webnovel

Bab 1

Sunyi kembali merambat perlahan

Melamunkan kebodohan yang tertulis dengan tinta hitam

Mengapa jiwa yang telah tercuri tak juga kembali

Mengapa hati yang retak tertawan oleh jauhnya jarak

Kisah air dan api mengguncang sudut-sudut mimpi

Teungteuingeun adalah kata yang tepat

Bagi terlukanya pedih hingga terbawa angin barat

Gunung Raung. Arya Dahana memapah Dyah Puspita menuju tepian sungai Kalisat. Luka dalam di bahunya masih tidak memungkinkan gadis itu banyak bergerak. Luka akibat pukulan sakti Datuk Rajo Bumi benar-benar dahsyat. Perlu beberapa hari bagi Dyah Puspita untuk bisa bangun dari terbaringnya. Selama itu pula Arya Dahana dengan telaten merawatnya. Menyuapinya saat makan, membersihkan tubuh dan wajahnya menggunakan air hangat, mencuci pakaiannya dan banyak hal lagi. Masalah makanan bukanlah masalah. Arya Dahana sangat pandai mencari ikan dan Sima Lodra selalu saja pintar membawakan binatang buruan.

Proses penyembuhan luka dalam Dyah Puspita memerlukan waktu cukup lama. Mereka sudah sepakat bahwa tujuan perjalanan kali ini adalah Gunung Merapi. Satu-satunya tempat Arya Dahana bisa menyembuhkan diri. Mereka juga sepakat untuk selalu melalui tempat-tempat sepi yang tidak banyak dilalui orang. Sudah tersiar kabar yang berhembus kencang bahwa Dyah Puspita kembali ditetapkan menjadi buronan oleh Kerajaan Majapahit. Hal yang cukup mengejutkan mengingat Argani dan Aswangga yang biasa menjadi biang kerok telah tewas dalam pertempuran besar dengan Blambangan. Bahkan kabar terakhir menyebutkan Majapahit mengirimkan pasukan khusus untuk menangkap Dyah Puspita. Pasukan khusus yang lagi-lagi kabarnya dipimpin oleh Maesa Amuk.

Beberapa hari dilewati oleh sepasang muda-mudi dan Sima Lodra di lereng Gunung Raung. Dyah Puspita semakin pulih dari luka dalamnya. Untuk mengisi waktu kosong, Dyah Puspita dan Arya Dahana berlatih bersama menyempurnakan ilmu pukulan Geni Sewindu. Buku kecil warisan Arya Prabu dibuka kembali dengan lebih teliti. Ternyata ada satu hal yang selama ini mereka lewati. Buku itu mengatakan bahwa Geni Sewindu adalah ilmu yang bersumber dari kekuatan api tingkat tertinggi di dunia ini. Bisa dikuasai dengan sempurna jika hawa murni di dalam tubuh sudah mencapai tingkat tinggi. Hal itu bisa ditandai dengan diselubunginya seluruh tubuh oleh pijaran api berwarna putih perak seperti sinar matahari. Tingkatan di bawahnya jika api yang menyelubungi berwarna kebiruan. Dan tingkatan terendah adalah jika api yang yang menyelubungi masih berupa api yang menyala-nyala kemerahan.

Untuk mencapai tingkatan hawa murni hingga mencapai tingkat tertinggi Geni Sewindu, perlu latihan selama puluhan tahun atau menelan mustika naga api atau mendapatkan limpahan hawa murni dari seseorang yang mempunyai tingkat tertinggi ilmu api. Di dunia persilatan, unsur-unsur dasar dalam setiap ilmu kanuragan ada tiga macam. Air, Api dan Udara. Dilengkapi juga dengan unsur tambahan Tanah, Kayu dan Besi.

