7 Papaku Membunuh Jiwa Mama

Notifikasi puluhan panggilan tak terjawab tertulis di hape Emily. Sebagian besar dari Wahyu-manager ibunya, dan dua panggilan dari ayahnya. Selebihnya dari nomor tak dikenal yang dia tidak tahu siapa. Emily baru saja memiliki handphone sebulan yang lalu sebagai hadiah kelulusannya dari Sekolah Dasar. Hanya beberapa orang yang memiliki nomornya. Ibunya, manager ibunya, ayahnya, dan Mbak Wati. Emily tidak punya sahabat dekat di sekolah, sahabat dekatnya sampai usia dua belas tahun ini hanya ibunya. Jadi mengetahui ada panggilan dari beberapa nomor tak dikenal di handphonenya membuat Emily merasa ketakutan. Privasinya terasa terancam.

Emily terduduk di ranjangnya, memegang hapenya dengan tangan bergetar. Meskipun tak pernah dekat dengan ayahnya, tapi dalam keadaan seperti ini Emily mendadak merindukan sosok beliau. Mengetahui bahwa ayahnya menelponnya pagi ini membuat Emily diliputi perasaan yang entah. Susah untuk dia jabarkan.

Rasa sedih.

Rasa rindu

Namun juga ada sekelumit rasa benci.

Dan amarah.

Pelan jemari mungilnya mengulir layar handphone untuk membuka aplikasi WhatsApp. Beberapa pesan di aplikasi itu sudah menunggu untuk dibaca.

Pesan dari ayahnya adalah pesan yang dibukanya pertama kali. Karena jauh di dasar hatinya, Emily berharap semua ini hanyalah kesalahpahaman belaka. Papanya tidak selingkuh. Papanya saat ini sedang di rumah sakit menunggui Mama. Inisial BN itu bisa siapa saja, tapi bukan Papa.

Emily berkhayal bahwa semua ini cuma lelucon. Bahwa orangtuanya akan segera muncul bertepuk tangan sambil berteriak "Surprise!"

Emily berkhayal ini hanya sebuah April mop. Sayangnya sekarang bukan bulan April, melainkan Juni. Dan ternyata semua memang cuma khayalannya belaka.

'Dear Emily

Papa harap kamu tidak salah paham terhadap Papa, Sayang. Papa dan Mamamu memang berada dalam situasi yang buruk. Namun percayalah semua itu tidak ada hubungannya denganmu. Kami tetap mencintaimu, walaupun kami bertengkar. Orang dewasa terkadang bertengkar satu sama lain. Tapi itu bukanlah sesuatu yang penting. Jadi tetaplah ceria, karena semua ini bukan salahmu. Maafkan Papa yang telah mengacaukan rencanamu untuk pergi sekolah ke Singapura. Setelah kekacauan ini berakhir, Papa janji kita akan pergi ke Singapura bersama-sama. Kita bertiga akan pergi bersama-sama.'

Emily mengusap air matanya dengan marah.

"Kok bisa-bisanya Papa menganggap pertengkarannya dengan Mama bukan sesuatu yang penting?," teriaknya emosi. "Apa Papa benar-benar tidak tahu bahwa akibat pertengkaran mereka malam itu, Mama sampai depresi dan mencoba bunuh diri?"

"Bisa jadi Papa Non memang belum tahu," kata Mbak Yati yang sedang berusaha meredakan gelisahnya dengan menyibukkan diri merapikan lemari pakaian. Rumah terkurung wartawan, Nyonya Rumah sedang dirawat di rumah sakit, dan Tuan Rumah sedang digerebek massa karena kepergok selingkuh. Mbak Yati bingung sendiri tak tahu mesti melakukan apa. Beberapa kali dicobanya menelpon Wahyu, namun manager Tania itu tidak mengangkat telponnya.

"Nggak mungkin Om Wahyu nggak memberi tahu Papa kalau Mama masuk rumah sakit!" kata Emily lagi.

Mbak Yati mengangkat bahu. Sejujurnya dia juga tidak menyukai majikan laki-lakinya itu. Karena itu Mbak Yati tidak berkeinginan untuk memberi tahu Pak Benny bahwa Bu Tania masuk rumah sakit. Sama seperti Emily, Mbak Yati juga menyimpan amarah. Pria brengsek seperti Benny Dirgantara tidak pantas untuk wanita sebaik Bu Tania. Sepanjang tujuh tahun dia bekerja di rumah ini, kesannya tentang Benny Dirgantara adalah pria itu pria pemalas yang berkedok di belakang profesinya sebagai pelukis. Pelukis yang tak pernah menghasilkan uang dari menjual lukisannya. Hanya bermodalkan wajah tampan dan mulut manis untuk memikat hati Tania.

"Apa yang mesti kita lakukan, Mbak?" tanya Emily sambil merebahkan tubuhnya di ranjang.

"Kita mesti menunggu...."

"Menunggu apa? Menunggu siapa?"

Persis setelah Emily mengucapkan itu, handphone di tangannya berdering.

