai senyum Panji.

"Kau masih suka menulis?"

"Iya."

"Tak ingin jadi jurnalis? Kawan sekamarku di asrama berteman baik dengan seorang jurnalis wanita di koran kota, mungkin dia bisa membantu memberimu pekerjaan."

"Aku tak tega meninggalkan ibu sendiri. Biar aku di sini menemani ibu. Hasil tulisanku sebelumnya ditambah gaji sebagai tenaga honorer di kantor desa cukup untuk membantu. Jadi, kau tak usah terlalu memikirkan biaya kami di sini. Simpan saja untuk masa depanmu nanti," Dewi tersenyum lagi dan kembali meledek Panji, "ingat! Menikah dengan perempuan kota butuh biaya yang cukup banyak!"

Perbincangan kedua saudara tak sedarah itu berakhir lantaran waktu yang semakin tak menunggu. Seminggu kembali ke rumah, akhirnya bisa dirasakan Panji, setelah pelatihan yang panjang di asrama demi mewujudkan mimpinya menjadi seorang penyidik profesional dalam kepolisian kota. Langkahnya masih panjang, semangatnya pun masih belum padam hingga kini.

...

"Bu, Wi, aku berangkat," Panji berpamitan dengan ransel yang telah berada di punggungnya. Dia pun mengangkat kepalanya dan mengingat sesuatu, "jangan lupa datang bulan depan di acara pelantikan Panji, biayanya biar nanti Panji kirimkan!"

"Ibu sama Dewi pasti datang!"

"Jaga ibu ya, Wi!"

"Siap, pak polisi!" gurau Dewi sambil memposisikan tangan kanannya dalam sikap hormat.

Panji mengusap kepala saudarinya itu, lalu mencium punggung tangan ibunya.

"Panji pamit, bu. Ibu jaga kesehatan, ya!"

"Iya, nak! Hati-hati!" sang ibu tersenyum dengan rasa haru sekaligus bangga.

Sebuah ojek telah siap mengantarnya menuju halte bus yang berjarak satu kilometer dari rumahnya. Jarak desanya memang agak sedikit jauh dari jalan raya, sehingga masih harus menggunakan sepeda motor untuk ke sana.

Tibalah Panji di halte. Ia masih harus menunggu hingga bus menuju kota tiba. Beruntunglah ia hari itu, tak perlu waktu lama, bus yang ditunggu pun tiba. Untungnya bus masih cukup lenggang, sehingga ia tak perlu berdiri. Sebuh tempat duduk tepat di tengah bus menjadi pilihannya.

Bus mulai melaju. Makin jauh putaran roda membawanya, rasa berat hati dan rindu yang belum terobati secara sempurna berkecamuk dalam dirinya. Berharap ketakutan Dewi pagi tadi tak menjadi kenyataan. Panji menyandarkan tubuh pada kursi bus yang nyaman. Perjalanan menuju kota butuh waktu lima jam. Tidur akan membuat perjalanan yang membosankan tak begitu terasa. Ia pun terlelap.

...

Gelap, sunyi, sendiri, dan hampa. Tempat ini lagi.

Tak... tak... takk...

Panji melangkah dalam gelap. Kali ini ada sebuah cermin di hadapannya. Refleksi dirinya terlihat jelas di sana. Tangan kanannya mulai dijulurkan, sang bayang melakukan hal yang sama. Namun ketika jarinya menyentuh cermin hal aneh pun terjadi, dirinya di cermin membentuk senyum yang aneh dan sebuah gerakan menerkam tiba-tiba menyerangnya.

KHHHAAAAAA....!!!

...

PIIIIIIIIIIIPPPPPP...

Mimpi anehnya serta suara klakason bus mengejutkannya. Panji terbangun dari tidur. Kali ini, bus yang ia tumpangi tak sedang bergelak. Ia memandang ke arah luar jendela. Beberapa kendaraan pun terhenti, tak bergerak sama sekali, kecuali beberapa motor yang mencuri celah sempit untuk menerobos ke depan. Beberapa penumpang tak terlihat di dalam bus.

Jika diperhatikan lagi, ia mengenali tempat itu. Tempat ini masih tak jauh dari desanya, hanya berjarak beberapa kilometer. Aneh, ada pacet di desa. Apa yang sedang terjadi? Panji memutuskan untuk beranjak dari tempat duduknya, ia menghampiri si sopir.

"Ada apa ya, pak?" tanyanya.

"Itu, mas. Di rumah kosong yang di depan sana ada mayat seorang bandar judi. Kondisinya mengenaskan, mas. Banyak yang datang untuk melihat sampai menutupi jalan, jadi susah kendaraan buat lewat," terang si sopir.

"Pembunuhan?"

"Mungkin, mas. Tapi mungkin juga diterkam binatang buas, soalnya tidak ada bekas manusia, mas. Yang ada hanya bekas cakaran di mana-mana."

Naluri Panji sebagai seorang penegak hukum pun muncul. Ia keluar dari bus yang masih sama sekali tak bergerak. Melangkah menuju tempat kejadian perkara untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Kerumunan manusia pun diterobosnya. Beberapa yang melihat postur tubuh Panji pun memberi jalan, pikir mereka Panji adalah tim kepolisian yang ditugaskan menyelidiki kasus yang sedang mereka tonton di depan sana.

Langkahnya terhenti tepat di depan garis polisi. Di dalam garis, darah berceceran di mana-mana. Beberapa uang kertas bertebaran. Polisi di TKP mengamankan setiap barang bukti yang ada.

Wajah Panji berubah. Matanya terbelalak menyaksikan apa yang ada di hadapannya. Sangat mengenaskan, beberapa organ tubuh tak lagi berada di tempat seharusnya, tubuh yang tercabik-cabik, dan ekspresi ketakutan korban menambah keseraman kondisinya. Tapi bukan itu yang membuat Panji terbelalak keheranan. Dalam benaknya terus bertanya tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi di tempat ini, dan sebuah pertanyaan...

"Mengapa ini sangat mirip dengan mimpiku semalam?"

...

"K"

Sebuah huruf dari darah korban tertulis di samping si mayat...

***

avataravatar
Next chapter