webnovel

Inikah Keluarga??.

Melani sudah duduk di bangku SMA kelas dua, dan Fani yang berbeda dua tahun juga sudah menginjak SMP kelas tiga.

Kakak adik tersebut tumbuh menjadi dewasa, sayangnya kondisi telah memutarbalikkan keadaan.

Melani tentunya sudah tidak bisa memantau adiknya yang sudah berbeda sekolah dengannya, Melani merasa ia dan Fani semakin menjauh. Tidak ada canda dan tawa antara mereka berdua, yang ada hanyalah sebuah perang dingin ataupun pertengkaran kecil antara dua kakak adik tersebut.

Rangga sudah masuk ke sebuah universitas ternama di Yogya, tentunya ia sudah tidak tinggal satu atap dengan mereka. Komunikasi pun lebih jarang lagi di lakukan, pulang ke rumahpun sebulan sekali. Itu pun bisa dihitung dengan jari, berapa lama ia akan menginap di rumahnya sendiri.

Adit adik laki-lakinya yang kecil, bukan lagi seorang balita. Kejadian tragis yang menimpa dirinya beberapa tahun lalu, telah menghilangkan pendengarannya. Ia tumbuh menjadi seorang tunarungu, dan sedang bersekolah di sekolah berkebutuhan khusus.

Kondisi ayah dan ibu mereka juga tidak lebih baik, masing-masing hanya seperti seorang aktris dan aktor yang memainkan peran mereka masing-masing.

Melani sudah menyiapkan segelas teh panas yang ia letakkan di atas meja makan, karena ia tahu ibunya sebentar lagi akan pulang. Dan benar saja, tidak lama sore itu Intan sudah pulang dan terlihat sangat lelah.

Bayu sedang berada di ruang TV, hanya terdiam membisu melihat istrinya yang baru saja tiba. Entah sejak kapan mereka berdua sudah jarang berbicara, tapi Melani pun sudah terbiasa dengan semua pemandangan sehari-harinya.

Melani sedang merapikan beberapa barang dagangan yang baru dibeli ayahnya, tiba-tiba ibunya memanggil dari dalam rumah.

"Ya Bunda?" Tanya Melani

"Lani, tolong bilang sama ayah kamu. Kakak kamu Rangga minta di transfer lagi untuk uang semesternya. Tolong bilang sana! bunda mau istirahat dulu." Ucap Intan tanpa memberi kesempatan Melani untuk menjawab perintah ibunya.

Intan sudah masuk kedalam kamarnya, dan mengunci rapat kamarnya. Melani kembali menatap dengan tatapan dingin, dan hanya bisa memendam sebuah rasa dalam hatinya.

Sudah sangat jarang Intan dan Bayu tidak pernah bertegur sapa secara langsung, Melani lah yang menjadi perantara antara kedua orang tua mereka.

Jangankan bertegur sapa, Melani juga sadar bahwa kedua orang tua mereka tidak pernah lagi tidur dalam satu kamar yang sama. Bayu seringkali tidur di sofa, atau tidur bersama dengan adit.

"Yah.. kata Bunda, Ka Rangga..."

"Iyaa... ayah dengar... suara bundamu tadi jelas banget dikuping ayah." Jawab Bayu.

Melani kembali menghela nafasnya, karena kondisi saat ini lebih parah.

Jika dulu orangtuanya kerap bertengkar dan beradu mulut. Bahkan peralatan rumah tangga menjadi hancur, membuat rumah mereka ramai dan bising.

Kali ini berbeda jauh, rumah mereka menjadi sunyi bahkan terlalu sunyi. Sampai Melani mengira, tidak ada satu orang yang tinggal di rumah tersebut.

Melani tidak suka menangis, apalagi mengeluarkan air mata hingga berlinang. Ia lebih suka memendamnya, walau ia tahu memendam itu lebih berbahaya. Ibaratkan sebuah bom waktu yang siap meledak kapanpun.

("Apa kamu mau makan sekarang?") Tanya Melani dengan bahasa isyarat pada Adit, yang sedang mengerjakan pekerjaan rumah di dalam kamarnya. ("Aku belum terlalu lapar kak, tapi apa boleh aku meminta segelas susu hangat?")

Melani pun tersenyum, dan mengiyakan permintaan adiknya. Adit, adik laki-lakinya yang paling kecil, tapi ia lebih bersikap dewasa dari umurnya yang baru menginjak tujuh tahun.