"Om Wahyu, Mbak," kata Emily gembira. Gegas Emily memencet tombol terima dan menyalakan speaker supaya Mbak Yati bisa ikut mendengarkan.

"Halo, Om?"

"Halo Emily? Kamu baik-baik saja, kan?"

"Alhamdulillah baik, Om. Mamaku apa kabar? Apa Mama sudah bisa bicara? Aku kangen mendengar suara Mama," ujar Emily dengan suara lirih menahan tangis.

Terakhir Emily kesana Mamanya masih tergolek lemah dengan mata terpejam. Entah tidur, entah tidak sadarkan diri.

"Mamamu berada dalam keadaan stabil."

Masih jawaban yang sama. Emily bahkan tak mengerti apa yang dimaksud dengan keadaan stabil itu. Dia menebak keadaan stabil itu berarti Mamanya masih bertahan hidup.

"Artinya Mama belum bisa bicara?"

"Mamamu membutuh tenaga yang banyak buat bicara. Sedangkan dia juga butuh tenaga untuk sembuh. Banyak bicara akan membuat Mama cepat capek, nanti sembuhnya bisa lama," kata Om Wahyu menjelaskan dengan nada lembut. "Kamu mau Mamamu cepat sembuh kan?"

Emily mengangguk. "Iya Om. Tidak apa-apa kalau Mama belum mau bicara. Yang penting Mama bisa cepat sembuh, biar bisa menemaniku ke Singapura. Papa bilang, kami bertiga akan pergi ke Singapura. Mungkin Papa dan Mama bisa menemaniku disana untuk waktu yang lama."

Hening sesaat.

"Kapan Papamu bilang begitu?," tanya Wahyu.

"Tadi pagi Papa menelpon, cuma nggak keangkat. Jadi Papa meninggalkan pesan."

Hening.

"Om boleh bicara dengan Mbak Yati?"

Emily mengangguk, menyerahkan handphonenya kepada Mbak Yati.

"Om Wahyu inginkan bicara, Mbak."

Emily mengamati Mbak Yati menerima telepon dari Om Wahyu. Emily sangat ingin tahu mereka membicarakan apa, namun sayangnya Mbak Yati mematikan speakernya.

Beberapa menit kemudian Mbak Yati menyerahkan kembali handphone Emily. Wajah asisten rumah tangga itu terlihat semakin murung.

"Om Wahyu menyuruh kita siap-siap. Nanti malam dia akan menjemput kita kesini. Koper-koper Non masih belum dibongkar, kan?"

"Belum, Mbak," jawab Emily.

Koper-kopernya masih tersusun rapi di kamar, karena Emily masih berharap sewaktu-waktu ibunya akan sembuh dan mereka akan pergi ke Singapura seperti rencana semula.

"Bagus," gumam Mbak Yati singkat.

"Memangnya kita mau kemana, Mbak?" tanya Emily.

"Kota Alpan."

"Hah?"

"Kok hah, sih? Kota Alpan itu adalah kota paling cantik di Indonesia. Kata orang sih."

"Kok kata orang sih? Memang Mbak belum pernah kesana?"

Mbak Yati menggeleng. "Belum. Karena untuk menuju kesana mesti naik pesawat terbang. Mbak mana berani naik pesawat. Takut pesawatnya jatuh, nanti Mbak nggak jadi nikah dong kalau keburu mampus."

Mbak Yati tertawa, tapi bagi Emily itu bukan sesuatu yang lucu.

"Lagian Mbak punya tunangan di kampung. Bisa marah dia kalau Mbak ikut Non pergi jauh. Tadinya Mbak mau minta ijin berhenti bekerja disini kalau Non jadi sekolah di Singapura. Mbak mau nikah tahun depan."

"Berarti Mbak nggak ikut aku ke Kota Alpan?"

Mbak Yati menggeleng. Emily terdiam, matanya mendadak berkaca-kaca.

"Terus kenapa aku harus kesana, Mbak? Aku nggak tau Kota Alpan itu dimana. Trus disana aku tinggal sama siapa? Aku kesana sama siapa? Apa sama Mama dan Papa?"

"Kota itu cantik kok, Mbak pernah melihatnya di televisi. Ada danau kembar, perkebunan teh, udaranya juga dingin. Mbak yakin, Non pasti suka. Nggak bakalan menyesal deh!"

"Kenapa aku harus kesana, Mbak? Aku nggak mau jauh dari Mama. Aku mau kesana kalau ada Mama," suara Emily bergetar. Mulutnya sudah tertarik ke samping menahan bendungan emosi. Sebentar lagi bendungan itu akan jebol meluapkan tangis.

'Namaku Emily. Umurku dua belas tahun saat masa-masa bahagiaku bersama Mama berakhir. Tidak akan ada lagi masa-masa mendiskusikan kostum panggung, masa-masa bertualang keluar masuk butik di luar negeri, masa-masa tertawa bersama, bermain bersama, mengagumi model-model rancangan baju terbaru bersama. Mamaku tak pernah sama lagi setelah ini. My father has been killed her spirit. Papaku sudah membunuh jiwanya.'

avataravatar
Next chapter