webnovel

Turun Bukit

Sedayu menyerah. Pram terus memaksa membuntutinya. Tak ada satupun hewan buruan sebesar celeng, apalagi sebesar rusa. 

Sedayu mendesah lagi. Kalau begini, bisa-bisa mati kelaparan, pikirnya. Padahal, semalam tak makan tidak akan membunuh pendekar seperti Sedayu maupun Pram.

Saat mata Sedayu merasa jenuh, matanya menangkap pergerakan di semak-semak. Suara bergemeresak mengiringinya. 

Pram mengernyit saat melihat Sedayu langsung terbang ke semak-semak itu. Menusuk tombaknya seperti babi buta, tak peduli mengenai sasaran atau tidak.

Sedayu tertawa keras. Ia mengangkat tombaknya tinggi-tinggi. Darah segar mengalir di batang tombak sampai ke tangan putihnya. Sebuah kelinci kecil yang hancur setelah dihunjam tombak berkali-kali. Malang sekali nasib kelinci itu. Pram menghela napas panjang, Sedayu makin tertawa keras laksana orang gila.

"Akhirnya! Makanan!"

"Caramu membunuh sangat tidak baik, Sedayu." Pram berdecak pelan beberapa kali sebelum maju selangkah. "Kau hanya perlu menombaknya sekali, lalu menyembelihnya. Kalau begini caranya, kematiannya pasti sangat menyakitkan."

"Manusia Aliran Tak Tahu, aku mendapatkan makanan. Untuk kita berdua. Kenapa kau tak senang?"

"Aku tak senang sebab sikapmu yang begitu, Sedayu. Lagi pula, aku sudah punya makanan."

Sedayu mengernyit. "Makanan? Kau ... jangan bilang kalau kau sudah menyimpan makanan dan tak memberitahuku?"

Pram mengangkat bahu. "Tidak. Aku hanya berburu bersamamu di sini, lalu membakar seekor rusa besar di api unggun."

Wajah Sedayu pucat. Bagaimana bisa? Pram jelas-jelas ada di sini dari tadi. Berasamnya. Atau jangan-jangan, yang menemaninya tadi adalah hantu?!

"Bagaimana bisa? Kau jelas-jelas ada di sini tadi ...."

"Sedayu. Kau hanya mendengar suaraku, tanpa menoleh ke belakang sedikitpun. Saat bicara dengan seseorang, alangkah baiknya kau tatap langsung padanya, mengerti?"

Pram adalah pendekar tingkat tinggi. Ia menggunakan suara saat bicara tadi, hingga suaranya seperti ada di samping Sedayu.

"Cerewet." Sedayu menghela napas panjang, merasa buruannya sia-sia. "Sekarang mari kembali ke api unggun."

Pram hanya mengangkat alisnya sekali sebelum mengikuti Sedayu dari belakang. 

***

Lahap sekali makannya. Bagai dia bukan wanita. Satu kelinci langsung dilahap habis. Sekarang masih mau mencicipi rusa bakar besar hasil buruan Pram.

"Omong-omong, siapa namamu?" Sedayu akhirnya bertanya.

"Kau bisa panggil aku Pram," jawabnya singkat sebelum memotek daging rusa lembut.

"'Pram'? Hanya itu? Tak biasanya nama orang sependek itu."

"Memang tak ada sepertinya. Tapi untuk namaku, kau tak perlu tahu banyak." 

Sedayu mendengus, menghabiskan daging rusa manis di tangannya. Mengambil lagi.

"Jangan ambil terlalu banyak makanan seperti itu, Sedayu. Makanlah secukupnya."

"Rusa ini tak akan habis dengan sendirinya. Harus ada  yang memakannya, bukan?" 

"Tapi bukan hanya kamu yang bisa makan rusa besar ini."

"Apa maksudmu?" Sedayu menajamkan pandangan.

"Ya. Kau bisa manfaatkan daging rusa untuk kebaikan." Pram membalas enteng, membersihkan tangan. "Kalau kau mengerti, kau tahu apa yang harus kau lakukan."

Sedayu berpikir sejenak, sebelum mencetus, "Ah, ya! Bagaimana keadaan desa yang akan kita datangi? Miskin kah, atau kaya?"

"Gersang. Padi tak banyak tumbuh. Hewan ternak kurus kerontang. Banyak orang di sana, belum lagi anak-anak."

"Kasihan." Sedayu berkata lirih walau ia tak terlihat sedih. "Rusa ini bisa dibawa ke sana. Untuk anak-anak makan. Mereka pasti belum pernah mencicipi daging rusa bakar, apalagi yang seenak ini."

"Terima kasih. Secara tak langsung kau memujiku yang membakar rusa ini."

"Terserah kau." Sedayu bangkit, mengambil selembar kain lebar dari tas kecilnya.

Rusa itu dibungkus kain itu setelah dipotong kecil-kecil dan disisihkan tulangnya. Buntelan berisi daging rusa manis itu sudah siap, tinggal dikalungkan di pundak dengan tali penyambung.

"Aku berbuat baik, ya?" Sedayu merasakan perasaan aneh datang dari dirinya. Perasaan yang belum pernah dirasakannya.

"Baru akan berbuat baik lebih tepatnya, kecuali daging itu tak dimakan olehmu di tengah jalan." Pram tertawa kecil.

"Enak saja. Aku lebih kasihan pada anak-anak itu ketimbang diriku sendiri. Sudahlah! Lebih baik aku tidur." 

Sedayu berdiri. Mengentak kaki sekali, kesal. Pergi ke lembaran-lembaran daun pisang miliknya. Tidur.

Pram tersenyum tipis. Berniat tak tidur malam ini. Harus ada yang berjaga. Lagi pula, dirinya tak mengantuk. 

Pram mengambil posisi duduk sila dan bermeditasi. Mengisi kembali Prana yang tadi sedikit terbuang.

***

Pagi menjemput. Burung-burung bernyanyi. Bayangan memanjang. Hangatnya terasa memeluk. 

Sedayu bangun. Menghirup kabut tipis dingin. Mengucek mata satu-dua kali. Memandang sekitar, ia menemukan Pram sedang duduk bersila di atas alas daun pisangnya.

"Kau bangun pagi-pagi sekali."

Sayangnya, Sedayu salah. Pram tidak tidur semalaman. Pram diam tak menjawab. Sedayu memilih acuh juga, mencuci muka dengan air minum, agak kesal ia dengan Pram.

"Berkemas." Pram berkata pelan, tapi tegas, matanya masih terpejam dalam duduknya. "Kita berangkat sebentar lagi."