webnovel

Ide Malapetaka

Sampai larut malamnya Mutia masih berada di rumah sakit, dia duduk di samping ranjang Roy. Sudut bibir Roy mendapat dua jahitan sementara hidungnya masih disumpel dengan kapas karena mimisan yang belum juga berhenti. Roy dilarang bicara, jadi dia hanya bisa melirik Mutia yang masih menahan kesal.

"Aku masih gak habis fikir sama sepupu kamu itu, kok dia tega yah sama kamu? Kok bisa dia mukulin kamu sampai kamu babak belur begini?!"

Tangan Roy yang terulur di ranjang menepuk-nepuk pergelangan tangan Mutia, seakan memintanya untuk sabar.

Drrrtt... Drrttt...

Mutia melihat ponsel Roy yang ada padanya, Julian ayah Roy menelepon. Seisi rumah mungkin saja sudah cemas karena Roy belum juga pulang.

"Papa kamu telepon, aku harus jawab apa?" Tanya Mutia.

Sedang Roy hanya melirik-lirik dan Mutia tak paham apa maksud Roy.

"Papa kamu harus tau soal ini. Biar si Dassa itu dapet pelajaran! Biar orang tuanya tau sekalian, masa anak begajulan gitu dibiarin berkeliaran bebas!" Gerutu Mutia sudah hilang kesabaran.

Roy menggeleng, tangannya coba meraih ponselnya namun Mutia malah menepis tangannya.

"Hallo? Om ini Mutia. Roy ada sama aku, dan kita di rumah sakit. Oh oke, nanti setelah om sampai aku akan ceritain semuanya." Mutia mematikan ponselnya sedang Roy terlihat menghempaskan nafas penuh beban.

"Oke, anggap aja kamu sayang sama sepupu kamu itu. Kamu melindungi dia, kamu tutupin kesalahan dia, tapi aku gak gitu Roy! Kalau di depan mata aku ada yang salah ya aku berani untuk bilang itu salah!" Mutia masih mengoceh.

"Jadi kamu diem aja, fokus sama kesembuhan kamu sementara masalah ini akan aku selesein."

***

Keesokan harinya, Nisa menepikan mobilnya di kolong jembatan layang, satu-satunya tempat di mana dia bisa menemukan Dassa. Keluar dari mobil dia melihat Dassa sedang ditutupi matanya oleh sapu tangan sedang anak anak kecil berlarian di sekelilingnya mencoba menghindar dari tangkapan Dassa sambil tertawa.

Melihat Dassa bisa tertawa begini, Nisa hampir lupa alasan mengapa dia menyatakan perasaannya beberapa bulan lalu pada Dassa jika Nisa menyukainya lalu dengan entengnya Dassa berkata iya. Padahal Nisa hanya ingin membuat Roy cemburu.

Seharusnya laki laki normal pasti akan cemburu, bahkan melarang jika mengetahui perempuan yang dekat dengannya malah menyatakan cinta pada sepupunya yang tak lain adalah musuhnya, iya kan? Kecuali Roy memang sudah memiliki tambatan hati.

Nisa melambaikan tangan saat Dassa membuka ikatan di matanya.

"Gak ke kampus lagi hari ini?" Tanya Nisa.

"Ke kampus kok, sebentar lagi." Jawab Dassa lalu duduk di kursi panjang, Nisa mengikuti dengan duduk di sampingnya. Keduanya berbincang sampai Robby datang dengan berita yang dia bawa.

"Roy masuk rumah sakit diantar sama pacarnya." Cerita Robby.

"Apa?! Roy... Roy di rumah sakit?! Kok bisa? Dan tadi lo bilang apa?! Sama pacarnya?" Nisa cepat bereaksi.

"Iya, Roy di rumah sakit... Kan semalem Don yang hajar dia sampe KO,"

Nisa langsung menoleh pada Dassa, sedang Dassa sudah memandang Nisa lebih dulu memperlihatkan jika jelas dia bangga atas apa yang sudah dia lakukan.

"Jadi setelah gue bikin dia nginep di rumah sakit, apa lagi yang bisa gue lakuin untuk Roy? Sejujurnya yang semalem itu cuma pemanasan," kata Dassa sambil mengeretakkan jari jari tangannya.

"Kelemahan seseorang itu cuma satu, yaitu orang yang dia cintai." Sambar Nisa sambil memandang Dassa dengan tatapan tak biasa.

