webnovel

2. Badmood

Hari ini adalah hari pertama masuk setelah MOS. Aku sudah menyiapkan diriku dengan baik. Dari atas hingga bawah sudah terlihat rapi dan bersih. Sebelum aku berangkat sekolah, aku melihat diriku di cermin untuk memastikan sekali lagi. Setelah selesai, aku berpamitan dan langsung berangkat sekolah. Aku berjalan dengan semangat sambil menghirup udara pagi yang sejuk sehabis hujan deras kemarin malam. Hari ini matahari bersinar terang, cerah. Saat aku berjalan di pinggir jalan, ada sebuah mobil melaju dengan kencang sehingga membuat genangan air di dekatku menyiprat ke arahku sehingga seragam yang kupakai menjadi basah kuyup dan juga kotor. Aku terpaksa kembali ke rumah untuk mengganti seragamku. Untung saja sekolah memberi 2 seragam. Aku berlari ke rumah dan langsung mengganti bajuku dan sepatuku yang basah. Aku mengganti dengan cepat karena takut terlambat. Setelah selesai, aku ke bawah, berpamitan lagi, dan langsung berlari ke sekolah.

Dan, aku berhasil sampai di sekolah, sayangnya gerbang sekolah sudah ditutup. Aku memohon dengan sangat kepada pak satpam agar mengizinkan aku masuk. Pak satpam pun membukakan gerbang karena sebal melihatku yang terus saja berisik, merengek agar bisa masuk.

Walau aku berhasil masuk, upacara akan dimulai. Teman-teman seangkatan dan kakak kelas sudah berbaris di lapangan basket. Aku dengan cepat berlari ke kelasku, menaruh tasku dan mengambil topi.

Namun, masalah baru muncul lagi. Aku menjadi panik karena aku tidak dapat menemukan topiku, sama seperti saat hari pertama masuk sekolah. Aku pasrah dan pergi ke lapangan, ikut berbaris sambil menggerutu dalam hati akan kecerobohanku.

Sayangnya, hari ini bukan hari keberuntunganku seperti saat itu. Setelah selesai upacara, diadakanlah sidak. Aku dihukum karena tidak memakai topi, hanya itu. Yang dihukum hanya 2 orang termasuk aku, 1 perempuan dan 1 laki laki. Wajar saja, ini adalah hari pertama sekolah. Semua orang pasti memakai pakaian lengkap di hari pertama, tidak mau dihukum.

Saat, yang lainnya sudah memasuki kelas masing masing, aku dan laki-laki seangkatan itu disuruh berlari mengelilingi lapangan sebanyak 10 kali. Untung saja kami tidak dibawa ke ruang BK. Setelah selesai menjalani hukuman, kami berdua diizinkan masuk kelas. Kami juga diingatkan agar membawa melengkapi atribut pada upacara selanjutnya.

"Kamu kelas berapa?" tanya lelaki itu dalam perjalanan menuju kelas.

"X IPA 3." jawabku singkat. Moodku menjadi buruk karena hukuman tadi.

"Berarti kita beda kelas. Aku X IPA 4. Btw aku Leon, Leon Delweis." lelaki itu terus saja bicara ramah padaku. Dia tidak peduli sama sekali dengan ekspresi wajahku yang kusut.

Aku mengusap peluh di dahiku sebagai tanggapan perkataannya. Sementara, dia terus saja menatapku lamat-lamat seperti sedang menungguku menjawab.

"Ee... Boleh aku tau namamu?" kata lelaki bernama Leon itu ragu-ragu.

"Savira, Savira Soka." jawabku ketus. Perjalanan ke kelas masih jauh, walau aku sudah berusaha berjalan dengan cepat. Leon bahkan harus berlari kecil agar sejajar denganku.

"Kamu baik-baik saja, kan? Wajahmu terlihat sedikit pucat." kata Leon dengan nada agak cemas.

Aku spontan berhenti setelah mendengar bahwa wajahku pucat. Aku menoleh perlahan ke Leon yang juga sudah berhenti sambil mengatakan, "Wajahku pucat?" kataku sambil menunjuk ke wajahku.

"Eh, sebenarnya tidak. Aku hanya bercanda." jawabnya salah tingkah.

Mendengar itu, aku langsung melanjutkan langkahku dengan kecepatan penuh, hampir berlari. Aku tidak peduli lagi dengannya. Bukannya bertambah baik, moodku semakin jelek gara-gara lelaki gak jelas itu.

Untung saja, saat aku memasuki kelas, guru yang mengajar belum datang. Aku segera duduk di bangkuku yang hanya ada aku. Tepat setelah aku duduk, seorang guru perempuan memasuki kelas. Guru itu masih terlihat muda dilihat dari wajahnya, mungkin usianya sekitar 20-an. Beliau mengajar pelajaran biologi.

Diriku memutuskan untuk melupakan hal menyebalkan yang baru saja terjadi beberapa menit lalu. Aku tidak mau mood buruk ini merusak hariku. Aku pun terlalu larut dalam pelajaran biologi pagi ini, salah satu mata pelajaran favoritku hingga bunyi bel yang kencang pun tidak kudengar. Aku baru tau saat guru biologiku, Bu Risma mengatakan bahwa pelajaran sudah berakhir. Beliau pun keluar kelas.

