webnovel

Akhiri Saja

Minggu pagi itu tampak sangat sepi, Fani dan Adit tidak berada dirumah. Melani memutuskan untuk membawa mereka menginap dirumah Tante Ria, adik dari Bayu –ayah mereka.

Sebelumnya di hari Sabtu malam, kejadian dimana mereka memergoki ibu mereka. Perseturuan tidak cukup selesai di restoran.

Sabtu malam, hawa rumah menjadi sangat panas. Bayu sudah mengetahui dan sudah lama curiga dengan tingkah laku istrinya.

Perdebetan pun tidak bisa dihindari, segala ungkapan, cacian, makian mereka dengar dengan jelas dari mulut orang tua mereka sendiri.

Hal inilah yang membuat Melani mengungsikan adik-adiknya. Setidaknya Melani hanya ingin menghindari pertikaian yang lebih besar lagi. Tapi tidak baik juga jika harus meninggalkan kedua orangtuanya tanpa ada orang lain disamping mereka.

Melani masih mengingat jelas kejadian terakhir di Sabtu malam itu, ketika orang tua mereka bertengkar dengan hebat. Melani sedang duduk menatap televisi yang tidak ia nyalakan.

Mendengar jelas perdebatan antara kedua orangtuanya di ruang makan, Melani menarik nafas dengan panjang ketika suara ayahnya terdengar semakin meninggi.

Ditambah suara ibunya yang tidak mau kalah untuk membalas.

Melani meremas-remas jari jemarinya, ada perasaan tidak nyaman yang ia rasakan. Suara ayahnya kembali terdengar, kali ini lebih kencang bahkan terdengar suara nyaring barang yang terhantam di atas lantai.

Tidak lama, Ayahnya pun keluar dengan wajah yang sangat kesal. Melani menatapi ayahnya dengan wajah dingin dan datar. Bayu baru saja membuka mulutnya, tapi tidak lama ia tutup kembali mulutnya dengan rapat.

Berjalan cepat melewati Melani, tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun.

BAMMMmmmm.....

Terdengar suara pintu depan dibanting dengan keras, Bayu sudah benar-benar keluar dari rumah. Mungkin dia sedang ingin mendinginkan kepalanya yang sangat panas saat ini.

Melani berjalan ke arah ruang makan, ia melihat ibunya sedang menunduk memunguti pecahan gelas yang berantakan. Intan yang sadar dengan kehadiran Melani, menyeka cepat air mata di pelupuknya menggunakan punggung tangannya.

"Lani? Kemari sayang?" Bujuk Intan dengan wajah yang sudah berubah dengan manis.

Melani hanya terdiam, melihat bujukan ibunya.

Jujur saja dia pun merasa kesal dengan apa yang sudah dilakukan oleh ibunya sendiri. Tidak menyangka ibunya akan nekad untuk menjalin hubungan dengan seorang pria selain ayahnya.

"Biar Melani bantu bun." Ia ikut menunduk memunguti pecahan kaca yang berserakan di lantai. "Bunda duduk saja dulu."

Intan mencoba memberikan sebuah senyuman, walaupun air matanya masih saja terus mengalir. "Tidak apa-apa Lani, Ibu juga bisa kok bersihin semuanya."

"DUDUK!!"

Perintah Lani dengan suara lantang dan tegas, Intan langsung saja terkejut melihat putrinya yang menjadi tegas, tidak ada rasa iba yang diperlihatkan oleh Lani.

Intan menarik kursi, dan masih terdiam. Sesekali menyeka hingus dan airmatanya, sambil memperhatikan Melani yang merapikan pecahan beling.

Tidak lama Melani pun terlihat membuatkan secangkir teh hangat, dengan perlahan ia pun memberikan kepada ibunya, dan duduk bersebrangan dengan Intan.

"Diminum dulu bunda tehnya, biar bunda bisa sedikit lebih tenang. Ada yang mau Lani bicarakan dengan bunda." Ucap Melani. Dan Intan menatap putrinya dengan sedikit takjub, melani terlihat menunjukkan sikap kedewasaannya.

Sepertinya Intan lupa, selama ini ia tidak pernah begitu peduli dengan perkembangan Melani yang sudah banyak berubah.

Intan menyeruput teh hangatnya dengan hati-hati, setelahnya matanya kembali menatap Lani yang masih tajam menatap dirinya.

"Lani mau bicara apa dengan Bunda. Apa Lani akan bilang kalau sekarang Lani sangat kecewa dengan sikap Bunda."

"Enggak perlu Lani bicara seperti itu, Bunda pasti sudah tau kami semua pasti kecewa. Tapi bukan itu yang ingin Lani bicarakan dengan Bunda."

Intan menegakkan wajahnya, masih terdiam karena dia pun bingung harus berbicara apa dengan putrinya. Kembali Intan menatap cangkir tehnya.

"Berpisahlah dan akhiri saja..."

Intan kembali menegakkan wajahnya, dan terkejut dengan ucapan Melani yang tiba-tiba. Apakah dia salah mendengar, bahwa putrinya menyuruhnya untuk "Berpisah?"

"Ya Bunda, lebih baik bunda berpisah dengan ayah. Tidak ada gunanya kalian berdua bertahan, karena kalian akan sering melukai diri kalian masing-masing." Jawab Melani.

"Lani?? Apa kamu sadar dengan apa yang kamu ucapkan? Bagaimana bisa kamu meminta orangtuamu sendiri untuk bercerai? Apa kamu tau..."

"Bunda....!! Apa dengan kalian tetap mempertahankan hubungan kalian, situasi akan menjadi semakin membaik?? Tidak bukan?!" Melani menarik nafasnya, sebelum melanjutkan pembicaraannya.