Di dalam buku kecil itu diceritakan belum ada seorangpun tokoh yang selama ini bisa menguasai lebih dari 1 unsur dengan sempurna. Kecuali Si Bungkuk Misteri yang mampu menguasai 2 unsur dengan sempurna, yaitu air dan udara dan 1 unsur mendekati sempurna yaitu api. Dulu pada saat jaman sebelum Si Bungkuk Misteri muncul di dunia persilatan, ada 2 orang tokoh luar biasa sakti yang sanggup menguasai 3 unsur utama itu dengan sempurna. Ajaibnya, dua tokoh itu adalah kakak beradik namun berbeda aliran. Sang kakak bernama Ki Bisma dengan julukan Amurti Arundaya yang berarti bayangan matahari terbit. Seorang tokoh yang menganut paham keadilan dan kebenaran. Sedangkan sang adik bernama Ki Batara dengan julukan Danu Cayapata yang berarti busur gugusan bintang. Seorang tokoh aneh yang tidak peduli pada apapun aliran di dunia ini. Tokoh ini hanya peduli pada apa yang dipercayainya. Oleh karena itu sifatnya berubah-ubah. Kadangkala membela kebenaran, kadang juga memusuhinya.

Amurti Arundaya mempunyai sebuah ilmu pukulan istimewa yang dinamakan pukulan Bayangan Matahari. Pukulan yang sanggup meluluhkan besi dan baja karena kekuatan panasnya yang melebihi panas lava letusan gunung berapi. Danu Cayapata juga mempunyai sebuah ilmu pukulan ajaib yang diberi nama pukulan Busur Bintang. Pukulan yang bisa membekukan api yang berkobar-kobar sekalipun. Saat kedua tokoh itu seolah-olah lenyap dari dunia persilatan, muncullah Si Bungkuk Misteri. Tokoh ajaib yang hingga kini masih hidup namun tidak diketahui keberadaannya. Demikian akhir tambahan penjelasan di dalam buku kecil itu.

Dyah Puspita berdiskusi dengan Arya Dahana mengenai banyak hal. Kehidupan sehari-hari sepasang muda-mudi ini benar-benar penuh warna. Diisi dengan latihan, bercanda, mencari hal-hal baru di alam sekitar, hingga mengusili Sima Lodra. Dyah Puspita mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam menguasai ajian Geni Sewindu. Pada dasarnya Dyah Puspita sudah memiliki ilmu pukulan Braja Musti yang juga menumpukan pukulan pada hawa panas. Hal yang memudahkan baginya untuk lebih cepat menguasai ajian Geni Sewindu.

Pagi ini, Dyah Puspita dan Arya Dahana berlatih ilmu Geni Sewindu di sungai Kalisat. Keduanya berendam dalam air setinggi leher. Keduanya memejamkan mata sambil meneduhkan segenap hati. Mengalirkan hawa murni dari pusar menuju ulu hati. Memutarnya perlahan mengitari seluruh aliran darah. Setelah semua hawa terasa di seluruh tubuh, terjadilah perubahan di tubuh keduanya. Api menyala-nyala menyelubungi tubuh Dyah Puspita. Air mendesis di sekeliling tubuhnya. Bahkan perlahan-lahan mendidih seperti direbus. Di sisi lain, Arya Dahana diselimuti oleh api berwarna kebiruan. Air di sekelilingnya tidak hanya mendidih, namun menguap menciptakan asap dan kabut yang terangkat ke langit.

Selama beberapa saat, keduanya terpaku dalam hening. Menikmati setiap tetes keringat yang akhirnya mengaliri seluruh wajah dan tubuh. Matahari sudah merambat naik di atas kepala. Sima Lodra yang sedang berjemur di pinggir sungai tiba-tiba melompat tinggi dan mengaum sekencang-kencangnya. Hutan seperti bergetar terkena getaran auman itu. Dyah Puspita dan Arya Dahana tersentak kaget. Ini bukan auman biasa. Keduanya menghentikan latihan dan melompat ke pinggir sungai.

Sima Lodra tetap meraung-raung penuh amarah. Matanya tertuju pada suatu titik di kedalaman hutan. Seolah-olah ada ancaman mengerikan yang sedang mengintip mereka dari sana dan harimau itu sedang berusaha mengusir dengan aumannya yang garang. Dyah Puspita dan Arya Dahana semakin waspada. Jika sampai Sima Lodra merasa terancam seperti ini, tak pelak lagi pasti ada sesuatu yang menakutkan di dalam sana.

