webnovel

Ternoda

Malam harinya, Dassa seperti biasa menghabiskan waktu bersama teman-temannya di kolong jembatan. Lima orang berbadan besar dengan tampang sangar mendatangi Dassa. Robby yang lebih dulu menyadari keanehan itu berdiri lebih dulu untuk pasang badan. Dassa menoleh memandang orang asing yang datang itu dengan senyum tipis, "Orang orang ini datang pasti karena si anak papa udah ngadu karena kalah di ring kemarin," kata Dassa.

"Jadi gimana Don?" Tanya Robby sudah siap dengan kuda-kudanya.

"Ini urusan gue Rob, biarin aja mereka ngelakuin pekerjaannya. Lagian ini saat yang gue tunggu kok, gue tau siapa yang bayar mereka." Jawab Dassa lalu bangun dari duduknya, berjalan menghampiri lima orang berkaos hitam itu.

Tangan tangan kekar itu memegangi badan Dassa dan menariknya agar mengikuti mereka. Robby cemas tapi dia mengikuti apa yang Dassa minta. Don-nya menghilang dibawa minibus yang menunggu di seberang. Dassa di bawa ke suatu tempat yang sepi, seperti gedung yang tidak terpakai. Dia dipegangi layaknya buronan lalu dipaksa duduk di kursi yang ada di tengah ruangan kemudian orang orang itu mengikatnya. Dassa tak bersuara, tak juga berkata kata, dia hanya diam dengan senyum seakan mengejek orang orang berbadan besar itu.

Salah satu dari mereka bertanya, "Kenapa lo senyum senyum?! Lo itu udah mau mati, masih bisa senyum?"

"Gimana gue gak bahagia, kalau gue akhirnya ketemu sama orang yang paling gue benci di dunia ini, ditambah dia yang repot repot mencari gue sampai dia membayar orang orang bodoh kayak kalian," jawab Dassa lalu terkekeh.

Suara langkah kemudian terdengar, Dassa memandang pintu dengan jari jari yang mengepal tegang.

Pintu terbuka, wajah Julian muncul. Wajah yang sama dengan orang yang selalu mengusik tidur Dassa, orang yang sangat dia benci, orang yang membuat Dassa ingin hidup karena ingin membuat dia menderita dengan menyiksa anaknya.

Julian berhenti di hadapan Dassa yang memandangnya benci, sementara orang orang bayaran itu mengitari Dassa untuk menjaga Julian.

PLAAKK!

Julian tanpa berkata apa apa langsung melayangkan tangannya ke wajah Dassa.

"Kamu berani menyakiti Roy?! Kenapa?! Kamu benci karena saya tidak menolong ayah kamu waktu itu?"

Dassa hanya terdiam mendengar apa yang Julian ucapkan. Orang keji ini sama sekali tidak berubah, hanya rambutnya yang mulai beruban sedang kesombongannya, angkuhnya masih tetap sama. Dassa sama sekali tak menyesal memukuli Roy, malah ia menyesal kenapa hanya membuat Roy babak belur.

Melihat wajah Julian semakin membuat dadanya panas, masa kecilnya yang direnggut paksa takdir penyebabnya adalah Julian. Dassa bisa saja melepaskan diri dari tali yang melilitnya sekarang kemudian menyambar Julian dan memukulinya sampai dia mati. Dassa sudah berniat melakukannya, tak perduli lagi apa yang akan terjadi setelahnya. Dia akan dipenjara, atau dipukuli orang orang bayaran Julian, dia tidak peduli. Bukankah balas dendam inilah alasan dia masih ingin hidup?

"Ayah kamu meninggal, karena dia tidak bisa membayar hutangnya sendiri. Dia bodoh dalam berbisnis. Sedangkan ibumu, dia itu memang tidak punya nyali. Takut miskin! Takut hidup susah! Bahkan dia tidak memikirkan kamu!" Julian masih terus bicara, sampai dia mendengar gemeretak jari jari Dassa juga tatapan bencinya.

Julian memberi komando, lalu salah satu anak buahnya menyiram seember air pada Dassa.

"Akui saja Dassa, jika apa yang saya bilang itu benar! Ibu dan ayahmu memang lemah! Dia bahkan tidak memikirkanmu sama sekali lalu apa saya yang harus mengurus kamu?!"

Dassa mengerang, dia bangun dengan kursi yang terikat tapi anak buah Julian menekan pundak Dassa agar kembali duduk.