Dengan kekurangannya, Adit jarang mengeluh dan pantang menyerah. Itu yang membuat Melani sangat menyayanginya.

Melani sedang mempersiapkan makan malam, ia seringkali melihat jam dinding. Dan memikirkan Fani adik perempuannya, yang belum pulang dari sekolahnya.

Adit membantu Melani menyiapkan peralatan piring, dan seringkali Melani mengajak adiknya untuk bersendau gurau untuk membuat situasi di rumah tersebut menjadi nyaman.

"Bunda.." Panggil Melani seraya mengetuk pintu kamar ibunya, "Makan malam sudah siap." Ucap Melani, dan tidak ada suara jawaban dari ibunya. Melani juga sudah terbiasa dengan hal tersebut, Bukan Intan tidak mau membantu menyiapkan makan malam, ia juga suka membantu walaupun jarang.

Tapi ini semua karena Melani sendiri yang meminta ibunya, untuk mempercayakan kepadanya dalam hal menyiapkan sarapan, dan makan malam. Karena Melani tahu, ibunya akan kerap sekali emosi, jika terlalu lama berhadapan dengan ayahnya.

Daripada memperlihatkan pertengkaran hebat, Melani justru ingin menghindarinya dan mengurangi masalah yang sudah banyak di keluarga mereka saat ini.

Seluruh anggota keluarga sudah berkumpul di meja makan, kecuali Fani yang masih saja belum tiba. Intan dan Bayu menikmati makan malam dalam kesunyian mereka. Intan hanya melirik ke arah Adit, dan sesekali mengajaknya untuk mengobrol.

("Bagaimana dengan sekolahmu?"). Tanya Intan sambil menyeka butiran nasi yang tertinggal di dagu Adit. ("Aku senang dengan sekolah, Bunda. Adit memiliki banyak teman, ibu gurunya juga cantik dan baik.")

("Wah.. anak bunda sudah mulai genit ya."). Jawab Intan, ("Katakan pada bunda, jika ada yang ganggu kamu ya."). Adit pun mengangguk dengan tersenyum, dan memperlihatkan gigi kelincinya.

Pintu rumah terdengar terbuka, Fani baru saja pulang dan ia masih mengenakan seragam sekolahnya. Bayu menatap kesal ke arah Fani, sepertinya sudah mau meluapkan amarahnya.

"Fani!! Kamu kemana saja? Jam segini baru pulang?" Bayu sudah mulai menegur, masih terus menahan emosi, dan memberikan tatapan seram ke arah putrinya.

"Ada tugas kelompok." Jawab Fani singkat,

"Fani, ayo makan dulu." Ucap Melani, tapi adiknya malah menatap kesal ke arah kakaknya. "Sudah makan tadi di tempat Ara, sudah kenyang."

Tanpa basa basi, Fani langsung saja pergi dan masuk ke dalam kamarnya. Terdengar suara pintu kamar yang dibanting. Bayu sudah tidak tahan, dan menggebrak mejanya. Adit menatap dengan takut dan Intan menunjukkan wajah cemas.

Intan pun berdeham, dan melotot ke arah suaminya. Bayu memandang wajah Adit yang takut, ia langsung mengendurkan semua otot-ototnya yang menegang. Ia tidak ingin Adit menjadi trauma kembali, karena kesalahan mereka beberapa tahun lalu.

"Ayah, biar nanti Lani yang bicara sama Fani." Melani mencoba memberikan saran, dan Bayu pun mendengus kesal dan mulai menghabiskan makan malamnya.

Makan malam keluarga akhirnya berlalu dengan cepat, Intan sudah berada dalam kamarnya bersama Adit yang ia ajak untuk tidur bersamanya. Sedangkan Bayu dan Melani merapikan warung kelontong mereka.

Setelahnya Melani pun bersiap-siap untuk istirahat dan masuk ke dalam kamarnya, ia sudah melihat adiknya Fani berada di atas tempat tidur dan memunggunginya. "Kakak tahu kok... kamu belum tidur." Ucap Melani yang duduk di sisi tempat tidur.

"Kakak gak tahu apa yang kamu pikirkan sekarang. Tapi kakak mohon, jangan buat masalah dengan kondisi keluarga kita sekarang ini."

