1 Menara

Pria berambut hitam menggeliat pada lantai dingin. Pandangannya sesaat gelap, sesaat membiasakan dengan sekitar, dan sesaat melihat sekitar. Dimana dia?

Tidak, tunggu dulu. Siapa dia?

Menatap dinding kayu dihadapan lama sembari berusaha mengingat-ngingat. Ada sesuatu yang tidak dapat dia pegang pada pikiran, seperti hal gatal yang tidak dapat dia garuk, ataupun pegang. Sekuat tenaga dia mengingat, hingga akhirnya bersama hembus angin dingin yang berhasil masuk melewati celah-celah dinding kayu tua, dia mengingat semuanya.

Dia adalah Garrent Fresster, anak dari Fawkes Fresster si pandai besi dan ibunya yang entah siapa. Dia adalah salah satu penjaga desa. Desa kecil di ujung map kerajaan, di balik gunung batu, di entah berantah yang bahkan tidak banyak peta menunjukkan mereka.

Perlahan memori masa kecilnya terulang. Ketika dia seringnya bermain pedang kayu bersama sahabatnya di depan balai desa. Mengembara pada hutan belakang desa yang dilarang oleh para orang tua karena takut para monster. Garrent terkekeh, dia tahu tidak ada monster disana. Hanya para peri hutan yang suka jahil dengan sihir mereka, mereka baik, hanya jahil.

Lalu beberapa hari sekali ayahnya akan mengajak dia pergi menyembah para dewa pada kuil mereka.Garrent, dia tidak percaya dewa dan segala macam omong kosong tersebut. Mungkin itu kenapa dia yang sering menjadi sasaran amarah dari sang pendeta yang juga, secara ajaib adalah gurunya. Oh betapa dia membenci gurunya yang botak itu.

Juga ada gadis tersebut, yang sedari kecil sudah saling kenal—tidak secara langsung, tidak, tidak mungkin. Dia tidak berani. Lebih tepatnya adalah ayah dia dan ayah gadis tersebut saling kenal, tetap saja, itu dihitung saling kenal kan? Ya, itu dihitung. Rambut merah gadis tersebut masih teringat jelas, lebih menyala dari apapun, barangkali lebih menyala daripada baginda penguasa siang hari. Siapa nama gadis tersebut? 'R'…, 'R' sesuatu.

Garrent menggeleng kepala, berusaha membuang ingatan barusan. Dia teringat ada sesuatu yang lebih penting daripada ingatan masa kecilnya kini, sesuatu yang jauh, jauh lebih penting. Tapi apa?

Dia meringis ketika berusaha bangun. Sekujur badannya terasa ditindih oleh sihir para peri, tapi para peri tidak bermain jauh disini. Jauh disini? Ya, ya, ya, dia mulai ingat. Dia mulai ingat apa yang membuatnya berada ditempat asing kini.

Dia dan beberapa temannya, para penjaga desa yang lain. Mereka ditugaskan untuk menyelidiki kasus orang hilang disekitar desa. Biasanya ini bukan tugas para penjaga, tapi mengingat tidak banyak tenaga bantuan dari kerajaan membuat mereka sendiri yang harus menjadi penyelidik. Jadi kemana teman-temannya, tidak, lebih tepatnya kemana tiga orang temannya?

Tetes air mengenai ujung hidungnya, setetes lagi, lalu lagi, lagi, dan lagi hingga menjadi deras. Dia mengadah keatas, hujan tentu saja. Cepat-cepat berteduh pada bagian yang terlindungi dari hujan selagi Garrent mempelajari struktur bangunan disekitarnya. Ruangannya berbentuk bundaran, dan hujan berjatuhan dari bagian atap yang rusak parah. Garrent menyadari tidak banyak menara disekitar desa, tidak. Hanya ada satu, menara yang sudah lama ditelantarkan oleh sang penyihir. Dan bila ingatan tidak mengkhianatinya, yang dimana saat ini dia mempertanyakan kemampuannya untuk mengingat sesuatu, tempat mereka menyelidiki jauh dari sini.

