webnovel

Ray

"Hari ini kalian punya teman baru, Namanya Rayyan Nugraha. Pindahan dari Jakarta," kata Pak Ammar sambil menepuk bahu Ray. "Ray ini pernah menang olimpiade matematika tingkat nasional looh. Keren banget kan?"

Pantas muka Pak Ammar berseri-seri kedatangan murid baru bernama Rayyan itu. Selama ini beliau nyaris depresi mengajar siswa kelas X A yang nyantainya kebangetan. Udah kelas sepuluh tapi masih banyak yang nggak paham beda pecahan dengan desimal. Apalagi membedakan integral dengan turunan. Butuh penjelasan panjang yang bikin Pak Ammar pusing ampun-ampunan. Terkadang Pak Ammar nggak habis pikir, anak-anak ini beneran lulus SD nggak sih? Kok bisa matematikanya pada jongkok.

"Panggil aja Ray," komentar cowok itu sambil mengedarkan tatapan mata elangnya menyapu seisi kelas. Jangan berharap Ray tampil sebagai murid baru yang sok malu-malu. Ray justru terlihat sangat percaya diri, bahkan nyaris terkesan angkuh.

"Oh," Adella mendekap dadanya dengan gaya lebay. "Tatapan tajammu menembus jantungku, Ray."

Seisi kelas langsung tertawa terpingkal-pingkal melihat aksi ikonik Adella sang Drama Queen.

"Jantungnya langsung bolong dong."

"Tumben nggak pake acara merosot pingsan ke lantai, Del," seorang teman malah menyindir sadis.

"Tembusnya kemana? Ke punggung? Hati-hati jadi sundel bolong ntar," timpal yang lain.

Adella nyengir. Pak Ammar cuma bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan muridnya yang unik itu.

"Ray silahkan duduk dibelakang ya, sebangku dengan Riana," perintah Pak Ammar. "Riana adalah juara di kelas ini. Sepertinya kalian akan cocok satu sama lain."

"Oh Noooo!," Adella kembali melolong. "Please, Ray duduk sebangku dengan saya aja deh Pak Ammar. Jangan dengan Riana. Please...."

Adella menangkupkan kedua tangannya di depan dada, matanya yang besar memancarkan permohonan yang amat sangat.

"Lah, Emily mau dikemanakan?," tanya Pak Ammar sambil garuk-garuk kepala. Tingkah laku Adella yang absurd sering membuatnya mendadak ketombean.

"Emily pindah aja ke sebelah Riana. Saya sama Ray," ujar Adella cengengesan. "Cerdas kan, Pak? Ayo Mil, kamu pindah gih sana!"

"Cerdas apaan? Moh," Emily melotot. "Enak aja! Lo aja yang pindah sono!"

"Lo ngalah dong Mil. Kasih teman lo ini kesempatan menemukan cinta sejati," ujar Adella setengah maksa.

"No way. Cinta sejati apaan. Paling juga bulan depan lo udah ganti gebetan."

"Isshhh...jangan buka kartu dong ah."

"Lo sih, lempeng banget mulutnya nyuruh gue pindah."

"Udah..udah," Pak Ammar menengahi. "Enji, kamu pindah ke sebelah Adella. Biar Emily duduk di depan bersama Ray."

"Looohhh, kok gitu Pak? Sebelah Enji kan Dika," protes Adella tak terima.

"Dika kan jarang masuk. Dika biar pindah sebelah Riana, biar ketularan rajin dia. Dah, dilarang protes. Silahkan duduk ditempat yang Bapak sebutkan," kata Pak Ammar tegas. Memang selain guru matematika, Pak Ammar yang berusia dua puluh delapan tahun itu juga merupakan wali kelas mereka.

Enji berbinar-binar karena diberi kesempatan duduk sebangku dengan Adella yang sudah lama ditaksirnya diam-diam. Sementara Adella pasang muka cemberut, nggak terima dengan keputusan Pak Ammar.

"Yaahhh, kecewa deh gue," keluhnya.

"Sudah, pe er silahkan dikumpul," perintah Pak Ammar setelah selesai membereskan masalah tempat duduk. " Yang pe ernya nggak selesai silahkan berbaris di depan."

Adella melangkah murung ke depan kelas. "Saya mau diapain Pak? Kalau hukumannya disuruh joget gaya tik-tik aja gimana?"

"Enak di kamu nggak enak di saya,' jawab Pak Ammar sambil memelototi Adella. Sebenarnya Pak Ammar mati-matian menahan tawa melihat gaya Adella yang kocak. Namun dia mesti tampil cool untuk menunjukkan wibawanya.

"Goyang itik aja sekalian, Del," celetuk seorang teman dengan usil.

"Goyang itik gimana?," tanya Adella penasaran. "Yang kayak goyangnya Saskia Gotik?"

"Sebelah kaki diangkat, trus lo diam deh sampai jam pelajaran selesai."

Seisi kelas kembali tertawa ngakak. Pak Ammar kembali geleng-geleng kepala dengan frustasi.

"Ish, nggak ada akhlak banget sih kalian," komentar Adella sambil menjulurkan lidah.

