8 Dua Garis Merah

Di tempat yang berbeda, Dassa memulai pertandingan Ring Hitamnya. Dia sudah siap, dan dia yakin akan memenangkan pertandingan ini seperti biasanya. Robby memberi semangat di bawah ring. Suara pistol angin yang meletup menandakan pertandingan dimulai.

Dassa tak menunggu lama, dia langsung menyerang, meninju wajah musuhnya yang sama besar badannya dengannya. Pria berkulit hitam itu tersungkur di lantai ring lalu gemuruh sorakan ramai terdengar saat Dassa mengangkat kedua tangannya.

Dassa lengah, dia tak memperhatikan jika lawannya mulai berdiri, lalu menyikut tengkuk Dassa hingga dia jatuh terlutut. Dassa langsung terkapar di lantai ring, saat lawannya itu menendanginya, bahkan meninju wajahnya memunculkan kilasan kilasan wajah Mutia bersamaan dengan rasa bersalah yang semakin menyiksa, membuat hati Dassa terasa sakit.

Tiga menit berlalu tanpa perlawanan, suara pistol terdengar menandai kekalahan Dassa yang tak berkutik. Robby melesat masuk ke dalam ring untuk melihat Dassa, namun dia tersentak melihat Don-nya masih sadar, namun tatapannya kosong. Robby membantu Dassa berdiri sambil memegangsapu tangan yang menutup hidung Dassa agar mimisannya terhenti.

"Kenapa Don! Kenapa gak lo lawan!" Robby kesal sendiri.

"Anterin gue ke rumah seseorang," pinta Dassa.

Robby menggonceng Dassa dengan motornya, dia sudah berada di depan rumah Mutia. Dia perhatikan rumah mewah dua lantai itu. Namun Dassa hanya melihat kesunyian, tapi saat dia tak sengaja menengadahkan kepala ke lantai satu rumah itu, Dassa melihat Mutia sedang menangis di salah satu jendela di balik tirai putih. Dassa tak mampu memalingkan tatapannya pada Mutia. Gadis yang dia tolong saat hendak menaiki bus, gadis yang tak tau jika pengemudi vespa yang dia doakan kebaikan itu adalah orang yang malah melakukan tindakan keji padanya.

Kedua kaki Dassa mendadak lemas hingga dia tiba tiba terlutut di pinggir jalan tanpa bisa mengalihkan pandangannya dari Mutia. Kedua sudut matanya yang basah akhirnya tergenang air mata. Dassa memiliki banyak kebencian, tapi ternyata kebencian itu mampu merubahnya menjadi manusia keji yang bahkan tak bisa melihat siapa yang  harusnya dia benci, dan siapa yang tidak seharusnya dia seret ke dalam kebenciannya.

***

Mutia sampai di kelas dan masih mendapati kursi Roy yang kosong. Ini hari kesekian Roy tidak muncul semenjak hari propose itu. Mutia pun juga tidak mencoba menghubungi Roy lagi, dia sebenarnya ingin namun lebih baik begini. Toh dia tidak mungkin lagi  bersama Roy.

Niken melihat wajah teman samping bangkunya masih sedih, dia bahkan bisa tau jika Mutia masih sering menangis karena matanya yang masih sembab.

"Mending lo ke rumahnya Mut, kalau lo bener bener pingin ketemu Roy," kata Niken.

"Aku gak bisa, dan lagi kita juga selesai kok."

"Serius?! Kalian sepakat?!"

"Itu kemauanku sendiri," jawab Mutia.

"Mau lo? Tapi lo sesedih ini?!"

Mutia menunduk mengusap air matanya yang berjatuhan sekaligus merasakan sesuatu yang aneh pada dirinya. Perutnya tiba-tiba bergejolak, Mutia langsung menutup mulutnya dan berlari keluar dari ruangan menuju toilet.

Mutia mengeluarkan isi perutnya yang hanya berupa cairan bening bahkan sampai sudut matanya basah. Perutnya terasa mual.

"Lo kenapa?! Jangan jangan lo hamil?!"

Mutia menoleh dan melihat Nisa berada di sebelahnya. Mutia menelan ludah sambil membuka kran air dan mengusap wajahnya.

"Heh, lo hamil?!" Tanya Nisa dengan nada tinggi.

Tapi Mutia hanya diam tidak ambil pusing. Dia tau siapa Nisa, kata Niken dia adalah pacar Dassa. DanMutia membenci semua yang berhubungan dengan Dassa. Saat Mutia hendak kembali ke ruangan, Nisa ternyata mengejar dan menggenggam lengan Mutia untuk menghentikan langkahnya, "Jawab!" Nisa penasaran.