Sementara itu, aku sibuk membereskan buku biologi dan memasukkannya ke dalam tas. Tepat saat aku selesai, Sisi dan Yesi sudah menghampiriku, mengajak aku ke kantin. Aku dengan mereka sudah berteman dekat saat MOS.

Aku menyetujuinya karena hari ini aku tidak membawa bekal makanan. Ibuku tidak sempat memasak.

Kami pun pergi ke kantin, memesan bakso dan air putih, lalu duduk di salah satu bangku di sana.

"Sav, kamu telat tadi? Berapa kali disuruh lari kelilingin lapangan? Pasti lebih banyak, kan?" tanya Sisi mengawali obrolan.

"Tadi, aku kecipratan air waktu berangkat. Aku balik lagi ke rumah buat ganti baju. Padahal aku udah lari secepat yang aku bisa, tapi tetep telat juga." jelasku kesal mengingat kejadian tadi pagi.

"Eh, Sav, tadi cowok ganteng yang dihukum sama kamu itu namanya siapa, terus kelasnya?" tanya Yesi penasaran.

"Emang kenapa? Kamu naksir?" tanyaku penuh selidik.

"Mungkin, hehe." jawabnya sambil cengar-cengir.

"Sebaiknya kamu gak suka sama dia, deh. Orangnya nyebelin banget." kataku menyarankan.

"Nyebelin gimana?" kali ini, Sisi yang bertanya.

"Jangan bahas itu lagi! Pokoknya nyebelin aja." jawabku malas.

Pesanan bakso kami datang setelahnya. Kami hanya sibuk menghabiskan bakso dan segelas air putih. Tidak ada pembicaraan lagi. Hanya berdiam diri, menyisakan lengang.

Setelah kami selesai makan, aku mengembalikan mangkok itu. Tapi, sebelum mangkok itu sampai tujuan, ia terjatuh dan pecah. Sang pemilik menghampiriku dan menyuruhku untuk mengganti rugi. Aku membersihkan beling beling yang ada dibantu oleh Sisi juga Yesi. Dan akupun membayar sekaligus mengganti rugi mangkok itu. Nasibku benar benar buruk hari ini. Hal itu membuatku badmood dan ingin cepat cepat pulang.

***

Sekarang sudah pukul 15.30. Waktunya pulang sekolah. Moodku hari ini masih buruk, tidak membaik sama sekali. Sisi dan Yesi mengajakku berjalan-jalan sebentar sebelum pulang, tapi aku menolak. Aku ingin cepat-cepat pulang ke rumah, memakan es krim. Satu-satunya makanan moodboosterku.

"Hei! Senyum dong, jangan cemberut gitu!" kata seorang lelaki yang kukenal di dekat gerbang. Ia duduk di atas motornya.

"Kenapa?" kataku ketus pada Leon. Aku berhenti untuk menanggapinya.

"Mau aku belikan es krim untuk mengusir badmoodmu itu?" tanya Leon ramah. Kini, ia sudah turun dari motornya.

"Gak usah! Aku bisa beli sendiri." jawabku ketus.

"Kalau gitu, mau aku antar ke rumahmu?" tanyanya lagi, masih berusaha.

"Gak usah! Aku bisa pulang sendiri." aku melanjutkan langkahku meninggalkan sekolah.

"Savira, memangnya kamu kuat berjalan kaki sampai ke rumahmu?" tanya Leon, masih belum menyerah. Ia mengendarai motornya di sebelahku dengan perlahan.

"Rumahku dekat." jawabku singkat, merasa risih dengan sikapnya.

Leon hanya mengangguk-angguk. Ia terus membuntutiku dengan motornya.

"Apa kamu tidak punya pekerjaan, hah?" bentakku membuatnya terkejut.

"Eh, maaf! Aku hanya ingin tau rumahmu." jawabnya ragu-ragu.

"Lebih baik kamu pulang saja daripada terus menggangguku." kataku ketus.

"Eh, baiklah. Tapi, sebelum itu, boleh aku minta nomormu? Kalau tidak boleh juga tidak apa-apa. Aku akan terus membuntutimu sampai ke rumahmu." jawabnya santai.

Astaga! Lelaki ini benar-benar membuatku naik darah. Menyebalkan sekali! Benar-benar pemaksa. Aku tidak menjawab, hanya terus berjalan. Dia juga terus membuntutiku.

Aku pun berhenti, disusul juga olehnya. Aku pun balik kanan, mendekatinya yang sedang tersenyum. Menaiki jok motornya dan duduk diam.

"Jalan! Rumahku di gang sana." perintahku sambil menunjuk gang yang ada di kanan jalan.

"Eh? Gimana?" tanyanya bingung.

"Tadi di sekolah, kamu ingin mengantarku pulang, kan? Kamu juga mau tau rumahku. Jadi, ayo jalan atau aku turun saja!" kataku malas.

"Eh, baiklah." katanya. Lalu, kami pun melaju cepat di jalanan dan berhenti persis di depan gang yang kutunjuk.

Aku turun di depan gang itu dan melangkah pergi, tidak peduli. Setidaknya, aku bisa menghemat energiku dengan ini. Dia juga diam saja menatap diriku yang berjalan kian menjauh. Bodo amat, sih!

Next chapter