Melani merebahkan tubuhnya yang juga sudah lelah seharian ini, kesunyian kembali melanda kamar tersebut. Padahal mata mereka masing-masing masih terjaga. Melani hanya menatap dinding yang berada di hadapannya, pikirannya sedang kosong saat itu.

Sedangkan Fani, matanya berkaca-kaca. Entah apa yang membuatnya menjadi merasa sedih, tapi ia terus menangis dalam kesunyian hingga ia lelah dan tertidur.

Melani tiba-tiba saja terbangun, tenggorokkanya amat kering dan ia merasakan haus. Ia melihat jam dinding di kamarnya, dan waktu sudah menunjukkan hampir sebelas malam.

Ia berjalan dengan hati-hati menghindari suara, agar tidak membangunkan Fani yang sudah tertidur pulas.

Baru saja kakinya ingin melangkah ke arah dapur, sayup-sayup ia bisa mendengar percakapan ibu dan ayahnya.

"Bayu asal kamu tahu, aku sudah tidak sanggup lagi hidup denganmu. Aku bertahan hanya untuk anak-anakku." Ucap Intan dengan sinis,

"Kamu tahu biaya kuliah Rangga sudah banyak menghabiskan sebagian besar gajiku. Belum lagi Adit, biaya sekolahnya sangat mahal. Dan APA YANG KAMU LAKUKAN?"

"Aku masih berusaha Intan, kamu saja yang tidak pernah bersabar." Jawab Bayu dengan datar,

"Berusaha kamu bilang? Harusnya kamu mencari pekerjaan lagi, bukan malah membuat warung kelontong kecil seperti itu!"

"Intan, kalau kamu ingin berdebat malam ini. Aku siap melakukannya, tapi kamu harus ingat bukan aku yang memulai semua ini?" Bayu sudah mulai kesal.

"Apa?? Aku benar-benar tidak percaya. Apa kamu tidak ingat apa yang terjadi dengan Adit, kalau saja kamu tidak bersikap kasar malam itu, adit tidak akan menjadi cacat..."

"INTAN CUKUP!!! Kenapa kamu membuat seakan-akan ini adalah semua salahku!!" Bayu memotong ucapan istrinya,

"Hhh... sudahlah aku sudah capek dengan kamu Bayu! Aku juga tidak tau, apakah Melani bisa masuk universitas atau tidak?"

"Jika kamu masih terus seperti ini entah berapa lama aku bisa bertahan, INGAT BAYU aku bukan robot. AKU JUGA ISTRIMU!! Yang selama ini juga membantu keuangan keluarga kita."

"KAU!!" Bayu masih mau membalas ucapan istrinya, tapi Istrinya sudah dengan cepat meninggalkan Bayu. Di saat yang bersamaan Intan berpas-pasan dengan Melani yang sudah menguping semua pembicaraan mereka.

"Lani?" Ucap Intan kaget dan khawatir, Melani hanya terdiam dan memberikan wajah tanpa ekspresinya kepada Intan. Kemudian membalikkan badannya, mengacuhkan ibunya dan masuk kembali ke kamar.

Intan hanya bisa mengepal tangannya dengan kesal, melihat putrinya memperlakukannya seperti itu. Ia pun sudah berlalu dan masuk kedalam kamar yang ia kunci rapat.

Melani melihat Fani masih tertidur pulas, matanya tiba-tiba tidak mengantuk. Ia duduk di bawah di sisi tempat tidurnya. Melani memeluk kedua kakinya, yang ia tekuk dengan rapat.

Kembali ia menatap dinding di depannya, ia ingin sekali menangis tapi kenyataannya ia hanya bisa diam dan termenung.

Semua kejadian demi kejadian, terlintas di pikirannya. Semakin ia memeluk erat kedua kakinya, ia tidak tahu harus berbuat apa? Apa selamanya ia hanya bisa menerima semua keadaan dengan pasrah.

Sesekali timbul pertanyaan egois dalam pikirannya, kenapa??

Kenapa ia harus terlahir dalam keluarga ini, kenapa ia harus menjadi Melani. Kenapa ia tidak menjadi orang lain saja?

Tapi tidak ada jawaban yang ia temukan dalam pikirannya, dan kembali ia memeluk erat kedua kakinya dan menatap dinding kamarnya dengan tatapan kosong.

Next chapter