"Dan kamu? Lihat hasil yang mereka perbuat ke kamu. Jadi anak berandalan, preman! Lalu kamu menyalahkan saya?! Kamu benci pada Roy karena kesalahan orang tua kamu sendiri? Mungkin ini karma, ya karma karena ibu kamu itu pelacur!"

Deg!

Dassa sudah tidak bisa lagi menahan diri. Dia bangun, kelima orang anak buah Julian tidak sanggup menahan tenaganya. Dassa membenturkan dirinya ke tembok dan membuat kursi yang terikat di badannya hancur, tali tali yang mengikatnya tak lagi berguna. Dia menghajar satu persatu anak buah yang menghalangi langkahnya mendekati Julian. Saat Dassa sibuk, Julian  buru-buru pergi.

"HEI! JANGAN PERGI! DASAR PENGECUT!" teriak Dassa.

Dassa kalap, emosi sudah memenuhi dadanya. Dia menghajar semua yang menghalangi langkahnya. Suara mobil terdengar, saat Dassa hendak keluar dari ruangan, kaki kursi yang patah dihantamkan langsung ke belakang kepala Dassa hingga terbelah menjadi dua. Dassa terlutut, tersungkur tak sadar di lantai.

***

Keesokan paginya. Mutia bersikap biasa saat muncul di meja makan. Dia sarapan dengan tenang, bahkan menyempatkan berbincang dengan ayah bundanya. Tak lama ayahnya pamit lebih dulu. Suara mobil terdengar lalu mulai menghilang, barulah Mutia mempercepat makannya dan mencium tangan bundanya lalu berlari keluar rumah. Dia tidak menaiki bus seperti biasa, dia menyetop sebuah taksi dan hendak pergi ke rumah Roy untuk menjenguknya.

Rumah Roy sudah di depan mata, dan Mutia melihat Julian-ayah Roy masuk ke dalam mobil. Mutia jadi curiga, dia ingat betul Julian pernah bicara pada beberapa orang berbadan besar dan berwajah seram kemarin. Mutia meminta taksi itu agar mengikuti mobil Julian.

Mutia berharap ini hanya prasangka buruknya dan itu tak terbukti. Julian tidak akan membalas apa yang Dassa lakukan pada Roy karena itu akan membuat kebencian itu tidak akan pernah berujung. Yang ada mereka akan saling balas membalas.

Tapi mobil Julian nyatanya mengarah keluar dari pusat kota, dan lajunya memelan di sebuah rumah tak berpenghuni. Mutia turun dari taksi agak jauh, lalu berjalan mengendap-endap mendekati pagar dan masuk ke dalam rumah lewat celah pagar yang tak tertutup rapat.

Suara tawa laki laki terdengar, entah mengapa Mutia malah cemas. Tawa tawa renyah itu terdengar mengejek. Mutia diam diam masuk ke dalam, mengintip jika orang orang berbadan besar kemarin lah yang sedang tertawa bersama Julian.

Dan... Di kamar itu, di sudut ruangannya, Mutia menutup mulutnya agar tak bersuara. Mutia melihat Dassa digantung terbalik, tidak mengenakan pakaian dan dia bisa melihat memar memar itu disekucur tubuh jangkungnya.

Entah Dassa sadar atau tidak, karena tubuh tergantung itu hanya terdiam sementara orang orang di dalam ruangan itu menertawainya, merayakan kemenangannya.

"Dia udah gak mungkin berkutik. Udah cukup pelajaran buat dia, jadi lebih baik kita pergi," Kata Julian.

"Iya bos, sebelum kita hajar sudah kita bius," kata salah seorang anak buah.

"Bagus. Dia akan tau dan sadar dengan siapa dia berurusan."

Sebelum Julian keluar, Mutia berjalan cepat keluar dari rumah itu lebih dulu agar tidak ingin ketahuan. Mutia memilih berlindung di dalam toko swalayan di seberang rumah. Dia juga membeli beberapa obat sembari menunggu. Tak berselang lama, mobil mewah milih Julian keluar dari garasi. Saat itulah Mutia menyelip masuk. Dia bersembunyi di balik pintu. Brugh! Suara menghantam lantai terdengar.

"Gimana pun dia masih keponakan bos, jadi kita biarkan aja. Bagus kalau dia sebentar lagi sadar dan bisa pulang."