Arya Dahana sudah akan menggerakkan tubuhnya menyelidiki. Namun Dyah Puspita memegang lengannya menyuruh berhenti sambil memberi isyarat gerakan ke arah telinga. Pemuda itu mengangguk lalu menajamkan pendengarannya. Terdengar desir halus yang semakin lama semakin keras. Menuju arah mereka berada. Dan sesuatu yang ditakuti Sima Lodra itu sekarang ada di hadapan mereka. Seekor ular raksasa mendesis-desis memamerkan taringnya yang besar dan tajam. Tubuh ular itu benar-benar luar biasa. Sebesar pohon kelapa paling besar yang pernah ada. Lidahnya menjulur-julur merah mengerikan. Matanya mengancam saat menatap Dyah Puspita dan Arya Dahana. Sama sekali mengacuhkan Sima Lodra. Arya Dahana maju ke depan Dyah Puspita menghadapi langsung ular raksasa itu. Ular itu mengangkat lehernya karena merasa ada tantangan dari orang di depannya. Setelah lehernya diangkat, ular itu terlihat makin mengerikan. Tingginya menjadi 3 kali lipat tinggi tubuh Arya Dahana. Sisik-sisik di tubuhnya seperti rangkaian tameng baja. Awalnya Arya Dahana masih menganggap ular itu adalah ular hasil sihir atau jadi-jadian. Namun ternyata setelah dilihat dari dekat sama sekali bukan. Ini ular betulan! Arya Dahana agak memundurkan tubuhnya dengan melangkah ke belakang sambil mendorong Dyah Puspita menjauh. Sima Lodra melompat di samping Arya Dahana. Namun pemuda itu menyuruh si harimau pergi juga. Sima Lodra dengan enggan tapi patuh pergi dari tempatnya.

Arya Dahana bersiaga penuh. Ini ular betulan! Sangat berbahaya dalam ukuran seperti itu. Mungkin dia bisa melawan dengan kekuatan apinya. Namun sepertinya butuh waktu yang lama untuk menaklukkannya. Arya Dahana bersiaga penuh. Tubuhnya yang masih hangat karena berlatih sepagian mulai memancarkan cahaya redup kebiruan. Tanda Geni Sewindu siap kapan saja dipergunakan. Sang ular raksasa sepertinya sedang marah atau kelaparan. Lehernya yang tegak dan mengembang kemudian mengayun ke depan dengan mulut terbuka lebar. Semprotan cairan kental berwarna kehijauan terlontar dengan kencang ke arah Arya Dahana.

Sial! Ular raksasa ini ternyata punya bisa juga. Pikir Arya Dahana kalut sambil melompat menghindari terjangan racun mematikan itu. Karena kaget dan tergesa-gesa, ujung lengan baju Arya Dahana terkena semprotan racun itu. Terdengar suara seperti daun terbakar saat kain baju itu terbakar hangus seketika. Kali ini yang kaget adalah Dyah Puspita. Gadis cantik itu melihat asap mengepul dari lengan Arya Dahana dan menyangka pemuda itu terluka. Tanpa aba-aba lagi Dyah Puspita mengayunkan tangannya mengeluarkan pukulan Geni Sewindu ke tubuh ular raksasa itu. Meski sang ular tersentak kaget, pukulan itu ternyata tidak terlalu berpengaruh. Desisnya makin kencang pertanda amarah telah menguasainya. Ekornya yang besar dan panjang berkelebat ke arah Dyah Puspita. Gadis itu melompat jauh ke belakang menghindar. Pukulan ekor itu menghantam sebatang pohon besar yang bergeratak tumbang tak sanggup menahan.

Arya Dahana mengirimkan pukulan bertubi-tubi menggunakan pukulan Geni Sewindu. Api biru berkilatan menghantam tubuh ular raksasa itu. Ular itu tersentak-sentak menahan rasa kesakitan. Namun tubuh raksasanya tak mau begitu saja menjadi bulan-bulanan Arya Dahana. Ekor raksasanya dengan lincah mengibas-ibas menyerang Arya Dahana dan Dyah Puspita. Sementara dari mulutnya meluncur dengan deras bisa kehijauan yang sangat berbahaya mengarah kepada dua muda-mudi itu. Bahkan mulutnya yang sebesar pintu rumah menyambar-nyambar ganas mencoba menggigit dan menerkam Arya Dahana dan Dyah Puspita.

Pertarungan mengerikan itu berlangsung beberapa lama. Ular raksasa itu tidak mudah ditaklukkan. Sisiknya sangat keras dan kebal menahan pukulan-pukulan hebat Arya Dahana dan Dyah Puspita. Serangan dari ekor dan semburan bisanya semakin dahsyat. Sepasang muda-mudi ini masih sanggup melayani serangan-serangan itu. Namun sampai kapan?