Mutia menghempaskan tangan Nisa kesal, "Bukan urusan kamu!" Lalu melanjutkan langkahnya, Mutia berjalan cepat melewati koridor, lalu memutuskan duduk di kursi di halaman belakang. Dia menutup wajahnya dan menangis di sana tanpa suara. Sambil sesegukan Mutia memikirkan kata kata Nisa tadi, 'hamil?!' Apa benar dia sedang mengandung anak laki laki yang dia benci?

Mutia meraba perutnya, terus bertanya pada banyak rasa takut dalam hatinya. Ia menggeleng, mengenyahkan fikiran buruknya. Takkan terjadi apa apa padanya. Dia tidak hamil. Tidak mungkin. Mualnya tadi mungkin karena stress yang di rasakan dua minggu ini. Dia sudah ternoda, dia juga tidak bersama Roy, dan dia tidak ingin ada hal buruk apapun lagi yang terjadi di hidupnya. Dia tidak ingin Dassa merenggut apapun lagi. Sudah cukup!

Dassa melewati kelas Mutia, melambatkan langkahnya sambil memperhatikan lekat keadaan kelas lewat jendela yang terbuka. Mutia tidak nampak, sama halnya sepupu yang dibencinya juga tidak keliatan batang hidungnya. Dassa memperhatikan seisi ruangan sampai tidak melihat jalan dan menubruk Nisa yang berdiri memperhatikan dia dari jauh.

"Anak arsitek bisa main main ke kelas sastra, jadi penasaran apa ya yang dia cari." Kata Nisa sambil bersidekap.

"Gue mau ke perpustakaan," jawab Dassa.

"Perpustakaan atau lo mulai peduli sama gadis yang sudah lo nodai demi balas dendam ke sepupu lo," sindir Nisa.

"Sekali lagi lo bicara soal itu di kampus, gue gak segan-segan untuk bikin lo gak bisa ngomong lagi!" Ancam Dassa tidak main main. Dassa tidak lagi sungkan pada Nisa, toh Dassa tau Nisa selama ini juga menjadikannya alat untuk melihat perasaan Roy padanya.

"Kita gak ada bedanya Dassa! Kita sama sama punya tujuan, ya... Walaupun gue gak sampe sekeji lo sih," Nisa leluasa bicara, dia tau Dassa takkan menyakitinya setidaknya itu karena rahasia besar yang tidak sengaja didengarnya. Justru Nisa diuntungkan dengan apa yang Dassa lakukan pada Mutia. Nisa terlalu bahagia, jalan untuk bisa dekat dengan Roy sudah terbuka lebar.

"Kabarnya mereka udah putus, Roy dan Mutia. Tuh, si princess lagi nangis-nangis di halaman belakang." Kata Nisa lalu berjalan melewati Dassa dengan wajah yang sumringah.

'Putus?! Jadi gadis bodoh itu memilih putus dari Roy?! Ini... Ini di luar rencana gue!' gumam Dassa sambil mengacak acak rambutnya frustasi lalu berjalan setengah berlari menuju halaman belakang.

Langkahnya terhenti saat melihat Mutia menangis sendirian di sana. Ini sudah yang kesekian kali Dassa melihat Mutia menangis, dan itu membuat Dassa bertanya dalam hati, apa dia tidak lelah terus menangis? Amarah dalam diri Dassa tiba tiba menghilang, berganti dengan rasa bersalah yang dalam. Dassa memutuskan menghampiri Mutia.

Mutia yang menunduk melihat sepasang sepatu muncul di hadapannya, dia mendongakkan kepala. Dia buru buru mengusap wajahnya yang basah lalu berdiri hendak pergi tapi Dassa mengambil jemari Mutia. Sadar tangannya digenggam, Mutia langsung berbalik dan mendorong Dassa sekuat tenaga.

"Pergi! Pergi sejauh-jauhnya! Kamu udah ngancurin hidup aku! Kamu udah ambil segalanya yang aku punya! Kenapa?! Kenapa harus aku?!"

Dassa hanya berdiri, terdiam, bahkan tidak mampu berkata apa-apa.

Mutia menunjuk wajah Dassa, seraya berkata, "Kamu menjadikan aku alat balas dendam kamu! Seharusnya waktu itu aku gak perlu menolong kamu! Seharusnya aku biarkan saja kamu di sana. Aku menyesal, aku sangat menyesal pernah berpikir kamu adalah orang baik!" Mutia berjalan pergi sambil mengusap wajahnya, sedang Dassa masih berdiri terpaku.

Tapi yang barusan Mutia katakan entah mengapa membuat hati Dassa terasa sakit.

Mutia kembali ke ruangan kelas dengan wajah sembab, teman-temannya sedang membereskan buku karena kelas baru usai. Niken hendak bertanya ada apa dengan Mutia namun, Mutia hanya mengambil tasnya lalu keluar dari kelas tanpa sepatah kata pun. Mutia menyetop sebuah taksi dan pergi entah kemana pun yang pasti dia tak ingin berada di mana ada Dassa di sana.

