10 Pertemuan -1-

"Kamu sadar gak sih? Apa yang udah kamu lakukan Lani?" Ucap Rangga dengan kekecewaan teramat mendalam pada keputusan adiknya.

Rangga langsung bertolak ke Jakarta tanpa berpikir panjang lagi, ketika ia mengetahui kondisi dan keadaan keluarganya yang tidak kondusif. Mengetahui bahwa kedua orang tua mereka memutuskan untuk bercerai, bagi Rangga seharusnya hal itu tidak perlu terjadi.

Kedua orang tua mereka menatap antara mereka berdua. Saling diam, sedang bertanya-tanya pada diri sendiri. Siapa yang akan memulai untuk berbicara, Intan-kah atau Bayu?

"Rangga, ini semua bukan karena Lani, Ini adalah keputusan kami berdua. Bunda harap kamu bisa paham mengenai situasi bunda dan ayah saat ini." Intan memandangi putra pertamanya yang masih kesal.

Melani sudah tidak bisa menahan rasa kesalnya, Rangga kakaknya tidak setuju dengan keputusan Melani, ketika ia sudah memberi saran agar kedua orang mereka untuk bercerai. Dan terlebih lagi, kedua orang tua mereka setuju untuk melakukan hal tersebut.

"Memang apa yang Lani sudah lakukan?? Setidaknya Lani lebih banyak melakukan sesuatu yang berguna saat ini. Harusnya pertanyaan itu untuk Ka Rangga." Melani mulai angkat bicara.

Melani sudah lelah untuk berdebat, ia memutuskan untuk langsung saja beranjak pergi dan meninggalkan kakak dan kedua orangtuanya.

Siang tadi ia sudah tiba pulang lebih awal dari jadwal ujian akhirnya, dan melihat Rangga yang baru saja tiba dan tampak berbicara serius dengan kedua orangtuanya. Untung saja Fani belum kembali dari sekolahnya, sehingga tidak perlu banyak keributan yang akan dibuat lagi.

Melani sedikit membanting pintu kamarnya dengan cukup kesal, air matanya mulai menetes. Ia merasa sudah cukup tertekan dengan situasi keluarganya saat ini.

Sesuatu yang bergerak diatas tempat tidurnya, membuat Melani terperanjat dan ia bisa melihat Adit adiknya menatap dengan prihatin. Adit ternyata sudah lama berada dalam kamarnya, memperhatikannya.

("Adit?? Kok kamu ada disini? Maaf kakak buat kamu kaget ya?")

Adit turun dari tempat tidurnya, dan langsung saja memeluk Melani dengan amat erat.

("Kakak jangan sedih, Adit harus apa supaya kakak enggak sedih lagi?"

Melani mengusap rambut Adit dengan penuh sayang, mencium kening nya dan membalas pelukan adiknya. Lagi-lagi air mata itu terus saja keluar, biarkanlah pikirnya saat itu.

Biarkan adiknya mengetahui betapa rapuhnya dia saat ini, Biarkan saja? Kalimat itu terus berputar-putar di benaknya. Biarkan saja, karena Melani terlalu lelah untuk selalu menjadi kuat.

***

"Ssst... sstt... Lani..."

Melani baru saja keluar dari kelasnya, usai mengerjakan ujian di hari terakhirnya. Seorang siswa yang ia kenal berjalan mendekatinya. Sang ketua kelas Kenzo, tersenyum dengan lebar dan bersikap amat canggung saat Melani menghentikan langkahnya.

"Ya.. Kenapa Ken?"

"Eee...mmm.... sudah satu minggu ini kamu masih belum kasi jawaban." Ucap Kenzo malu-malu, pipinya yang putih tiba-tiba merona merah.

"Jawaban? Memang kamu kasi aku soal? Tugas? Atau apa?" Tanya Melani bingung, dan Kenzo semakin bertingkah aneh dengan mengaruk kepalanya sendiri.

"Kamu udah baca surat dari aku kan. Lani?"

"Surat...? Ooo surat itu.. ya aku sudah baca suratnya. Tapi memang ada pertanyaan apa di surat itu? Setau aku isi surat itu adalah soal bagaimana kamu menggambarkan perasaanmu...mm...mm..."