"Kalau alasan ayah dan bunda, adalah kami. Maka... Lani mohon jangan bertahan karena kami. Karena kami juga tidak akan sanggup jika harus bertahan dengan kondisi seperti ini.!"

Intan menatap mata putrinya, mata Melani tampak yakin dan tidak ragu saat menberikan penjelasan kepada dirinya.

"Tapi kenapa Lani ?? apa kamu tidak akan sedih jika kami bercerai?" Tanya Intan lirih.

"Tidak.."

"Untuk apa kami bersedih, jika ini adalah solusi dari permasalahan kalian."

"Kalian terus bertengkar, saling diam, dan menganggap masing-masing dari diri kalian tidak ada dirumah ini. Kalian selalu berusaha menunjukkan keharmonisan keluarga ini. Tapi kenyataannya semua itu adalah kepalsuan. Buat apa kalian bertahan? Hanya demi kami anak-anak kalian?"

Mulut Intan semakin menjadi kaku mendengar Melani berbicara seperti itu, bukan karena ia takut pada putrinya. Tapi karena apa yang dikatakan Melani adalah benar.

"Apakah kalian tau, siapa yang menjadi korban sebenarnya? Bukan ayah, juga bukan bunda. Tapi kami – anak-anak kalian."

"Kalau memang dengan kalian berpisah, kalian bisa menemukan seseorang yang membuat kalian berharga. Dan kalian bisa menjadi orang tua yang lebih baik. Kenapa tidak untuk bercerai."

"Jujur Bunda, bukan berarti Melani tidak menghormati ayah dan bunda sebagai orang tua. Tapi selama ini Melani merasa bahwa ini bukanlah sebuah Keluarga." Melani mulai mengepal kedua tangannya yang berada di atas meja.

"Mungkin Bunda atau ayah merasa, bahwa kalianlah yang mengalami masa sulit selama bertahun-tahun ini. Tapi sebenarnya kalian lupa, bahwa kamilah yang lebih disulitkan melewati kondisi seperti ini."

"Lani.. maafkan bunda... Bunda bukanlah ibu yang baik selama ini." Intan mulai berlinang air mata, benar apa yang dikatakan Melani bahwa dia bukanlah orang tua yang baik.

"Jika memang pria tersebut, lebih baik dari ayah. Dan Bunda bisa janji bahwa ia bisa menerima Adit dan Fani. Melani akan setuju Bunda dengan pria tersebut." Lanjut Melani.

"Melani apa maksud kamu??" Intan yang bingung dengan pernyataan Melani, yang langsung menentukan siapa dengan siapa.

"Adit masih terlalu kecil bunda, lebih baik Adit tetap bersama Bunda. Tapi Lani juga gak mau tinggalin Adit sendiri saja, ada baiknya Fani ikut bersama bunda. Biarkan Melani yang disini bersama ayah."

"Sedangkan ka Rangga, ka Rangga sudah cukup dewasa. Berhak bebas memilih siapapun, mau dengan ayah ataupun Bunda."

"Lani, kenapa.... Kenapa kau bisa semudah ini berbicara mengenai...."

Intan mulai terbata-bata mengungkapkan perasaannya, karena masih tidak percaya Melani bisa memberikan penjelasan seperti pada ibunya sendiri.

"Berbicara mengenai perpisahan kalian, maksud Bunda?" Intan menganggun perlahan.

"Hhh.... (Menghela nafasnya dengan berat). Karena bukan hanya bunda atau ayah saja yang lelah dengan situasi ini. Kami pun sudah cukup lelah." Melani mulai bangkit dari kursinya.

"Beristirahatlah Bunda, nanti kalau ayah sudah kembali. Biar Melani yang berbicara. Dan Ka Rangga, Melani akan menghubunginya sekarang."

Melani dengan cepat membalikkan badannya, meninggalkan Intan yang masih duduk terdiam di ruang makan. Melani bisa dengan jelas mendengar isak tangis ibunya, walaupun ia sudah berada dalam kamarnya.

Melani merebahkan dirinya diatas kasur yang empuk, menatap atap putih kamarnya. Suasana rumah sunyi, terdengar hanyalah isak tangis ibunya.

"Fuhhh... Untung Fani dan Adit gak disini.." Ucap Melani lirih, dan tanpa ia sadari matanya mulai berkaca-kaca. Air matanya pun berlinang, Melani langsung saja menutup matanya dengan lengan kanannya.

Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak terlihat sedih. Pembicaraan ini, sudah ia pikirkan matang-matang di malam sebelumnya.

Dia tidak ingin orangtuanya kembali saling menyakiti, dan bertahan hanya karena anak-anak mereka. Karena Melani tau, semakin mereka mempertahankan semua ini. Semakin kondisi keluarga ini mejadi semakin hancur.

"Huhhhh....." Melani menarik nafasnya, bangkit dari tidurnya dan mengambil ponselnya. Membuka pesan dan mencari kontak kakak laki-lakinya.

Send to Ka Rangga.

Ka? Ada waktu senggang? Lani mau bicara. Soal mama dan papa.

hi semua... kenapa sih novel ini updatenya lamaa....

maaf beribu2 maaf.. masih ada novel lain yg sedang saya tulis. ini novel ke empat saya. yang pertama sudah completed... yang ke dua sudah 70bab lebih dehh kalau gak salah.. yg ke3 sy hiatuskan dulu karena genrenya Fantasi.. dan ini yg ke4.

sy usahakan untuk update tidak lama ya.

kalau senggang baca novel sy lainnya.

IHeartU, not a Cinder-Ella, legend of Yarkee..

once again... i'm sorry.. luv u❤️

Sita_ehcreators' thoughts
Next chapter