8 Bertemu Dengan Ratu Revania

Ruang doa berangsur mulai sepi, satu persatu semua anggota kerajaan sudah meninggalkan ruangan. Sebelumnya mereka memberikan doa untuk Ratu Revania, duduk bersimpuh pada sebuah altar khusus yang telah disiapkan. Ritual turub menurun yang memang harus dilakukan, jika ada salah satu anggota keluarga Kerajaan Aarez yang sakit.

Saat ini yang tertinggal hanya para permaisuri Raja Louis: Dilara, Emira, dan Helena. Mereka bertiga sedang menatap punggung Raja Louis. Pria berbadan tegap dan tinggi itu, masih duduk bersimpuh, didepan meja doa.

"Adik." Ucap Dilara pada adiknya Emira. "Hh... apa kau tahu siapa yang ada disebelahmu?" Bisiknya pelan. Tapi Helena tahu, kalau mereka sedang membicarakannya.

"Aku tidak tahu kak, diamlah! Dan jangan berisik! Nanti Raja Louis akan marah dengan kita." Emira berucap, tapi pandangannya masih menatap kearah punggung Sang Raja.

"Cih! Kau ini, kuberitahu kepadamu. Kalau disampingmu itu hanyalah seorang rakyat jelata yang terlalu beruntung, untuk merasakan nikmatnya tinggal di istana." Dilara mengabaikan peringatan adiknya.

"Lihat saja nanti, wanita bodoh itu akan segera ditendang keluar dari istana Kerajaan Aarez." Lanjut Dilara. Sedikit terkekeh, karena puas dengan merundung Helena

Helena harus menjaga dan melatih kesabarannya, kalau saat ini ia bukan lagi seorang rakyat jelata. Rasanya ingin sekali ia menarik kuat rambut Dilara, atau menancapkan kukunya seperti serigala liar.

Dilara adalah permaisuri pertama Raja Louis, dan Emira adiknya merupakan permaisuri kedua. Setelahnya baru Helena, yang menjadi permaisuri ketiga.

Dan dari sikap Mereke berdua, ada hal yang bisa Helena simpulkan sendiri. Bahwa wajah cantik mereka tidak sebanding dengan kepintaran otak yang mereka miliki, dan benar apa yang pernah dikatakan oleh Ratu Revania kepadanya.

"Kenapa kalian bertiga sangat berisik?" Louis sudah membalikkan tubuhnya. Baju luarannya yang lebih mirip seperti zirah, ikut berayun dengan gagah.

"Tidak ada yang menjawab pertanyaanku?" Tanya Louis dengan suara beratnya. "Tadi saja kalian berani berbisik-bisik dibelakangku, dan sekarang kalian hanya diam saja?" Suara Louis semakin menggema, padahal sepertinya ia tidak berucap dengan lantang.

"Yang mulia, kami hanya berpikir... Apakah kami bisa untuk datang menjenguk Ratu Revania." Dilara menyilangkan satu tangan kanannya, serta membungkuk dengan hormat. Tidak lama diikuti oleh adiknya Emira, yang ikut membungkuk. Hanya Helena yang masih duduk bersimpuh tanpa membungkuk.

("Apa aku harus membungkuk juga?") Batin Helena bingung, dan dia pun ikut membungkuk.

"Kau." Tunjuk Louis pada Helena, tapi permaisuri barunya belum menyadari bahwa dia yang sedang ditunjuk oleh sang raja.

"KAU!" Ucap Louis lebih lantang, sehingga membuat ketiga permaisurinya menegakkan wajah mereka. Dan setelah tersadar dengan siapa sang raja sedang berbicara, barulah mereka melirik kearah Helena.

"Eee... Ya, yang mulia." Ucap Helena bicara dengan gugup. "Saya?"

"Ratu Revania ingin berbicara denganmu." Lanjut Louis, dan menyingkap jubahnya saat berjalan mendekat kearah Helena. Tatapan matanya menatap sangat menusuk pada setiap wajah Helena, bukan karena kagum tapi Helena yakin, kalau sorot mata itu menunjukkan kebencian mendalam.

"Matilah aku... Apa lagi salahku kali ini." Batin Helena, dia pun segera menurunkan pandangannya.

"Yang Mulia, tapi kami juga ingin bertemu dengan Ratu Revania." Dilara tampak tidak senang, kenapa harus Helena yang akan pergi bersama dengan sang raja. "Boleh kami ikut?" Tanya Dilara, dan ia menyikut lengan adiknya Emira.

"Ya... Yang Mulia, apakah kami boleh ikut menjenguk Ratu Revania?" Emira menimpali dengan cepat.

"Kalian tidak tuli kan! Hanya Helena yang saat ini ingin ditemui oleh Ratu Revania." Jawab Louis tegas, dan kedua permaisurinya hanya saling memandang kesal pada Helena.

