2 Keputusan Bu Clara

Jovan bersiap-siap dengan rasa malas, tapi dia tidak bisa terlambat apa lagi tidak datang, kalimat Bu Clara sudah terdengar jelas tadi di telepon, pukul 10, jangan terlambat. Bila terlambat apalagi tidak datang, bisa tamat riwayatnya. Tepat pukul 8.30, Jovan mulai berangkat menuju kantor agensinya, dia mampir sebentar menuju coffee shop untuk membeli kopi favoritnya. Kepalanya terlalu nyeri saat ini, dia merasa butuh kopi untuk meredakannya. Jovan masuk setelah memastikan wajahnya tertutup dengan baik, dia mengenakan masker dan topi yang hampir menutupi seluruh wajahnya. Penyanyi itu melewati beberapa meja, tiba-tiba sayup-sayup terdengar suara beberapa gadis yang sedang duduk sambil menikmati kopi pesanan mereka. Jovan menajamkan telinganya, langkahnya juga semakin pelan.

"Eh, udah lihat berita akun gosip terbaru belum?" ucap seorang diantara mereka.

"Udah, pasti video pesta gay itu kan?? Ewwh, jijik gue, enggak sangka ya, super cool and masculine, eh baru ketahuan demen ama laki, ya ampun banget" balas seorang lagi, terlihat sangat jijik dari raut wajahnya. Kalimat gadis itu langsung diamini oleh rekan-rekannya di meja yang sama.

Jovan menghela napasnya, tidak butuh waktu lama, video itu sudah tersebar kemana-mana, kadang dia merasa marah dengan kemajuan teknologi jaman sekarang, terutama dengan akun-akun gosip di media sosial yang tidak ada habisnya mengupas kehidupan pribadi artis-artis, dari mulai berita yang memang benar sampai yang dibuat-buat. Apa mereka sudah tidak bisa mendapatkan privasi mereka sendiri di masa sekarang, batin Jovan. Dia melangkah keluar, kalimat gadis-gadis tadi membuat mood pagi harinya bertambah rusak. Jovan akhirnya memutuskan untuk pergi saja ke restoran siap saji, dia memilih menggunakan Drive thru untuk membeli kopi dan sedikit cemilan untuk menenangkan hari sulitnya sekarang.

Pukul 10 kurang beberapa menit, Jovan sudah berada di lantai 5, tepat didepan kantor Bu Clara. Nia, asisten pribadi Bu Clara menyambut Jovan. Wanita muda ini dulunya tergila-gila setiap bertemu Jovan, matanya menatap wajah Jovan dengan berbinar-binar, tapi Jovan tidak menemukan sorot mata penuh kagum itu hari ini. Nia tetap secara profesional bersikap ramah pada Jovan, tapi dari sorot matanya, dia tidak bisa menipu Jovan, Nia terlihat sangat jijik dan tidak suka. Jovan hanya bisa mengeluh dalam hati. Apa kelainannya ini membuat semua orang merasa jijik dan tidak suka padanya, atau apakah dia sangat bersalah karena kelainannya ini, semua itu ada di dalam kepala Jovan.

"Jovan.. Jovan!" panggil Nia, menyadarkan Jovan dari lamunannya.

"Ya?" balas Jovan, sedikit bingung.

"Bu Clara, sudah selesai, ayo masuk, sudah ditunggu" jawab Nia sambil menunjuk ke arah ruangan Bu Clara, pintu masuknya tidak tertutup rapat, ada sedikit celah, dari sana Jovan sudah dapat melihat raut wajah marah, kecewa dan kesal dari Bu Clara.

"Thanks" balas Jovan, dia pun melangkah masuk. Jovan menarik napas dalam, apapun keputusan Bu Clara hari ini, dia harus menerima dengan sabar dan lapang dada, karena semua ini memang kesalahannya.

"Selamat pagi Bu" sapa Jovan dengan sopan.

"Duduk," balas Bu Clara, dia menunjuk ke sofa didepan meja kerjanya. Jovan mengangguk dan duduk disana. Bu Clara keluar dari meja kerjanya, mengekor Jovan dari belakang. Jovan melihat dengan jelas ada setumpuk kertas yang Bu Clara pegang.

"Baca" perintah Bu Clara, saat Jovan baru saja duduk. Jovan menurut, dia mengambil lembaran kertas dari tangan Bu Clara, Jovan memperhatikan dengan seksama, ternyata itu adalah kertas hasil print yang berisi berita-berita mengenai kejadian tempo hari. Jovan membaca dengan seksama. Bu Clara sengaja ikut mencetak sampai kolom komentar untuk berita online. Perempuan itu tampaknya sengaja ingin membuat Jovan malu. Hampir semua berita itu menyudutkan Jovan, belum lagi komentar-komentar yang tercantum di bawahnya, dalam hati Jovan merasa sangat sedih, dia merasa sangat terhina.

"Ada yang mau kamu sampaikan?" tanya Bu Clara lagi setelah menunggu Jovan membaca beberapa lembar kertas di tangannya.