Garrent tidak ingin membuang waktu lama pada ruang paling atas menara yang perlahan hujannya makin keras. Jari-jemarinya meraba pada dinding berdebu menara. Langkahnya gontai menuruni tangga bundar sempit yang terisi keluarga laba-laba dan sejenis, pandangannya sesekali dicipitkan untuk menangkap cahaya minim atau bahkan tidak ada.

Lalu dia menyadarinya, untuk pertama kali dia, Garrent merasa kesendirian.

Pikiran-pikiran aneh mulai berdatangan, keluar dari otak bagian terdalam yang tidak dia sangka ada. Terutama pemikiran tentang adanya hantu. Bagaimana bila dia berada di menara ini karena hantu? Juga menara tanpa penghuni bisa saja ada hantu. Mungkinkah hantu pemilik menara ini? bisa jadi penyihir menara ini tidak pernah meninggalkan rumahnya, bisa saja dia mati dan mendiami tempat ini bahkan setelah ajal menjemput.

Garrent menelan ludah pada tenggorokannya yang kering, jantungnya berdegup kencang, dia ketakutan.

Ada semacam keberuntungan melegakan ketika ruangan bawah tidak segelap apa yang dia kira. Walaupun cahaya kebiruan tidak seterang obor pada umumnya. Dan seperti manusia normal lainnya, dia mendekati cahaya biru tersebut. Lebih baik terang daripada gelap kan?

Suara pintu tua yang bergesekan dengan lantai berdebu tidak membantu rasa percaya diri yang dia bangun mati-matian. Rasa takut masih menggelantung pada hati walaupun kini dia tidak lagi berada pada kegelapan total.

Ruangan tersebut berbeda dari apa yang dia bayangkan. Berbentuk persegi yang tidak terlalu luas. Terisi oleh: kasur, meja makan kecil, dua kursi usang, cermin yang retak sebelah, dan dinding beton yang tertempel tulisan-tulisan beraneka ragam diagram sihir. cahaya biru sendiri nyatanya biru kehijauan yang berasal dari lentera sihir. membuat Garrent bertanya-tanya berapa banyak koin yang bisa dia dapatkan bila saja lentera sihir tersebut tidak terpasang pada beton menara.

Guntur menghujam bumi di kejauhan, membelah suara hujan yang kian deras. Membuat kesan bahwa Garrent adalah seorang ilmuan sinting bersama kreasinya untuk menghancurkan dunia. Seperti kebanyakan ilmuan sinting, mata biru safir miliknya jelalatan melihat diagram-diagram yang tidak dia ketahui.

Sihir bukan hal asing. Hampir semua orang memiliki kekuatan sihir walaupun kembali lagi pada masing-masing orang perihal seberapa banyak sihir yang dia punya. Garrent pun bukanlah orang sial, jauh dari kata sial, dia adalah orang paling beruntung yang ada di desa, dan sejauh yang semuanya tahu, Garrent memiliki salah satu sumber sihir terbesar. Bila bukan paling besar.

Sayangnya. Untuk menggunakan sihir, seseorang harus tahu caranya. Tidak semua orang sama, tidak semua orang berbeda. Beberapa dengan cara berkomunikasi, meminjam sihir yang ada pada sekitar, dari alam. Beberapa mengeluarkan sihir dari tubuhnya sesuaji imaji yang ada dibayangan. Mayoritas menggunakan sihir dengan rumus-rumus yang sudah dipatenkan sedari dahulu, karena hanya segelintir orang saja yang bisa menggunakan sihir dengan imaji dia.

Garrent sendiri tidak tahu dia jatuh dibagian yang mana. Pada desa tidak ada akademi sihir dan akademi sihir biasanya mahal.

" Menarik…" Kata Garrent pelan diantara deru napasnya. Ada yang menarik perhatiannya, bisikan-bisikan pelan membuat berdiri bulu kuduk. Tapi anehnya dia tidak takut, dia tertarik.

