1 Prolog

Tujuh belas tahun yang lalu...

"Dassa, liat nih Papaku baru aja beliin aku mobil mobilan yang pake remot," cerita Roy bocah empat tahun sambil meletakkan mobil-mobilan berwarna merah di lantai kamarnya kemudian ia mengutak atik remot dan terkejut saat mobil mainannya bergerak.

"Wah hebat!" Puji Dassa, sepupu Roy yang seumuran dengannya. Dassa duduk di dekat mobil-mobilan yang sedang berputar-putar menabrak kaki meja belajar, tawa keduanya terdengar renyah sampai di meja makan di lantai bawah. Ayah Roy bernama Julian kebetulan sedang menikmati makan malamnya ditemani istrinya, Zaskia.

"Keponakan kamu belum pulang juga? Kemarin dia menginap di sini masa hari ini juga?!" Tanya Julian ketus.

"Dassa kan keponakanmu juga Mas, aku sudah coba menghubungi Dinda (Ibu Dassa) tapi anehnya ponselnya tidak aktif."

"Coba kamu hubungi Daniel (Ayah Dassa) dong! Rumah kita ini bukan panti asuhan!" Suara Julian terdengar lantang menjeda suara tawa renyah Roy dan Dassa.

Diam-diam Dassa keluar dari kamar Roy dan mengintip dari tangga, Roy mengikuti dengan duduk di samping Dassa sambil memeluk mainan mobilnya. "Aku senang kok kamu di sini," kata Roy sambil menoleh memandang sepupunya itu.

"Tapi papa kamu marah sama aku," balas Dassa dengan wajah sedih.

DOK! DOK! DOK!

"JULIAN! JULIAN TOLONG BUKA PINTUNYA!"

Suara teriakan seorang pria terdengar dari balik pintu.

"Papa!" Sergah Dassa yang mengenali suara Daniel kemudian berlari menuruni tangga menuju pintu dan membukanya. Dassa melihat ayahnya terhuyung hampir jatuh namun Dassa berlari menghampiri dan sekuat tenaga menahan tubuh ayahnya yang basah. Hujan memang sedang turun dengan deras di luar.

"Papa," Dassa memanggil ayahnya tidak mengerti karena melihat wajah ayahnya yang rumit. Julian berjalan panik bersama Sazkia yang menggendong Roy.

"Daniel? Apa yang terjadi?" Tanya Julian.

Daniel segera menghampiri adik iparnya itu, dia mengatupkan kedua tangan seraya memohon, "Tolong... Tolong bantu aku! Aku sedang dalam kesulitan! Aku ditipu, perusahaanku butuh pinjaman dana, tolong aku..."

Julian langsung menaikkan satu alisnya lalu mendorong pundak Daniel keras hingga tubuh Daniel terhuyung terperosok di rerumputan basah di teras.

"Kamu kira aku ini bank?! Sudah kubilang kamu itu tidak becus memimpin perusahaan!"

Daniel tidak menyerah, dia berjalan mendekati iparnya itu namun Julian malah mendorong Daniel berulang-ulang kali. Dassa kecil memegangi kemeja belakang ayahnya, sesekali mengintip takut melihat pamannya.

"Pergi! Dan selesaikan masalah keluargamu sendiri!" Tegas Julian lantang.

"Rumah kami akan disita kalau sampai kamu tidak membantuku Julian!" Mohon Daniel di tengah hujan sedang Julian yang berdiri di depan teras rumah mewahnya hanya tersenyum tipis lalu menggandeng istri dan anaknya masuk ke dalam rumah.

"Papa..." panggil Dassa takut-takut.

Daniel menunduk, melihat puteranya sudah basah kuyup. Senyum pilu menghiasi bibir Daniel lalu mengusap wajah Dassa yang basah, "Maafkan papa ya nak... Maafkan papa."

Keduanya pulang berjalan kaki di tengah hujan yang masih deras. Daniel terus memikirkan bagaimana cara menyelesaikan masalahnya. Jalan itu sepi, gelap, dan hujan semakin deras... sampai tiba tiba Daniel meremas bagian dadanya sementara satu tangannya lagi berpegangan pada pohon. Daniel merintih kesakitan dan jatuh tak sadar di pinggir jalan. Dassa menangis, sambil mengguncang guncangkan badan ayahnya. Tidak jauh dari sana ada sebuah warung kopi yang masih buka, Dassa berlari mencari pertolongan ke sana.

"Paman, paman tolong papa..."

Beberapa orang pria yang sedang menikmati kopi di kala hujan berbondong-bondong menghampiri raga Daniel, mereka membawa Daniel ke rumah sakit terdekat. Dassa tidak pernah berada jauh dari raga ayahnya, bajunya yang basah perlahan mengering dengan sendirinya sementara dia setia berdiri di samping ranjang memperhatikan para dokter yang terlihat sibuk dengan tubuh ayahnya yang masih tak sadar.

Dokter dan para perawat itu menempelkan alat pacu jantung tapi Daniel tidak juga bereaksi. Mereka melakukan berkali-kali sampai para dokter akhirnya membuka maskernya, mengemasi peralatan mereka dan menarik selimut Daniel sampai menutupi kepala, membiarkan tertidur lelap untuk selamanya.

"Papa..." Panggil Dassa dengan berbisik. "Dokter-dokter itu sudah pergi, papa jangan pura pura tidur lagi. Ayo kita pulang..." kata Dassa.

Dokter dan para suster hanya berdiri di depan pintu, mereka tak tega memberitahukan yang sebenarnya pada Dassa jika beberapa menit yang lalu ayahnya telah menghembuskan nafas terakhirnya. Dassa kecil menjadi anak yatim, diusianya yang belum genap lima tahun.

