2 Kerinduan yang Menyiksa

"Padahal hari pelaksanaan ospek hanya dua hari, tapi persiapannya membutuhkan waktu yang cukup lama juga."ucap Widya sedikit menyayangkan hal itu.

"Apa mungkin karena masa persiapan itu sebagai salah satu cara kita untuk saling mengenal sebelum kita mengikuti ospek jurusan."ucap Widya lagi yang kini tengah menduga-duga sesuatu yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya. Sama seperti Widya, ini juga merupakan sesuatu yang baru bagi Rizel.

"Sepertinya begitu."pikir Rizel.

Rizel dan Widya baru saja menyelesaikan persiapan mereka untuk menyambut hari esok. Saat ini jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, meskipun mereka telah menyiapkannya dari seminggu yang lalu, sepertinya waktu itu tidak cukup. Banyak hal yang harus dipersiapkan hanya untuk satu hari itu, atau lebih tepatnya hal yang dipersiapkan itu membutuhkan waktu yang lama untuk mempersiapkannya.

"Jadi, jam berapa kita berangkat besok?"tanya Rizel kepada Widya, meskipun kos mereka sama-sama berada di belakang kampus, tapi kos Widya berjarak lebih dekat dengan kampus, sehingga Rizel lah yang harus berangkat lebih dahulu agar Widya tidak menunggu lama.

"Acaranya mulai jam lima kan, sebaiknya kita berangkat jam empat aja. Biar enggak tergesa-gesa."jawab Widya. Acara yang akan mereka ikuti besok adalah ospek untuk universitas dan sepertinya besok juga menjadi hari terakhir mereka bersama sebagai teman satu kelompok karena setelah itu mereka akan masuk ke kelompok baru untuk mengikuti ospek fakultas dan jurusan.

Setelah kurang lebih hampir dua puluh menit berjalan kaki dengan santai, akhirnya mereka harus berpisah. Widya harus melewati gang kiri jalan untuk menuju kekosannya sedangkan Rizel tetap harus berjalan lurus sampai dua gang setelahnya.

"Ya udah aku ke sini dulu ya, sampai ketemu besok."pamit Widya berbelok dan melambaikan tangannya kepada Rizel.

"Sampai ketemu besok."balas Rizel masih melanjutkan langkah kakinya, mereka pun berpisah.

Meskipun saat ini jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, dan meskipun ini lingkungan baru bagi Rizel tapi ia tidak takut sama sekali berjalan sendirian malam-malam seperti ini. Selain karena jalannya yang memiliki lampu penerang, juga dikarenakan banyaknya mahasiswa dan mahasisiwi baru yang juga berlalu lalang baik menggunakan kendaraan ataupun mereka yang jalan seperti Rizel saat ini.

Sejujurnya jika Rizel mengatakan hal ini kepada orang tuanya mungkin mereka akan sangat khawatir kepada Rizel. Rizel tidak pernah pulang selarut ini sebelumnya, orang tua Rizel membatasi waktu Rizel hanya sampai jam sembilan malam, itu pun hanya boleh ketika Rizel libur sekolah saja.

Tak berapa lama kemudian, Rizel pun sampai di sepetak kamar kecil yang akan menjadi rumah untuknya selama berada di kota ini nantinya. Tempat Rizel pulang dan beristirahat setelah melakukan semua kegiatannya, atau bisa jadi tempat Rizel menghabiskan hampir sebagian waktunya nanti.

Biasanya setiap Rizel pulang dari manapun akan selalu ada orang yang menyambutnya. Akan selalu ada orang yang Rizel ajak untuk bercerita tentang hari yang ia lalui, tapi kali ini semuanya terasa berbeda. Tidak ada lagi orang yang akan menyambut Rizel, tidak ada lagi orang yang akan memasakkan Rizel makanan, tidak ada lagi makanan yang akan Rizel makan sepulang dari manapun.

Ini kehidupan baru untuk Rizel, ini pertama kalinya bagi Rizel berpisah dari keluarganya terutama dari orang tuanya. Seberapa

pun dewasanya Rizel, ia tetap kesulitan menerima semua ini. Rizel masih sering merindukan ibunya dan rumahnya meskipun ia masih sering menghubungi dan berbicara dengan ibunya, tapi semuanya terasa berbeda.