"Saya minta maaf" ucap Jovan, singkat, dia tidak bisa memberikan kalimat lain.

"Hanya itu?" tanya Bu Clara lagi. Jovan mengangguk. Bu Clara menarik napas panjang. Dia menatap Jovan lekat. Masih teringat dalam benak Bu Clara, saat dia pertama menemukan Jovan, anak kecil itu begitu menyenangkan, suaranya merdu, dia pribadi yang menyenangkan. Bu Clara juga tahu masa lalu Jovan, keluarganya bukan keluarga harmonis, Ibu Jovan meninggalkan Jovan untuk lelaki lain, sedangkan Ayahnya dan Jovan terpaksa mengamen kesana kemari untuk menyambung hidup. Bu Clara yang mengubah hidup Jovan, karirnya sukses, Jovan bisa seperti sekarang karena campur tangan Bu Clara.

"Iya, sekali lagi saya minta maaf" ucap Jovan lagi. Sedikit menundukkan pandangannya.

"Apa karena ibu kamu?" tanya Bu Clara tiba-tiba. Jovan menaikkan kepalanya, dia tidak suka mendengar apapun yang berkaitan dengan ibunya.

"Saya maafkan kamu, tapi hanya kali ini" ucap Bu Clara lagi.

"Apa Bram baik-baik saja?" tanya Jovan, dia masih merasa khawatir dengan nasib Bram. Bu Clara menaikkan sudut bibirnya, menatap Jovan dengan heran. Karirnya sudah diujung tanduk, tapi dia masih memikirkan orang lain, batin Bu Clara.

"Bram sudah pergi, mulai sekarang, tim kamu berubah" jawab Bu Clara.

"Apa dia baik-baik saja?" ulang Jovan lagi. Kali ini Bu Clara tidak menjawab, dia justru tertawa. Dia mentertawakan kebodohan artisnya itu. Entah naif atau bodoh, Clara bahkan tidak bisa memilih, bagaimana bisa Jovan tidak menyadarinya.

"Ada apa?" tanya Jovan, semakin bingung.

"Rekaman itu, Bram yang menyebarkan, selama ini kamu dibodohi orang itu" jawab Bu Clara. Jovan terdiam, dia terkejut dan tidak ingin mempercayai ini.

"Bram sudah akui semua, dia tidak kita tuntut, sebagai gantinya, Bram sudah berjanji kalau dia tidak akan ganggu kehidupan kamu lagi dan dia yang akan buat klarifikasi mengenai ini." jelas Bu Clara. Jovan tidak bersuara.

"Yang cukup kamu lakukan hanya diam di rumah dan bersiap-siap untuk album kamu selanjutnya, OK?" lanjut Bu Clara lagi. Jovan rasanya belum mau mempercayai semua ini, bukankah selama ini Bram dengan tulus mencintai dirinya, batin Jovan dalam hati.

"Apa alasan dia sebarkan video itu? Apa Ibu ada bukti?" tanya Jovan tiba-tiba. Clara langsung mengiyakan.

"Apa saya pernah berlaku tanpa bukti?" Clara balik bertanya. Jovan terdiam, memang yang dikatakan Bu Clara benar, wanita itu tidak pernah main-main dalam menjatuhkan tuduhan, semua pasti sudah dia pikir matang-matang.

"Tentu saja ini masalah uang, dia bergabung dalam komunitas gay khusus, komunitas mereka itu memang sering mencari mangsa baru, seperti kamu ini. Kamu harus berobat, ini bisa disembuhkan" ucap Bu Clara. Dia prihatin sekali dengan keadaan Jovan, mengurus karir Jovan sejak anak-anak sampai berusia 30 tahun, sudah pasti membuat Ibu Clara memiliki ikatan batin khusus dengan Jovan, dia melihat perubahan Jovan setiap detilnya.

"Saya sudah berulang kali ke psikiater, tapi hasilnya percuma" jelas Jovan pelan. Akhirnya dia mengaku dengan jujur.

"Lingkungan kamu juga harus berubah, bukan hanya berobat tapi semua harus berubah," jelas Bu Clara.

"Iya Bu" balas Jovan dengan patuh, sejujurnya dia juga ingin berubah. Menyembunyikan hal ini membuat dia sedikit gila selama 3 tahun belakangan ini.

"Mulai sekarang semua staf kamu akan saya seleksi, tidak ada lagi orang seperti Bram. Karen yang akan jadi manajer baru kamu, pulang ke apartemen dan renungi kesalahan kamu, jangan buat status apapun di media sosial sampai saat yang tepat, atau lebih baik jangan melihat apapun di internet. Yang tadi adalah hal terakhir yang kamu baca, oke?" perinta Bu Clara, mengambil semua lembaran kertas yang sebelumnya dia berikan kepada Jovan.

________

Selamat pagi, up baru

semoga suka

jangan lupa dukungannya di tunggu ya

happy reading

avataravatar
Next chapter