"Pulang sendiri... Hahaha," lalu tawa terdengar, sepanjang mereka berjalan keluar ruangan.

Pintu tertutup, barulah Mutia keluar dari persembunyiannya. Mutia masuk ke kamar dan melihat Dassa sudah tergeletak di lantai. Mutia mendekati Dassa dan melihat tubuh itu bergerak hendak bangun namun kesulitan. Kedua mata Dassa menemukan kehadiran Mutia. Dassa mengepal tangannya tapi Mutia tak sedikit pun takut. Dia merasa iba dan memutuskan membantu Dassa untuk bangun kemudian dia dudukkan Dassa di kursi, Mutia juga memakaikan lagi kemeja Dassa yang tergeletak di lantai.

Mutia tak memperhatikan tatapan mata Dassa yang melihatnya dengan tatapan lain. Bukan rasa sakit, namun benci. Dassa melihat botol berisi bius yang tergeletak di meja, saat Mutia berusaha membuka pintu, Dassa menyelipkan botol bius itu di dalam saku celannya.

"Pintunya udah bisa dibuka, jadi kita bisa pulang," kata Mutia sambil tersenyum lalu mendekati Dassa, menggelantungkan lengan Dassa di pundaknya dan selangkah demi selangkah keduanya meninggalkan rumah itu.

Dassa mengerang saat keduanya berdiri di pinggir jalan untuk menunggu ada taksi yang lewat. Mutia memandang tangan Dassa yang terlihat meremas dadanya, suara rintihan lirih terdengar. "Kamu harus bernafas dengan tenang supaya luka luka itu tidak terasa sakit," ujar Mutia sambil memandang wajah Dassa.

Tapi pemuda itu lebih memilih melihat ke arah lain, lalu melambaikan tangan saat sebuah taksi melaju ke arahnya. Taksi itu menepi.

"Lo gak perlu sok baik sama gue!" Kata Dassa ketus lalu menarik tangannya yang semula melingkar di pundak Mutia. Dia masuk ke dalam mobil dengan susah payah. Pengaruh bius dalam diri Dassa sudah hampir hilang, saat Mutia masuk ke dalam mobil, Dassa menyebutkan alamat rumahnya.

"Tapi antarkan saja perempuan ini lebih dulu," kata Dassa masih ketus.

"Kamu harus diobati," sambar Mutia.

"Ngapain sih lo repot repot peduli sama gue?! Atau lo cuma mau ngetawain gue?! IYA?!" suara tinggi Dassa sampai membuat si sopir taksi terkejut.

CHIIIITTT!

Taksi itu berhenti mendadak di tengah jalan, "Astaga! Ada kucing hitam tiba tiba nyebrang!" Kata si sopir.

Taksi kembali berjalan, sampai dalam keheningan si sopir berujar, "Kucing hitam, itu pertanda buruk..."

Mutia mendengar apa yang si sopir itu gumamkan.

"Pak, agak cepat yah... Saya harus obatin teman saya ini," pinta Mutia.

Dassa memandang keluar jendela tidak peduli, tapi dia mendengar apa yang barusan Mutia ucapkan. Dia mengepal tangannya sebal, dia benci pada gadis keras kepala ini. Dia benci kenapa kekasih Roy ini peduli kepadanya, tapi apa dia benar benar peduli? Atau ini hanya cara mereka menertawakannya?

Taksi itu berhenti di depan sebuah rumah sederhana. Dassa keluar, diikuti Mutia yang berjalan di belakangnya. Dassa duduk di kursi ruang tamunya.

"Aku akan buatkan kompresan untuk luka luka kamu," kata Mutia lalu mendekati kompor yang ada di sudut ruangan.

Tas dan ponsel Mutia tergeletak di meja. Tanpa nada, layar ponsel itu menyala dan memunculkan foto kebersamaannya bersama Roy. Dassa memperhatikan layar ponsel itu, dia memandangnya geram.

"Ibu kamu itu pelacur!" Suara Julian tiba tiba menggema di kepala Dassa, bersamaan dengan suara Nisa, "Kalau kamu bisa memiliki orang yang dicintai musuhmu, pelan pelan musuhmu akan hancur dan secara tidak langsung dia akan mengaku kalah..."

Dassa memandang Mutia penuh maksud, diam diam dia sudah menggenggam erat bahkan meremas botol kecil berisi cairan bius dalam tangannya.

