21 PERBINCANGAN SORE HARI

Sore harinya mereka menatap matahari senja di teras rumah bersama. Dan ketika pukul 17:20 ayahnya Indri pulang ke rumah kemudian dia berkata.

"Hayoo, ini anak gadis sama bujang ayah lagi ngapain nih?"

"Lagi mandang langit juga matahari senja yah" Jawab Indri

"Iya om" Ucap Dewa

Ayahnya Indri pun duduk bersama mereka kemudian bergabung menatap langit juga mentari senja bersama mereka. Lalu dia berkata.

"Kalau lagi kayak gini, ayah jadi inget waktu kamu masih kecil dulu, Dri"

"Inget apa om?" Tanya Dewa

"Ya waktu Indri maen sama bola punya dia"

"Hah? Berarti dulu Indri itu tomboi ya om?"

"Hahaha bukan tomboi, tomboi lagi, Wa"

"Lah terus?"

"Udah kayak lagi banget, Wa"

Mendengar perkataan ayahnya Indri tersebut, Dewa pun tertawa. "Hahaha"

Lalu dengan wajah malu-malu Indri berkata.

"Ihh, ayah ini. Buat Indri malu di depan Dewa aja"

"Lah, gak papalah. Kan Dewa juga kan nantinya bakal jadi suami kamu. Jadi wajar kali kalau Dewa tau masa kecil kamu."

"Iya, tapi gak sekarang juga kali yah." Ucap Indri

"Terus mau kapan di kasih taunya?" Tanya ayahnya Indri

"Eh, berarti nanti kalau kita punya anak cewek terus kecilnya tomboi berarti itu karena gen dari kamu ya, sayang." Ucap Dewa

"Ihh, apaan sih kam." Ucap Indri

Mendengar pembicaraan mereka berdua ayahnya Indri hanya tertawa. "Hahaha"

"Tuh, kan gara-gara ayah nih. Jadinya Indri di ejek terus sama Dewa" Ucap Indri

"Udah, udah. Ayah masuk ke dalam dulu mau mandi."

"Iya, om" Ucap Dewa

Setelah ayahnya Indri masuk ke dalam, lalu Dewa mencubit hidugnya Indri sambil berkata.

"Dasar tomboi."

Dengan wajah cemberut Indri berkata.

"Apaan sih kamu sayang"

"Hahaha. Dasar tomboi." Ucap Dewa

Sambil mengangkat tangan kanannya Indri berkata.

"Terus ngejek. Saya tampar nih."

"Tomboi" Ucap Dewa

"Nah, beneran ya kamu ini, emang mau di tampar ya."

"Gak, gak. Sayang, ampun bos ampun. Hahaha"

"Yaudah. Jangan di ulangin lagi. Kalau gak saya tampar kamu."

"Tomboi."

Karena Indri sudah terlalu kesal kepada Dewa dengan tak sengaja dia pun menampark kekasihnya itu.

"(Plakk)"

"Aduh, anjir. Sakit sayang. Udah gitu lebamnya belum sembuh lagi."

Dengan wajah khawatir Indri pun memegang wajah Dewa kemudian berkata.

"Kamu gak papa kan sayang. Gak papa kan?"

"Gak papa apanya. Behh,, kamu ini ya galak banget sih, udah kayak macan."

"Maaf sayang, lagian kamunya sih ngejek saya terus."

"Ya tapi gak nampar juga sayang. Sakit tau."

"Duh,, maaf. Maaf sayang."

"Ini mah harus di bawa ke dokter dah."

"Ya kali, cuma di tampar gitu aja harus di bawa ke dokter."

"Iyalah, tapi dokternya kasih sayang dari kamu."

"Mulai deh kayak anak kecil."

Sambil menjulurkan lidah, Dewa pun berkata. "Biarin, blekk"

"Dasar sih kamu ini kayak anak kecil banget."

"Hemm.

(Keinginan yang terdampar)

Namun, terkadang menjadi kanak-kanak kembali adalah cita-citaku

Yang tak bisa kembali sudah.

Yang hanya mampu mendesah di atas mahligai milik mentari

Senja dan terus dan.

Letih itu membayangiku sebagai sebuah nama yang tergambar.

Dalam dinding buta.

Bersama lembayung yang tak kian hempas.

Terkadang masa kecil adalah mimpi dalam tidur malamku.

Yang terkadang menjadi selimut atau jubah yang ku kenakan

Hari ini.. Mentari itu..

Dan kamu..

Kehabisan kesabaran dalam tindakanku

Hingga kamu menerkam wajah layaknya nasi yang pecah

Hah..

Aku ingin tidur pulas kini

Bersama pelukan kasih sayang seorang ibu

Atau menjadi bayi dalam rahimmu?

Supaya kamu selalu mengusap kepalaku dengan penuh kasih sayang."

Mendengar lantunan puisi yang keluar dari mulut Dewa itu, Indri pun berkata.

"Gak harus kayak gitu sayang. Saya akan selalu mencintai dan menyayangi kamu kok. Karena hati saya udah jadi milik kamu."

"Iya tah?"

"Iya sayang."

"Hemm"

Saat senja mulai menunjukkan sinar jingganya Indri pun melantunkan sebuah puisi.

"(Tentang senja)

Ketika senja itu terbangun dari tidurnya

Dia seperti mata lampu yang berkelap-kelip

Di damparkan oleh mentari kemudian membias

Ke penghujung musim semi.

Berikan cahaya jingga yang terlantar di pelukan awan-awan

Kemudian dimakan ke heningan.