Suara langkah gaduh terdengar dari ujung lorong, ada seorang perempuan yang kebingungan dengan air mata berjatuhan terus berjalan setengah berlari sambil memperhatikan setiap kaca kamar rawat seakan mencari seseorang yang amat ia sayangi.

"Dok, di mana pasien yang dibawa warga ke rumah sakit ini bersama anak laki lakinya?!"

"Pasien bernama Daniel Tyas Permana?" Si dokter balik bertanya.

"Iya betul dok,"

"Ibu, dengan sangat menyesal kami harus mengabarkan ini. Pak Daniel ada di dalam dan dia sudah meninggal." Kata Dokter.

Dinda menggeleng tak percaya, sementara air matanya berjatuhan. "Tidak, tidak mungkin!" Dinda melewati dokter itu dan masuk ke ruangan lalu menghambur pada raga suaminya yang tak lagi bernyawa, "Papa bangun Pa! Bangun! Jangan tinggalkan aku dan Dassa," Dinda menangis di dada suaminya, dia berlinangan air mata sambil menepuk-nepuk keras dada suaminya, mengguncang-guncangkan pundak suaminya berharap bisa membuat jantungnya kembali berdetak.

Dassa terdiam, dia tak paham apa yang ibunya katakan. Dassa mengusap sudut matanya dengan lengan, karena tanpa sadar ia menangis saat melihat ibunya menangis.

Kepiluan Dassa kecil tidak berhenti sampai di situ. Beberapa hari setelah pemakaman Daniel, rumahnya beserta seluruh aset milik ayahnya disita, tidak perduli meski Dassa dan Dinda masih berada di dalam rumah. Tanpa listrik, Dinda, Dassa dan Ririn pembantu mereka tetap bersikeras tinggal di rumah itu.

Dinda sangat terpukul atas kematian suaminya yang mendadak, dia selalu mengurung diri di dalam kamar dan meninggalkan Dassa hanya berdua dengan Ririn. Dinda larut akan kesedihannya sendiri. Sampai kecurigaan mulai menghantui Ririn, karena sudah dua hari majikannya itu tidak keluar dari kamar, tidak juga memanggil Dassa untuk masuk dan tidur bersamanya seperti biasa. Bahkan tidak juga keluar untuk ikut makan bersama. Ririn memutuskan memberanikan diri mengintip ke dalam kamar melalui celah jendela di atas pintu kamar majikannya.

Ririn terkejut saat melihat ada genangan darah sementara raga Dinda tergeletak di atas ranjang. Dengan panik Ririn mencari pertolongan, siapapun yang bisa menolong majikannya.

Pintu yang dikunci dari dalam sudah didobrak paksa oleh satpam komplek dan beberapa warga. Semua tersontak kaget melihat apa yang mereka temukan di dalam kamar, Dinda terbaring dengan darah yang masih menetes dari pergelangan tangannya yang robek.

"Mama!" Dassa masih mengenakan seragam TK lalu berlari menerobos kerumunan dan melihat apa yang orang orang lihat.

"MAMA!" Teriak Dassa sambil hendak berlari mendekati ibunya namun Ririn segera menangkap tubuh Dassa tepat waktu dan menggendongnya. Dassa meronta bersikeras untuk turun setidaknya biarkan ia menyentuh ibunya. Sambil menangis kencang Dassa terus menangis, memanggil ibunya sekuat tenaga sampai Ririn kewalahan.

Saat pemakaman.

Dinda dimakamkan di samping pusaran suaminya. Tanah yang masih merah, taburan bunga yang masih segar, kini ditemani pasangan hidup dan matinya. Dassa tidak menangis saat untaian doa terpanjat dari para tetangga untuk ibunya. Dia hanya menunduk sambil memegangi batu nisan bertuliskan nama ibunya.

Satu persatu orang orang pergi pada akhirnya pergi meninggalkan Dassa dan Ririn dalam keheningan.

Suara pintu mobil tertutup terdengar, Roy berlari sambil memeluk mobil-mobilannya, dari jauh dia bisa melihat punggung Dassa. Roy berlari semangat masuk ke area

pemakaman tanpa takut untuk menghampiri Dassa, dia melihat wajah sepupunya yang sedih lalu berjongkok di sampingnya, "Dassa, mobil-mobilan ini untuk kamu, supaya kamu gak sedih," ujar Roy sambil menyodorkan mobil-mobilannya sementara Dassa tak bergeming.

Dassa meremas tanah merah yang ada dalam genggamannya, bocah itu lalu mengambil mobil-mobilan Roy untuk menjatuhkannya ke tanah kemudian sengaja mendorong pundak Roy kuat hingga sepupunya itu jatuh ke tanah.

"Aku benci kamu! Aku benci papa kamu! Aku benci mama kamu! AKU BENCI KALIAN!" Teriak Dassa kemudian berlari meninggalkan makam bahkan pura-pura tidak melihat saat Sazkia yang merupakan saudara kandung ibunya memanggilnya.

Julian melihat apa yang Dassa lakukan lalu berlari kecil menghampiri anaknya dan membantunya berdiri. "Dasar anak aneh! Akan aku hukum dia jika dia tinggal di rumah kita nanti." Gumam Julian.

"Bapak tidak perlu repot memikirkan soal Dassa. Saya memang hanya pembantu rumah tangga Tuan Daniel dan Nyonya Dinda, tapi mereka sudah seperti keluarga saya sendiri. Saya yang akan merawat Dassa sampai dia dewasa." Kata Ririn lalu menundukkan kepala pamit kemudian berjalan pergi.

avataravatar
Next chapter