Dilara dan Emira memperhatikan Helena yang sudah mengekori Raja Louis, tatapan kebencian dan kesal sudah dengan berani mereka perlihatkan.

"Kakak, sepertinya Helena akan menjadi anak emas yang disayang oleh Ratu." Emira membuat kesimpulan sendiri, dan kecemasan yang berlebihan.

"Adikku yang bodoh!" Gerutu Dilara.

"Ini semua belum berakhir, Revania... hidupnya hanya tinggal menunggu waktu saja. Dan aku yakin, aku bisa merebut hati Raja Louis." Dilara mengucapkan dengan keyakinan yang tinggi.

"Lihat saja nanti, Dilara Chayton akan menggantikan posisi Ratu Revania." Lanjutnya dengan terkekeh.

***

Helena tidak berani untuk jalan berdampingan dengan Raja Louis. Pria dengan tubuh tinggi dan tegap itu berjalan terlalu cepat, atau memang langkah kakinya yang terlalu lebar. Untungnya Helena terbiasa berjalan cepat, saat ia bekerja di perkebunan milik Keluarga Weasley.

Para pengawal dan beberapa pelayan kerajaan mengikutin iringan Raja dan Permaisuri, termasuk dengan Harika. Pelayan tersebut ikut mengiringi perjalanan mereka menuju ruang perawatan khusus kerajaan.

Istana Aarez memiliki rumah sakit kerajaan, gedung dengan empat lantai. Dan hanya orang-orang kerajaan yang boleh menggunakan fasilitas rumah sakit kerajaan, beberapa pengawal menjaga ketat di setiap sisi pintu masuk, ataupun keluar.

Letak rumah sakit kerajaan dari ruang berdoa tidaklah jauh, hanya sedikit berjalan kaki dan melewati taman kerajaan barulah mereka sampai.

Iringan yang ada dibelakang Helena terhenti, ketika dia dan Louis masuk kedalam Lift khusus. Hanya ada Empat pengawal pribadi raja, Louis, dan Helena. Itu berarti hanya ada enam orang yang tersisa, yang lain tidak diijinkan untuk ikut menuju kamar rawat Revania.

Lift mulai bergerak dari lantai dasar menuju lantai empat, hanya ada kesunyian selama didalam lift. Bahkan saking takutnya Helena, ia berpikir kalau saja suara napasnya terdengar jelas... Mungkin sang Raja akan memenggal kepalanya.

Glek...

"Helena tahan napasmu selagi kau bisa! Kau masih ingin hidup bukan." Batin Helena dengan cemas, seraya meremas kubu-kubu jarinya.

Pintu lift yang terbuka membuat Helena segera saja menarik napas dengan dalam, kemudian kembali ia mengikuti langkah kaki sang raja. Lantai empat ternyata tidak memiliki ruang yang banyak. Hanya ada tiga pintu yang bisa Helena lihat, bahkan tidak tampak seperti ruangan rumah sakit pada umumnya.

Pintu cokelat tinggi dan besar sudah berada dihadapan Louis dan Helena, para pengawal mulai membentuk formasi agar berjaga disisi pintu luar. Helena masih memperhatikan dalam diam, karena penasaran ia sedikit melirik kearah wajah Louis.

"Wajahnya? Dia sedang bersedih? Apakah Ratu Revania dalam kondisi parah?" Batin Helena kembali.

"Helena?" Panggil Louis tiba-tiba, suaranya tetap terdengar berat tapi tidak ada kemarahan yang bercampur. "Jangan terlalu membuat Ratu Revania menguras energinya, bicarakan yang hanya perlu dibicarakan. Apa kau paham? Tanya Louis dan dia sudah memegangi gagang pintu.

"Baik, Yang Mulia." Jawab Helena cepat.

Pintu pun terbuka, dengan langkah pelan dan lebih santai. Mereka berdua sudah berada didalam ruang rawat pribadi milik Ratu Revania. Dinding kamar berwarna cokelat emas, sofa L yang berada ditengah-tengah, dan fasilitas lainnya layaknya sebuah hotel.

Ditengah-tengah terdapat sebuah tempat tidur yang besar. Seorang wanita sedang terbaring lemah, dengan selang oksigen yang terpasang pada lubang pernapasan Revania.

Revania belum tertidur, ia melirik kearah perawat wanita yang ada disampingnya. Memberikan aba-aba dengan jari telunjuknya yang mengayun di udara. Perawat itu langsung paham dengan maksud sang Ratu, segera ia sedikit menaikkan bagian kepala Revania. Dan tempat tidur Revania terangkat pada bagian punggung dan kepala, sehingga dia bisa melihat jelas Helena dan Louis yang baru tiba.

"Salam hormat untuk Ratu Revania, semoga kesehatan selalu menyertai anda." Sapa Helena, membungkuk hormat. Tapi dalam hatinya ia tidak berani untuk menegakkan wajahnya, karena tidak akan tega melihat penampilan sang ratu saat itu.

avataravatar
Next chapter