webnovel

Michele

Michele berdarah Tionghoa namun sudah puluhan tahun keluarganya menetap di sini dan menjadi warga negara Indonesia. Andini ingat, Papanya Michele tak menyetujui Michele menikah dengan teman kampusnya Danang yang hanya dari keluarga biasa saja. Namun Michele nekat tetap memilih Danang.

Andini kehilangan kontak dengan Michele selama beberapa tahun terakhir dan bertemu lagi di jejaring sosial, betapa senangnya Andini ketika mengetahui Michele baik-baik saja. Dan kini sahabatnya itu meminta bantuan kepada dirinya. Mengajukan proposal peminjaman di perusahaan Andini.

Michele sangat yakin, Andini bisa membantunya untuk meminjamkan modal di bank tempat Andini bekerja. Namun bukan karena merasa dekat dengan Andini, ia berani mengajukan proposal itu namun Michele yakin usahanya akan berhasil.

Andini mengakui Michele memang sudah terlahir dari keluarga pebisnis maka tak salah jika Michele memiliki darah dari sang ayah. Jiwa bisnis Michele tak bisa lepas dari sang ayah.

Setelah membaca proposal milik Michele, Andini semakin yakin sahabatnya itu memang serius menekuni bidang itu. Michele tengah menjalani usaha dalam bidang fashion, ia telah membuka tiga toko di tempat perbelanjaan di Jakarta. Dan kini usahanya itu tengah berkembang, Michele butuh dana untuk membuka toko barunya, berdasarkan permintaan pelanggan.

Ia menjual baju koleksi anak muda yang kini tengah menjadi trend, yah lagi-lagi Michele mengikuti pasar. Ia bekerja sama dengan salah satu teman kampusnya yang kini berada di Korea, dari temannya itu Michele mendapatkan model baju ter up-date di negeri Ginseng itu. Michele menjual pakaian-pakain remaja dengan dua segmen. Ada segmen untuk kalangan menengah ke atas dan segmen kalangan menengah kebawa. Dan kini usahanya itu tengah berkembang pesat.

Andini yakin Michele jika saja ia tak berseteru dengan sang ayah mungkin dengan sangat mudah mendapatkan bantuan dari sang ayah. Namun Michele ingin sekali membuktikan pada keluarganya terutama sang ayah, ia dapat melakukannya dengan usahanya sendiri.

"Oke, aku akan berusaha bantu yah," Andini tersenyum, Michele bangkit dan memeluk Andini dari samping.

"Makasih Andin."

"Tapi tetap aja, kamu harus ngikutin prosedur semuanya. Nanti kamu bisa ketemu sama salah satu Account Officer-aku, nanti kita atur deh jadwal ketemuannya."

"Andin, terima kasih banyak," Michele merapatkan pelukannya.

"Cukup-cukup.. aku belum melakukan apa-apa Michele," Andini menarik tubuh Michele. Michele tersenyum dan kembali ke tempat duduknya.

"Hey minumanmu mulai berembun dan nanti kamu kehilangan rasanya," Andini mengangkat gelas, Michele pun demikian. Mereka tersenyum bersama.

"Kamu beruntung Andin, di usiamu yang masih terbilang muda kamu udah jadi Kepala cabang Bank besar loh," Michele menyesap minumannya.

"Tapi kamu lebih beruntung, Michele ."Andini merendah.

"Andin, semua teman kita ngomongin kamu. Andini Prameswari, Kepala cabang cantik, muda dan memiliki karir yang cemerlang. Seluruh koran bisnis di Jakarta menulis itu dihampir setiap artikel financial."

"Tapi kamu lebih beruntung Michele, memiliki Danang yang sangat mencintaimu dan siapa nama putrimu yang cantik itu?"

"Kannaya.." Michele menjawab dengan cepat dan kali ini matanya berbinar-binar, terpancar kebahagiaan dan kebanggaan atas putri semata wayangnya.

"Bagaimana kabarnya?"

"Baik kini dia tengah asyik dengan hobby barunya, melukis. Yah seperti Papanya." Ekspresi wajah Michele terlihat bahagia.

Andini tersenyum menyesap lagi minuman yang sudah hampir habis itu, ia memandang ke sekeliling. Beberapa pengunjung telah meninggalkan cafe, dan ia pun menoleh ke arah sudut kanan, pria-pria asing tadi sudah tak ada di sana. Michele melihatnya, dan ketika Andini menatap Michele, wajahnya berubah merah. Michele menggodanya dengan bola matanya yang sipit kekiri kekanan. Andini tersenyum malu.

"Andini, bagaimana dengan dirimu?" tanya Michele penasaran, karena selama ini ia tak pernah mendengar tentang hubungan asmara sahabatnya itu. Andini hanya tersenyum, ia mengalihkam pandangan keluar jendela. Lengang, kini jalanan sudah kembali normal dan hujan berhenti menyisakan embun di kaca dan genangan air di sudut jalan depan restoran. Sesaat ia melihat si orange melintas dengan penuh sesak para penumpang. Andini melirik arloji di pergelangan tangannya, Sembilan kurang lima menit. Dan kembali menatap Michele.

"Hei, jangan bilang kamu... masih jomblo?" Michele masih terus berusaha bertanya tentang kehidupan asmara Andini.

"Kamu tahu enggak, aku enggak pernah benar-benar bisa mikirin hal itu dan sepertinya aku enggak sepintar kamu dalam hal asmara," Andini tersenyum, mengelak pertanyaan Michele. Dan kini pikirannya menjauh, pada sosok laki-laki bermata teduh, dan ia menepisnya dengan cepat.

Bersambung ...

Next chapter