Senja itu pernah hadir di bukit-bukit padang pasir.

Ketika kedua insan bertasbih dalam tahajud malamnya

Kemudian menorehkan pisau-pisau pada kulit-kulit

Supaya menangis katanya.

Hah.. Sudahlah.."

Setelah Indri melantunkan sebuah puisi tersebut, ayahnya Indri pun menghampiri mereka berdua. Kemudian berkata.

"Wihh, kalian ini memang cocok ya, sama-sama berbakat jadi penyair."

"Apaan sih yah?" Tanya Indri

"Wong di puji kok malah apaan sih."

"Ya lagian ayah sih, buat Indri malu aja di depan Dewa"

"Ngapain harus malu sih, sayang?" Tanya Dewa

"Ya malu aja, kan dulu waktu sekolah saya kalah lomba cipta puisi sama kamu." Ucap Indri

"Hahaha. Ya gak papa sayang. Namanya juga masih belajar."

"Tau gak, Dri. Kalau ayah melihat kalian berpuisi kayak tadi buat ayah ingat waktu kamu masih kecil dulu, waktu kamu masih tomboi. Dan suka maen bola terus kamu peluk bola itu." Ucap ayahnya Indri

"Emang kenapa, yah?" Tanya Indri

"Ayah juga dulu pernah buat 1 puisi"

"Iya tah om?" Tanya Dewa

"Iya" Jawab ayahnya Indri

"Bunyinya kayak mana, om?"

"Nih,,

(Senja di teras rumah)

Mentari senja perlahan kini menyembunyikan diri.

Dibalik awan, pegunungan juga pulau-pulau pada samudera.

Angin mendesau..

Belah dadaku..

Masuklah..

Kata-kata juga mayapada ironi.

Aku kemudian menuju pintu waktu

Masuk kedalam alammu..

Sebab kini dunia tak lagi asik..

Cuma menyajikan hidangan konflik..

Dirumah, bangku sekolah juga pada jalanan lapang nan lengang.

Bulan pun kini menjadi lekang

Siang hari tak lagi menyajikan bianglala.

Semuanya cuma kekelaman semata.

Diteras rumah kini aku lihat anakku bermain dengan bola.

Dia memegangnya kemudian kan ku kenang indah masa kecilnya.

Di teras rumah kadar pun tengah bermain-main di dalam dirinya.

Tengah menulis skenario jalan cerita.

Yang menyajikan tiba-tiba yang dirahasiakan Tuhan.

Walaupun tak pernah dia dan aku menginginkan

Sebab Tuhan ingin dunia ini penuh dengan goresan krayon.

Yang menjatuhkan warna pada buku gambar anakku."

Dengan serentak Dewa dan Indri berkata. "Wihh bagus banget"

"Keren banget om, belajar dari mana om?" Tanya Dewa

"Otodidak sih, Wa" Jawab ayahnya Indri

"Oom pernah baca buku kumpulan puisi atau baca novel yang ada puisinya tah om?"

"Pernah, boleh baca gak om?"

"Boleh, tapi kalau masih ada ya"

"Iya, om"

"Yaudah, ayah cariin dulu"

"Siap yah" Ucap Indri

Saat ayahnya Indri mengambil novel yang diminta mereka. Mereka berdua berbincang-bincang.

"Sayang" Uacap Indri

"Apa?" Tanya Dewa

"Kamu ganteng deh"

"Emang dari dulu saya ganteng kali."

"Dihh. Tuh mulai sombongnya"

"Terus saya harus gimana sih, sayang?"

"Ya, harusnya jawabnya tuh (gak ah, biasa aja). Ini mah malah sombong"

"Yaudah, saya mah biasa aja kok sayang"

"Tuh, gak pedean banget sih kamu"

"Ya allah. Dosa apa saya ini? Tadi jawab bilangnya sombong sekarang malah bilang gak pede. Yang bener yang mana sih?"

"Dasar ya emang semua cowok tuh gak pernah pengertian sama ceweknya"

"Kamu lagi menstruasi ya?"

"Iya, kok kamu tau sih?"

"Pantesan, sensitif banget"

"Mulai deh"

"Mulai apa lagi?"

"Mulai ngejeknya"

"Siapa yang ngejek sih?"

"Lah itu wajah kamu di jelek-jelekin"

"Hadeh, udah dari semalem kayak gini kali, ancur kena tinju sama preman itu terus"

"Iya tapi kamu jelek loh kalau kayak gitu."

"Bodo, Dri. Bodo"

Mendengar ucapan Dewa yang kesal itu Indri tertawa dengan sangat girang. "Hahaha"

"Dasar ya kamu ini, seneng banget liyat pacarnya tersiksa."

Dengan wajah marah Indri berkata. "Bodo sih"

Dengan suara pelan Dewa berkata. "Heh, kalau kamu bukan pacar saya aja."

"Kenapa? Kamu bosen ya pacaran sama saya?"

Di dalam hati Dewa berkata. "Kok bisa sih, dia denger suara saya. Dasar ya cewek itu kalau lagi marah telinganya kayak waktu ulangan tajem banget."

Catatan :

Untuk kalian yang ingin ngobrol dan kenalan dengan kakak. Kakak welcome kok, tapi kita ngobrolnya lewat sosmed aja biar lebih enak. Dan biar gak canggung. Oh iya, jangan lupa ya dukung kakak dengan gift kalian supaya kakak bisa melakukan penelitian lebih jauh untuk puisi dan PUEBI. Makasih guys.

Ig : Oipratama._1

E-mial : riyanoi833@gmail.com

avataravatar
Next chapter