Kenzo langsung menutup mulut Lani, sedikit panik karena suara Melani cukup nyaring. Lorong sekolah mulai dipenuhi dengan siswa dan siswi yang mulai keluar dari kelas.

Melani yang kesal menarik paksa tangan Kenzo, "Kenzo!! Apa-apaan sih! OK kalau kamu mau dengar." Ucap Melani ketus dan tatapannya menatap lurus kearah pria itu.

"Pertama, surat kamu itu tidak jelas maksud dan tujuannya. Kalau kamu memang suka dengan seseorang... katakan aja langsung, terus disurat itu enggak ada tulisan kalau kamu mau nembak aku." Melani mencoba mengingat-ingat, dan memang benar tidak ada kalimat Kenzo akan menembaknya.

"Jadi kenapa seakan-akan kalau kamu udah nembak aku ya?"

Melani tau ucapannya sangat kasar pada Kenzo, tapi memang situasi yang tidak tepat ini sudah membuat kepalanya runyam.

Ponsel Melani bergetar lemah di tas kecil yang selalu ia bawa, ia mengambil ponselnya dan melihat sebuah pesan masuk. Nama Weni terpampang pada layar tersebut.

"Maaf ya Ken, aku lagi buru-buru."

Belum ada satu patah kata yang keluar dari mulut Kenzo untuk memberikan penjelasan, atau mencoba mengulangi pernyataan cintanya. Tapi Melani sudah dengan cepat meninggalkannya, Kenzo hanya bisa menatapi punggung Melani yang semakin lama semakin menjauh.

New Message from Weni.

Sore ini jam empat, jangan lupa di cafe XXX.

***

Melani sudah mempersiapkan dirinya hari itu, dengan alasan menghadiri perayaan ulang tahun salah satu temannya. Ia terpaksa harus berbohong pada ayahnya sendiir, Bayu akhirnya mengijinkan putrinya untuk keluar pada sabtu malam tersebut dengan segala peraturan yang ia lontarkan pada putrinya.

Penampilan Melani terlihat santai dan amat biasa, rambutnya yang berombak hingga sebahu ia biarkan terurai. Melani mengenakan celana kulot pendek berwarna hitam, dipadupadankan dengan kaos putih berlengan pendek. Sebuah gambar patung liberty, terlukis pada bagian dadanya.

Melani sudah tiba di sebuah cafe kecil, yang menyediakan berbagai aneka kopi dan beberapa cemilan ringan sebagai pelengkap.

Ia melirik ke arah jam tangannya, waktu sudah menunjukkan hampir setengah lima sore. Tapi belum ada tanda-tanda kemunculan seseorang yang sedang ia tunggu.

Berkali-kali Melani menatap ke arag pintu masuk cafe, ketika melihat seorang laki-laki yang baru saja tiba. Dan kembali kecewa, ketika laki-laki itu berlalu melewati mejanya.

"Hmm..." Gumam Melani, sudah mulai kehilangan kesabarannya. Menggertakkan giginya, dan mulai memainkan sedotan minumannya, mengetuk-ngetuk mejanya dengan jari jemarinya yang kecil.

Melani mengambil tas punggung kecil yang ia letakkan disampingnya, dan mengambil ponselnya segera. Sepertinya ia harus memberi kabar pada Weni, kalau pria itu tidak akan datang untuk menemuinya.

"Weni ya..."

Ucap seseorang membuatnya menghentikan jari-jarinya yang sibuk mengetikkan pesan. Melani langsung menatap pria tersebut.

"Ya.. Kamu...?" Melani mulai mengamati pria tersebut, merasa tidak asing dengan wajah yang sedang ia tatap dengan amat serius.

"Aku Axelle, Kamu....Weni kan..." Ucap pria itu meyakinkan.

"Ya.. benar aku Weni.." Jawab Melani, walau pikirannya masih saja terus mengingat-ingat suatu hal. Pria itu benar-benar tampak tidak asing, padahal ini adalah pertemuan pertama mereka.

avataravatar
Next chapter