Mutia datang, membawa baskom berisi air hangat.

"Kenapa lo nolong gue?!" Tanya Dassa dengan nada dingin.

"Gue udah bikin Roy luka, Roy pacar lo kan? Dan lo sayang sama Roy, gue bisa liat itu saat lo nolongin Roy di ring malam itu. Ini aneh... Lo yang ngaduin gue ke Julian, tapi lo juga yang nolong gue?!" Dassa menyelesaikan ucapannya sambil berdiri.

Mutia ikut berdiri melihat wajah Dassa. Tapi Mutia sontak melangkah mundur saat Dassa menyeret langkahnya mendekatinya. Mutia hampir tak bisa mengenali pemuda di hadapannya itu. Seperti bukan Dassa, karena wajahnya mengungkapkan keji sekaligus kebencian yang teramat dalam.

"Lo pikir gue selemah itu? Gue pernah lebih parah dari hanya dihajar lima orang pengecut itu! Lo tau siapa yang lemah?! Itu Roy! Anak manja! Anak ingusan yang berlindung di balik kekuasaan bapaknya dan sekarang dia ngirim lo buat ngejek gue?!"

Mutia hendak menjelaskan namun Dassa sudah menyambar pundak Mutia lalu membekap mulutnya dengan kain yang sudah dia basahi cairan bius. Mutia meronta tapi tenaganya bahkan tidak berpengaruh pada Dassa. Dalam hitungan detik tubuh Mutia lunglai setengah sadar, dan Dassa menangkap tubuh itu. Dassa yang gelap mata menggendongnya, membaringkan Mutia di ranjang tidurnya.

'Hukum dia...'

Samar samar Dassa bisa mendengar suara ibunya, terus membisikan kalimat itu di telinganya.

'Hukum dia...'

Lama Dassa berdiri sambil memandangi Mutia yang sudah tidak sadar, Dassa mengepal tangannya marah... Frustasi... Benci... Semua titik sadarnya bergulat hebat di hati dan logikanya. Kematian orang tuanya, hidupnya yang sengsara setelah itu, senyum Roy di atas kesendiriannya, hinaan Julian pada ibunya, tukang pukul yang menendanginya sepanjang malam-menggantungnya bahkan meludahinya sambil tertawa.

'Hukum dia...'

dan permintaan terakhir ibunya.

Dassa membuka satu persatu kancing kemejanya, lalu duduk di samping raga Mutia. Gadis ini hanya mengenakan dress putih di bawah lutut. Dassa menyentuh kening Mutia dengan telunjuknya, bergerak turun melewati pipi, tulang rahangnya bahkan semakin turun menyusuri kerongkongannya. Hingga jari telunjuk itu berhenti tepat di tengah dada Mutia.

Dassa naik ke atas ranjang lalu duduk tepat di hadapan Mutia. Kedua siku tangannya menahan berat bebannya saat berada di atas tubuh Mutia. Ragu ragu Dassa mulai mengecup bibir merah jambu itu, satu tangannya menggenggam tangan Mutia, sedang satu tangannya yang lain membuka dress Mutia, dan menurunkan celananya sendiri.

Dassa benar benar melakukannya. Dia menodai Mutia... Sengaja meninggalkan tanda bekas kepemilikannya di dalam tubuh Mutia. Tanda yang akan Mutia dan Roy ingat selamanya.

Setelah ini dia takkan hancur sendirian, setelah ini jikalau Julian menghilangkan nyawanya sekalipun Dassa takkan menyesal. Setidaknya dia bisa melihat orang orang yang dibencinya merasakan apa itu hinaan, apa itu kehilangan dan bagaimana rasanya hancur sama dengan apa yang Dassa rasakan.

***

Roy duduk di teras kamarnya, masih berusaha menelepon Mutia. Ini sudah larut malam dan ponsel Mutia masih tidak bisa dihubungi. Roy memandangi buket bunga mawar yang tergeletak di meja, di sampingnya sebuah kotak kecil berisi cincin sudah ia siapkan dan hendak ia jadikan kejutan kecil jika Mutia datang menjenguknya. Tapi Mutia tidak datang. Mutia memang selalu lupa kapan tanggal jadian mereka, dan Roy melengkapi dengan selalu mengingatnya.

Roy menghempaskan nafas penuh beban sambil bergumam lirih, "Happy anniversary Mutia Kirana..."

Next chapter