Dyah Puspita jadi teringat pesan tertulis Arya Prabu. Mungkin seperti inilah nanti rasanya menghadapi Naga Merapi. Toh ini sama-sama ular besar. Sambil tetap menyerang dan menghindar, gadis ini coba mengingat ingat teka-teki yang sampai sekarang belum terpecahkan sedikitpun; tujuh belas langkah ke depan, delapan lompatan ke samping dan empat puluh lima jungkir balik bersamaan. Hmmm...mungkin aku perlu coba pada ular besar ini. Siapa tahu ini adalah petunjuk yang dikirimkan oleh Sanghyang Widhi.

"Arya...ambil sisi kiri! Aku di kanan!...ikuti aba abaku ya...."

Arya Dahana mengangguk meski terheran dengan apa yang akan dilakukan Dyah Puspita. Pemuda itu melompat ke sisi kiri ular. Dilihatnya Dyah Puspita sudah mengambil posisi di kanan.

"Arya...hitung tujuh belas langkah ke depan sambil hindari serangan!" Dyah Puspita memulai aba-abanya.

Pemuda itu menuruti apa yang diperintahkan Dyah Puspita. Sambil menghindari pukulan ganas ekor ular itu, dia menghitung langkah ke depan. Keduanya telah melangkah 17 kali ke depan. Posisi mereka sekarang berseberangan di perut ular raksasa itu.

"Arya...hitung delapan kali lompatan ke samping arah kepala!... ayo!" Dyah Puspita mengeluarkan aba aba lagi. Kembali pemuda itu mengikuti. Rupanya ular itu tidak bisa serta merta menggeser tubuhnya yang besar sehingga keduanya dengan cukup mudah melakukan lompatan tersebut. Arya Dahana dan Dyah Puspita tetap dalam posisi berseberangan namun kali ini sejajar dengan kepala ular. Ular itu tidak tinggal diam. Dua mangsanya ada di depan mata sekarang. Namun karena terlalu dekat, malah mempersulit ular itu melakukan serangan. Dyah Puspita berteriak kepada Arya Dahana," Arya...empat puluh lima kali jungkir balik! Sama sama ya....!"

Arya Dahana mengangguk, lalu dia sadar bahwa Dyah Puspita tak mungkin bisa melihat anggukannya karena terhalang tubuh besar ular itu," Berikan hitungan supaya sama Puspa..!"

Dyah Puspita menyahut," dalam hitungan tiga lakukan Arya!....satu....dua....tiga!"

Dua tubuh itu melesat ke atas dalam posisi jungkir balik berkali-kali. Tumpuannya adalah tubuh dan leher ular yang sedang marah itu. Ular itu makin bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Dua mangsa ini terlalu dekat. Tidak bisa disembur racun, disambar mulut maupun dikibas ekor. Arya Dahana dan Dyah Puspita menjadi lebih leluasa. Pada hitungan ke empat puluh lima mereka menghentikan jungkir baliknya dan sampailah mereka di....kepala ular.

Keduanya bertengger di kepala ular raksasa itu dengan ringan. Ular itu menjadi risih dan gelisah. Digerak-gerakkan kepalanya ke kanan kiri agar dua manusia itu terlempar. Namun tingkat meringankan tubuh sepasang muda mudi itu sudah sampai pada tingkat yang tinggi. Gerak dan goyangan kepala itu tidak mempengaruhi mereka untuk tetap di atas kepala sang ular.

Dyah Puspita berteriak gembira," Arya...inilah arti teka-teki itu! Kita berhasil memecahkannya!.."

"Apa yang harus kita lakukan sekarang Puspa?" Arya Dahana menyahut ikut gembira.

"Tinggalkan ular ini...dia sudah cukup berjasa memecahkan teka-teki rumit kita...ayo!"

Keduanya lalu melompat turun ke tanah dan memberi tanda Sima Lodra untuk segera meninggalkan tempat itu. Ketiganya melesat dengan cepat pergi ke arah barat. Meninggalkan ular raksasa itu yang sepertinya memang tidak berniat mengejar karena mungkin kelelahan atau berniat cari mangsa lain yang jauh lebih mudah ditangkap.

*

Next chapter