"Jadi yang ngga ngerjain pe er kali ini cuma Adella ya?," tanya Pak Ammar setelah memeriksa tumpukan buku pe er di mejanya.

"Saya bukannya nggak ngerjain Pak. Cuma belum selesai," protes Adella dengan gaya sok manja. "Dimaafin ya Pak?"

Dengan centil Adella meraih tangan Pak Ammar mengajak salim. Namun, Pak Ammar buru-buru mengibaskan tangannya menghindar.

"Dah, nggak pake salim-saliman. Nanti pulang sekolah kamu Bapak hukum bantuin Bapak bersihin kolam ikan ya."

"Widih!," Adella meringis. "Seriusan Pak?"

Pak Ammar tertawa. "Kamu milih bersihin kolam ikan apa kolam buaya?"

"Ya buaya lah Pak."

"Loh kok? Serius milih kolam buaya?"

"Ya serius dong Pak. Buayanya kan udah pindah ke darat. Jadi buaya darat deh," kata Adella sambil tertawa. Seisi kelas ikut tertawa, sementara Pak Ammar senyum-senyum mesem sambil geleng-geleng kepala.

"Adel..Adel. Kapokmu kapan sih, Nak? Ya sudah kamu sana duduk dulu, kita mau memulai pelajaran. Materi kita hari ini adalah trigonometri. Buka buku kalian bab sembilan. Sebelumnya Bapak mau kasih soal dulu, buat ngetes sejauh mana pengetahuan kalian."

Pak Ammar menuliskan sejumlah soal di papan. Kelas langsung kasak kusuk.

"Maaf Pak, kita kan belum belajar, kok udah dikasih soal?," protes Adella lagi.

"Kalau udah belajar, namanya post test. Gunanya untuk melihat apa kalian sudah menguasai materi yang Bapak ajar atau belum. Nah, kalau yang begini namanya pra test. Gunanya untuk mengetahui apakah kalian sudah mengetahui tentang materi ini sebelumnya. Kan minggu lalu dah Bapak suruh kalian baca materinya? Siapa suruh kamu punya kuping satu di kiri satu di kanan. Jadi nggak nangkap kan yang Bapak bilang? Dah lah, kamu protes mulu!"

"Lah, memang Bapak mau kuping saya di kanan dua-duanya?"

Adella kembali ke bangkunya sambil nyengir. Badannya dilenggang-lenggokkan seperti model, model baju ukuran jumbo sih tepatnya. Membuat teman-teman sekelasnya terkekeh.

Sekarang mau nggak mau dia duduk disebelah Enji. Tak lama kemudian, kelas itu senyap saat masing-masing murid mencoba mengerjakan soal yang diberikan Pak Ammar.

.

.

.

.

Sorenya....

Empat sekawan itu sudah berkumpul di Slow Rock Cafe langganan mereka. Emily dan Riana sudah sempat pulang untuk ganti baju. Sedangkan Adella dan Enji masih memakai seragam sekolah.

"Ish, Pak Ammar gemesin deh," gerutu Adella sambil meminum es cappucino cincau-nya dengan rakus. "Kirain gue bakal disuruh nguras kolam ikan di belakang sekolah. Nggak tahunya cuma disuruh bersihin aquarium."

"Ya syukur dong. Ketimbang nguras kolam beneran," ujar Riana sambil mengerjakan pe er trigonometri yang tadi ditugaskan oleh Pak Ammar.

"Masalahnya aquariumnya ada empat," kata Adella kesal. "Besar-besar lagi. Dua di ruangan kepala sekolah, satu di ruang guru, dan satu lagi yang super besar di lobby. Langsung keriting deh jari gue. Untung dibantuin Enji tadi."

Enji cuma tersenyum, duduk di sebelah Emily sambil bermain game di hape. Apapun demi Adella, dia pasti lakukan. Sayangnya Adella nggak pernah sekalipun bilang terimakasih. Itu yang membuat Enji terkadang merasa sedih.

"Pe er lagi pe er lagi," gerutu Adella sambil melongok ke arah Riana dan Emily yang sibuk ngerjain pe er. Bisa nggak sih kalau di cafe itu kita nyantai sambil ketawa ketiwi melepaskan stress? Bukannya ngerjain pe er yang nggak habis-habis."

"Lah, kamu gimana sih Del? Tadi ngomel karena kita lama nggak ngumpul di cafe untuk ngerjain pe er. Sekarang malah menggerutu," omel Emily. "Gue juga paling males ngerjain pe er matematika, ngga nyampe otak gue. Puyeng. Tapi karena ada Riana yang ngajarin, gue jadi semangat deh."

"Coba kalau Ray ngajakin gue bikin pe er bareng ya? Gue pasti semangat deh," ujar Adella sambil mencomot kentang goreng milik Emily. "Beneran nggak sih dia pernah menang olimpiade matematika?"

Emily dan Riana cuma mengangkat bahu. Enji sibuk main game. Akhirnya Adella pergi memesan burger ukuran jumbo dan dua porsi kentang goreng untuk dirinya sendiri.

Next chapter