Suara-suara tersebut pelan dan tidak jelas, tapi kelamaan sumbernya diketahui. Pada buku beralas kulit warna hitam dengan lambang riak air merah darah. Garrent tahu dia tidak boleh mengambil apa yang bukan miliknya, terlebih lagi buku aneh di menara terlantar. Tapi itu yang dia lakukan, mengambil buku tersebut dan membacanya.

'akhirnya aku memiliki uang yang cukup untuk mendirikan menara sihirku sendiri. Itu berati selamat tinggal pada hidup petualang yang tidak menentu tempat tidurnya, juga selamat tinggal dengkuran kapten! Hah!

Ada desa dekat sini. Mereka orang-orang baik, dengan senang hati menerimaku, bahkan beberapa menawarkan bantuan untuk mendirikan menara ini. Entah dengan uang atau tidak.

Juga aku dapat merasakannya. Kekuatan yang aku cari-cari, aku dapat merevolusikan dunia sihir dengan formula tersebut. Ada yang kurang, entah apa. Barangkali akademi sihir lamaku menyimpan jawabannya. Aku akan kesana dalam waktu dekat untuk mencari jawaban, juga yang terpenting, akan melamarnya.

Oh dewi keluarga, lancarkanlah urusanku.'

Garrent berhenti membaca ketika petir lagi-lagi menghujam bumi. Dia putuskan untuk melanjutkan buku tersebut begitu kembali ke desa. Matanya lalu beralih pada meja sekitar, dan tanpa banyak pikir mengambil sebilah belati. Setidaknya kini dia memiliki perlindungan entah dari apa, dan berdoa dia tidak akan menggunakannya.

Dia menarik napas dalam sebelum kembali pada tangga gelap menara. Seperti tadi, tangannya meraba-raba sekitar, dan sesekali kehilangan pijakan kaki. Pikirannya beralih pada masa saat dia dan sahabat masa kecilnya bermain pada sungai dengan beberapa bocah lainnya. Ah, masa yang indah.

Sekarang mereka terpisah. Sahabatnya pergi menjadi petualang, sedangkan Garrent tidak berani untuk keluar dari desa. Berapa lama sudah temannya hilang kabar? Terakhir mereka bermain adalah pada festival bulan saat mereka dua belas tahun, dan kini Naruto sudah delapan belas. Tidak disangka enam tahun terlewat. Apakah mereka masih sahabat? Apa yang akan dia katakan bila mereka bertemu kembali? Apakah akan canggung? Entahlah.

Langkah Garrent berhenti di depan pintu kayu. Dari sela-sela yang tidak rapat merambat cahaya kekuningan. Hidung Garrent menghirup bau yang familiar, bau udara luar yang dingin. Tanpa banyak buang waktu dia segera membuka pintu tersebut sekuat tenaga. Benar saja, matanya disuguhkan dengan pohon-pohon yang daunnya mulai kekuningan. Aneh, tapi apalah arti daun-daun.

Tanah sekitar masih basah karena hujan, dan hujan sendiri walaupun belum berhenti total, masih menjatuhkan rintik-rintiknya. Maharaja matahari masih malu bila bukan masih tidak ingin bangun dan lebih memilih berbaring dibalik awan, hanya menunjukan pantatnya saja.

" WOOOOOOOH!"

Teriakan semangat Garrent dibalas kepakan burung yang kaget dan segera minggat dari sekitarnya karena kesal. Pemilik rambut hitam malam tersebut tidak ambil pusing. Dia segera mengira-ngira dimana letak desanya dan dengan pengetahuannya dia yakin akan tiba pada sore hari, bila bukan lebih cepat lagi.

Tidak ingin membuang waktu dia segera bergegas menuju arah yang dia yakini. Menembus barisan pohon dan semak dengan gagah berani. Tidak ada lagi rasa takut mengingat semuanya sudah terang dan seperti kepercayaannya. Hantu tidak ada di siang hari, atau ada?