Rizel masih ingat, ketika pertama kali berada di kota ini seorang diri, Rizel menangis karena merindukan ibunya. Rizel menangis karena ia sedikit takut untuk menjadi dewasa, Rizel tidak tahu apakah hanya dia yang merasa seperti itu atau semua orang yang jauh dari keluarganya akan seperti ini. Rizel benar-benar merasa takut untuk menjadi dewasa, tapi ia tidak punya pilihan lain selain menghadapinya.

Ini adalah pilihan Rizel sendiri untuk kuliah di luar kota, jadi ia harus bertanggungjawab terhadap pilihannya itu. Rizel tidak bisa menangis dan merengek ataupun mengeluh kepada ibunya, Rizel tidak bisa menunjukkan ketakutannya kepada Ibunya karena ia tidak ingin Ibunya semakin khawatir kepadanya.

Ibu Rizel adalah orang yang selalu mendukung pilihan yang Rizel buat, ini tidak hanya sulit bagi Rizel tapi juga bagi Ibunya. Ini pertama kalinya Ibu Rizel melepaskan putrinya untuk jauh darinya, tentu saja ia menutupi kekhawatirannya itu di hadapan Rizel.

Rizel segera menghempaskan tubuhnya di single bed yang ada dikamarnya ini. Beruntung Rizel menemukan kos yang sudah ada almari dan single bed, sehingga ia tidak perlu mencari atau membelinya lagi. Tentu saja ini memudahkan Rizel yang tidak mengetahui apa-apa tentang kota baru ini.

Rizel tidak bisa lagi menelpon Ibunya saat ini, karena biasanya Ibunya sudah terlelap saat ini. Meskipun begitu, Rizel melihat-lihat ponselnya, dari beberapa pesan yang masuk kepadanya, tapi tidak ada satupun pesan dari orang yang diharapkannya.

Rizel menghela napas kasar, Rizel berharap setidaknya sekali saja orang yang diharapkannya itu menghubunginya. Meskipun ia tahu dengan baik bahwa ia akan berharap lebih setelah itu. Mungkin ini cara sang pencipta untuk membuat Rizel tidak lagi berharap pada sesuatu yang tidak pasti.

Setelah memutuskan untuk menjauh dan pergi ke kota ini, Rizel tetap saja merindukan orang itu. Merindukan orang yang telah menemaninya selama tiga tahun terakhir, masa-masa sekolahnya. Sepertinya tidak ada cara untuk Rizel bisa melupakan orang itu yang jelas-jelas memperlihatkan betapa ia sudah melupakan Rizel. Rizel tidak tahu bahwa itu akan semenyakitkan ini, ia tidak tahu bahwa ia masih mengharapkan nama yang sudah tidak bisa lagi ia panggil.

Rizel kembali meneteskan air matanya, semenjak perpisahan yang ia bahkan tidak mengetahuinya itu membuatnya masih belum bisa menerima perpisahan itu. Rizel masih tidak menyangka dengan apa yang terjadi kepada mereka berdua setelah bagaimana mereka bertahan dari perpisahan selama ini, setelah melalui banyak kenangan dan waktu yang dihabiskan bersama.

Tangisan Rizel semakin mengeras, ia tidak menyukai perasaan ini yang selalu datang setiap saat kepadanya. Perasaan ketika merindukan seseorang tapi tidak bisa melakukan apapun, Rizel membenci orang itu, tapi ia juga merindukannya.

Terkadang Rizel ingin menunjukkan kepada orang itu bahwa ia baik-baik saja dan jauh lebih bahagia. Rizel ingin menunjukkan bahwa ia mendapatkan seseorang yang lebih baik. Tapi nyatanya Rizel tidak bisa membuka hatinya untuk orang lain, lagian Rizel tahu bahwa orang itu juga tidak akan pernah mencari tahu tentang kabar Rizel lagi. Ya dia memang sekejam itu, meninggalkan Rizel dengan semua kesakitannya dan hidup baik-baik saja.

Rizel berharap bahwa sedikit saja orang itu merasakan kehilangan seperti yang Rizel rasakan. Berharap sakit yang Rizel rasakan juga dirasakannya, Rizel sangat ingin melihat hal itu, tapi orang itu seakan menghilang dari hidup Rizel sepenuhnya, tidak ada satupun kabar yang Rizel dengar tentang dia, seakan ia memblokir Rizel dari kehidupannya. Rizel seakan menerima hukuman karena telah mencintai orang itu, hukuman yang ia sendiri tidak ketahui apa kesalahannya.

avataravatar
Next chapter