Taksi yang Mutia tumpangi berhenti di lampu merah, tepat di depan sebuah apotik. Mutia memandang apotik itu lekat, dia menelan ludah dalam dalam. Dia takut, tapi dia harus membuktikan apa yang Nisa tuduhkan tadi.

"Pak, tunggu sebentar. Saya harus ke apotik membeli sesuatu." Kata Mutia lalu keluar dari taksi.

Dia masuk ke dalam apotik dan di sambut pramuniaga di sana, "Bisa kami bantu?"

"Hmm itu, saya ingin membeli beberapa alat tes kehamilan."

"Baik. Ditunggu ya..."

Mutia menyerahkan uang dan mengambil bungkusan itu lalu pergi, kembali melanjutkan perjalanan pulang dengan taksinya.

Suasana rumah masih sepi, hanya ada Bi Ijah yang sibuk membuat kue di dapur. Mutia masuk ke dalam kamar, dia duduk di sudut ranjang coba menenangkan kegelisahannya lalu ia keluarkan satu tespack dari bungkusnya. Kedua matanya sudah berkaca-kaca memandang alat itu ada di genggamannya.

Mutia masuk ke dalam kamar mandi. Ia pandangi tespack itu sambil menunggu hasilnya. Mutia berdiri, berjongkok, kadang berjalan memutari kamar mandi luasnya resah, dalam hati dia memohon pada Tuhan agar dugaan itu tidak terjadi, tidak akan pernah terjadi. Mutia berdiri lalu mendekati meja wastafel, dia ambil tespack itu gemetar.

Mutia memejamkan mata lalu membuka kedua matanya. Dia sudah mengeluarkan keberaniannya. Dia tidak mungkin hamil. Mutia yakin itu... tapi air matanya malah mengalir turun bersamaan dengan tespack yang terlepas dari jemarinya yang gemetar. Mutia tidak lagi bisa menahannya, dia berteriak kencang sambil menjambaki rambutnya.

Bi Ijah mendengar suara teriakan Mutia langsung meninggalkan adonan kuenya yang sedang dibuat. Bi Ijah mengetuk etuk pintu kamar Mutia yang dikunci dari dalam, tapi tidak ada jawaban. Tidak ada suara lain yang Bi Ijah dengar selain gemericik air. Bi Ijah kembali ke dapur dengan perasaan cemas, diam-diam dia memutuskan menelepon majikannya.

Lama Mutia menangis, hingga dia terduduk di lantai dan memandangi tespack itu. Ada dua garis merah yang menandakan jika di rahim Mutia telah hidup sebuah nyawa, milik Dassa.

Mutia membayangkan hari itu, hari di mana Roy memberikan kejutan, dan pertanyaan yang pasti membuat semua wanita di dunia ini merasa sangat bahagia mendengarnya, "Aku mau selamanya sama kamu..."

Mutia bahkan tidak bereaksi apa apa saat itu, tidak berusaha memberikan jawaban, tidak berusaha mencegah Roy agar tidak kecewa. Mutia tidak mampu, dan semakin tak bisa berbuat apa apa setelah ini dua garis merah ini. Mutia memeluk kedua lututnya dan kembali menangis. Hanya itu yang bisa dia lakukan.

Tiba tiba suara ponsel Mutia yang tergeletak di atas ranjang berdering, terus berdering memekakan telinga. Mutia coba berdiri, sambil mengusapi wajahnya yang entah seberantakan apa. Dia melihat nama Roy di ponsel. Dia genggam ponsel itu, ada perasaan untuk mengatakan yang sejujurnya... Apa yang terjadi padanya, apa yang sudah dilakukan Dassa...

"Hallo," kata Mutia.

"Aku mau kita ketemu sekarang," minta Roy.

"Aku... Aku gak bisa Roy," suara Mutia lirih, coba menyembunyikan sesegukannya yang takut terdengar oleh Roy.

"Apa sih mau kamu Mutia?! Kamu sengaja bersikap begini buat nyakitin aku, iya?! Kamu bisa bayangin gak gimana kecewanya aku?!"

"Roy... Aku... Kamu dengar dulu penjelasan aku,"

"Ya sekarang kita ketemu!" Suara Roy terdengar marah.

"Aku..."

"Kamu gak bisa?! Iya kan?! Jadi bener kata papaku kalau kamu cuma mau main-main kan sama perasaan aku?! Kamu gak tau gimana besarnya perasaan aku sama kamu?!"

"Roy... Denger aku dulu..." Nada Mutia memohon.

"Kalau kamu sayang sama aku, kamu gak akan diam begini, kamu akan berusaha kasih aku penjelasan! Aku kecewa sama kamu Mutia, aku kecewa!"

Tut...Tut...Tut...

Roy mematikan telepon itu lebih dulu.

avataravatar