Beberapa akan berpikir dua kali untuk melewati hutan seperti Garrent seorang diri. Ada terlalu banyak ancaman yang melihat setiap saat orang-orang tidak melihat seksama. Bagaimanapun juga desa mereka adalah tempat terpencil di entah berantah. Bisa jadi ada makhluk buas, bandit, dan bila sial monster. Ya monster.

Monster-monster pada umumnya lebih aktif pada malam hari ketimbang siang, tapi bukan berarti mereka tidak ada. Banyak orang-orang sial yang bertemu monster tanpa sengaja dan tentu saja mati bila tidak ada persiapan sama sekali atau tertangkap dalam keadaan kaget. Garrent sendiri tidak terlalu memperdulikan hal tersebut. Dia termasuk yang terhebat dalam menggunakan pedang, walaupun kini yang dia punya hanya sebilah belati.

Garrent walaupun bukan kapten dari penjaga desa tetap saja salah satu yang terbaik bila bukan yang terbaik. Sedari kecil dia tertarik dengan apa yang orang-orang lakukan, atau lebih tepatnya saat para penjaga desa sedang berlatih di lapangan dekat rumah. Tidak perlu buang waktu untuk dia cepat akrab dengan beberapa penjaga dan voila dia sudah ikut memegang pedang tanpa disadari orang-orang. beberapa bahkan hingga berkata Garrent yang akan menjadi ketua penjaga, dan tampaknya hal tersebut bukanlah sesuatu yang tidak mungkin untuknya.

Diperjalanan yang aneh untuk Garrent lama-kelamaan dia akhirnya menemukan jalan setapak. Dia tersenyum menyadari bahwa perjalanan aneh ini akan segera berakhir. Sempat terpikirkan bagaimana nasib teman-temannya, tapi kemudian dia tidak hiraukan dan beranggapan mereka sudah kembali terlebih dahulu.

Burung-burung mengikuti angin terbang kesana-kesini di atas Garrent. Daun-daun berguguran sepanjang perjalanan. Melihat kondisi yang damai seperti ini membuat Garrent tidak kuasa menahan dirinya untuk tidak bersiul. Lucunya siulan tanpa nada tampaknya mengundang siulan burung-burung yang terbang di atas. Alhasil kedua makhluk hidup yang berbeda sistem tubuh saling bersanding siul tidak jelas yang dianggap keduanya indah.

Ditemani siulan tampaknya membuat Garrent lupa waktu dan rasa letih. Di ujung matanya sudah dapat dia lihat tembok luar desa. Senyum bahagianya tidak bisa dia sembunyikan hingga giginya pun terlihat. Walaupun ada beberapa rasa janggal sedari tadi yang senantiasa dia dorong kembali masuk pada bagian terdalam diri.

Gerbang pun terlihat. Tidak begitu besar, cukup untuk gerobak masuk dan keluar secara bersamaan tanpa harus saling gesek. Garrent mengangkat alis bingung ketika tidak mendapati penjaga atau orang satupun. Ya walaupun mereka berada pada entah berantah bukan berarti desanya sepi seperti saat ini.

Jantungnya berdegup kencang begitu masuk. Apa yang dia lihat tidak dia sukai. Rumah-rumah ditumbuhi tumbuhan jalar. Pintu dan jendela terbuka lebar atau bahkan tidak ada pintunya lagi. Langkah Garrent makin cepat, kemudian berubah menjadi lari. Mulutnya bergumam kata yang sama, dan kepalanya berisi berbagai macam pertanyaan dan perasaan yang tumpang tindih.

Pertama-tama dia berlari pada rumahnya, berteriak-teriak 'ayah' berulang kali yang nihil jawaban. Seluk-beluk rumah dia jelajahi dengan cepat tidak memperdulikan apapun. Lalu rumah sebelah, sebelahnya lagi, dari yang satu ke yang satu. Tapi tidak ada satupun yang berisi orang, hewan pun tidak ada. Hingga akhirnya rasa kelelahan tidak lagi bisa dia bendung.

Lututnya sudah kehilangan tenaga untuk berdiri. Dia kelelahan. Dia sendirian.

avataravatar