"Maksudnya?" Dassa bertanya entah karena dia tak tau atau dia sudah paham kemana arah pembicaraan Nisa.

"Kalau kamu bisa memiliki orang yang dicintai musuhmu, musuhmu itu pasti akan hancur dan secara tidak langsung dia akan mengaku kalah..."

Dassa tersenyum lalu berkata, "Ide bagus Nisa. Sayang rencana itu gak berhasil yah lo terapkan ke Roy," Dassa bangkit berdiri lalu berjalan meninggalkan Nisa yang terkejut atas apa yang barusan Dassa katakan.

Sedang Robby hanya terkekeh, "Don gue itu udah lama tau kalau lo gak beneran sayang sama dia... Gue aja bisa liat, apalagi Don gue..." Ejek Robby lalu mengikuti langkah Dassa sambil tertawa renyah.

***

Pagi pagi Mutia memang sudah kembali ke rumah sakit, dia membawa bekal makanan untuk Roy. Jam besuk sudah dibuka, Mutia langsung masuk ke dalam ruangan rawat Roy. Dia melihat kekasihnya itu sedang duduk dan terlihat kesulitan hendak menggeser tiang infusnya.

"Kamu mau kemana?" Tanya Mutia sambil membantu mendorong tiang infus Roy. Roy menunjuk pintu toilet.

"Aku bawain kamu roti lapis," kata Mutia. Roy langsung mengambil buku dan pena yang ada di bawah bantal dan menulis sesuatu, "Bibirku dijahit Mut, mana bisa aku makan roti?" Baca Mutia lalu terkekeh sendiri.

"Oh iya aku lupa,"

Pintu kamar tiba tiba terbuka, Julian datang bersama Sazkia. "Astaga Roy," Sazkia panik, sedang Julian nampak biasa saja. Dia sudah melihat keadaan puternya semalam bahkan mendengar banyak cerita dari Mutia sewaktu mengantarkan calon menantunya itu pulang.

"Papa akan cari dia sampai dapat dan membalas apa yang sudah dia lakukan ke kamu!" Kata Julian sambil menepuk pundak Roy.

"Membalas siapa? Ada apa sih ini?!" Sazkia tak mengerti.

"Ini ulah anak adik kamu si Dinda itu! Dia yang bikin Roy babak belur begini!" Nada bicara Julian sudah meninggi.

"Sudahlah, tidak perlu kamu membalasnya. Hal biasa kan anak laki laki bertengkar?" Sazkia coba menengahi.

"Hal biasa? Lihat muka anakmu! LIHAT!" tegas Julian sudah hilang kesabaran.

"Apa yang kita lakukan pada dia itu jauh lebih kejam dari ini!" Sambar Sazkia.

Julian langsung mengangkat tangan kanannya hendak menampar namun Julian terpaku karena menyadari keberadaan Mutia di sana. Julian memilih keluar dari ruangan, sedang Roy berdiri melanjutkan langkahnya hendak ke kamar mandi ditemani ibunya.

Mutia berdiri terpaku, dia tak banyak tahu tentang keluarga ini, begitu pun soal Dassa tapi Mutia sudah berlagak sok tau. Roy tak pernah menceritakan soal ini, selama Mutia mengenalnya. Baru kemarin dan itupun hanya sepenggal.

Sejujurnya Mutia merasa bersalah karena memberikan masalah baru pada Roy dan Dassa sementara mungkin saja ada masalah yang jauh lebih besar yang belum juga terselesaikan sampai hari ini. Mutia memutuskan mengikuti Julian. Langkah marah itu masuk ke dalam mobil, sedang Mutia menyetop sebuah taksi dan meminta si sopir untuk mengikuti mobil Julian.

Mobil sedan berwarna silver itu berhenti di pinggir jalan, Julian keluar dan menghampiri beberapa orang pria berbadan besar dan berwajah sangar. Mutia memperhatikan dengan seksama gerakan Julian pada orang orang itu, sebelum kembali masuk ke mobil, Julian sempat memberikan amplop cokelat yang entah berisi apa. Mutia membiarkan mobil ayah Roy itu pergi, dia tak lagi mengikuti setidaknya sekarang yang patut dicurigai adalah orang-orang itu.

Mutia memutuskan pulang, sepanjang perjalanan entah mengapa banyak kejanggalan di hatinya dan dia benar benar penasaran atas perdebatan Julian dan Sazkia. Ada masalah apa dulu? Dan kenapa Roy tidak menceritakannya? Toh semuanya menyangkutpautkan Mutia karena di kampus pun Roy ingin hubungannya dengan Mutia terjalin sembunyi-sembunyi karena Dassa juga berkuliah di kampus yang sama. Mutia sampai di rumah, dia melihat ayahnya berdiri di teras sudah bertolak pinggang.

"Dari mana kamu? Bibi bilang semalam kamu pulang larut? Dan tadi pagi kamu juga pergi tanpa mengabarkan ayah dan bunda. Mutia, begini ya kelakuan kamu sejak kamu pacaran sama Roy?!"

"Ayah, ini bukan karena Roy. Mutia semalam pulang larut karena Roy masuk rumah sakit ayah... Dan Mutia keluar rumah pagi-pagi karena Mutia harus jenguk Roy,"

Hadiwinata - ayah Mutia malah menggeleng mendengar jawaban puteri tunggalnya, "Kamu mentingin Roy daripada larangan Ayah?"

Saat Mutia hendak menjawab, Andini - bunda Mutia muncul dari dalam rumah.

"Ya ampun kalian kok malah berdebat di luar rumah? Malu sama tetangga dong..."

Hadiwinata masuk lebih dulu, disusul Mutia. "Ayah, Roy itu pria baik..." Mutia kembali bicara saat keduanya sudah berada di ruang keluarga.

"Baik?! Tau dari mana kamu dia baik?! Sudah berapa kasus yang ayah tangani soal anak gadis yang bunuh diri dalam keadaan hamil karena pacarnya tidak bertanggung jawab!"

"Astagfirullah Ayah, ngomongnya kok gitu..." Sambar Andini.

"Ini demi kebaikan anak kita bunda," Kata Hadiwinata.

"Gak akan ayah! Mutia gak akan ngecewain ayah sama bunda. Lagian sehabis wisuda Roy juga mau melamar Mutia. Dia pernah bilang gitu kok,"

Andini menghampiri puterinya, merangkulnya sambil berbisik, "Udah jangan dijawab. Kamu kan tau sifat ayahmu gimana..."

Mutia mengangguk paham.

"Ayah akan tetap melarang kamu keluar rumah! Kamu harus izin sama ayah atau bunda! Ingat Mutia, kamu itu anak seorang polisi, mau ditaruh di mana muka ayah kalau sampai ayah gak bisa menjaga anak satu satunya?!" Hadiwinata mengultimatum keras.

Mutia masih ingin menjawab, menyuruhnya menjaga diri sama saja menganggap jika kekasihnya itu bukan orang baik. Tapi saat Mutia hendak membuka suara, bundanya merangkulnya makin erat - kembali mengingatkan untuk tidak membuat suasana makin runyam. Pada akhirnya Mutia masuk ke dalam kamar, membuka tirai jendela dan melihat susana jalan dari lantai dua kamarnya.

Ponselnya bergetar, ada satu pesan dari Roy, "Aku udah di rumah,"

"Maaf aku gak bisa antar kamu, ayah sama bunda udah pulang dari Bali dan, aku harus di rumah." Balas Mutia.

Roy: Gak apa. Aku lebih suka kamu di rumah, kamu aman di sana.

Mutia: Aman dari Dassa??

Roy: Aman dari masalah keluargaku.

Mutia: Aku gak takut sama Dassa!

Roy: Aku juga. Tapi aku punya banyak salah sama dia, dan aku takut dia juga menyangkutpautkan kamu ke dalam masalah keluarga...

Mutia: Aku perlu tau ada apa sebenarnya Roy...

Roy: Lebih baik memang kamu tau semuanya Mut, tapi nanti yah kalau aku udah sembuh,

Mutia: Aku masih ingin marah sama Dassa kalau ingat luka kamu,

Roy: Jangan. Kamu gak boleh marah sama siapapun, kecuali aku. Janji loh ya...

Mutia: Kenapa?

Roy: Orang bisa jatuh cinta kalau liat kamu marah... Serius! Kamu cantik banget Mut, apalagi kalau lagi cemberut...

Mutia merasa lebih baik, sambil balas-membalas chat dengan Roy, sesekali Mutia terkekeh, tersipu malu bahkan masuk ke dalam selimut seakan tak ingin membagi kebahagiaanya walau dengan angin sekali pun. Kebahagiaan yang sebentar lagi akan berakhir...

Next chapter