webnovel

Alat Balas Dendam

Mutia perlahan membuka matanya, dia menemukan langit-langit yang berbeda dari sehari-hari ia membuka mata di pagi hari. Mutia terperanjat, dia langsung duduk sambil menarik selimut yang menutupi badannya. Air matanya tiba tiba jatuh, tanpa sempat berfikir apa yang telah terjadi selama dia tak sadar. Baju terakhir yang ia kenakan tergeletak di lantai, sedang dia saat ini mengenakan kemeja milik Dassa. Kemeja yang kemarin ia pakaikan pada Dassa ketika menolongnya.

Dassa melintasi kamarnya, langkahnya terhenti dan melihat raut Mutia yang shock dan pucat.

"Apa yang kamu lakuin ke aku semalam?! APA?!" Mutia marah dengan air mata berlinangan.

"Yakin kamu mau dengar semuanya?" Dassa menantang dengan senyum senangnya, lalu berjalan mendekati ranjang sedang Mutia buru-buru menarik badan dan selimutnya menjauh. "Lo cantik Mutia, dan gue baru sadar itu saat memandangi lo semalaman..." Goda Dassa sambil mencondongkan wajahnya dekat dengan wajah Mutia.

PLAKK!

Mutia langsung menampar Dassa sekuat tenaga. "Kenapa?! Apa salah aku sampai kamu tega?! KENAPA?! JAWAB!" Mutia hampir berteriak sambil memukuli wajah Dassa kemudian menangis sesegukkan sambil menutup wajahnya.

"Lo gak salah. Roy yang salah. Julian yang salah. Jadi lebih baik sekarang lo pulang, dan ceritain apa yang udah kita lakuin semalam ke Roy." Suruh Dassa.

Mutia menyadari sesuatu, kalimat terakhir yang Dassa ucapkan itu adalah alasan mengapa hal buruk ini menimpanya. Dassa sengaja menjadikannya alat balas dendam pada Roy, pada keluarga Roy. Sekali lagi Mutia menampar Dassa, dengan wajah marah dan air mata yang mengalir dari mata merahnya.

Dassa geram, sampai memplototi Mutia tapi melihat Mutia kembali sesegukan Dassa tiba tiba bangun dan berjalan pergi. Dia berdiri di luar kamar, mendengar dengan jelas tangisan Mutia. Dassa bersandar di dinding lalu memejamkan mata, berkata pada dirinya jika apa yang dia lakukan sudah benar. Roy pantas mendapatkan ini, lalu Julian akan terkena imbas kemarahan anaknya sendiri.

***

Mutia turun dari taksi, ia usap pipinya yang tak henti dialiri air mata walau dia sendiri sudah menekan kesedihannya, setidaknya di depan orang tuanya.

Ada perasaan takut yang teramat besar, karena ini pertama kalinya Mutia tidak pulang ke rumah tanpa kabar. Entah semarah apa ayahnya, semakin Mutia memikirkannya semakin air matanya tak bisa terbendung. Takut takut Mutia membuka pintu rumah, dia melihat ibunya tertidur di sofa.

"Bunda," panggil Mutia lalu bersimpuh di lutut ibunya.

"Mutia, Astagfirullah nak... Kamu kemana aja, semalaman bunda mencari kamu... Bunda takut ayah kamu lebih dulu pulang dan menanyakan kamu nak..."

"Maafin Mutia bunda... Maafin mutia," tak ada kalimat lain yang bisa Mutia ucapkan selain itu.

"Kamu kemana semalam?" Tanya Bunda.

"Mutia... Mutia nemenin Roy di rumah sakit semalaman," jawab Mutia tanpa berani menatap mata bundanya.

"Ya sudah, untung ayah kamu tidak pulang semalam karena ada kasus yang harus dia tangani..."

Mutia masuk ke dalam kamar setelah memberi penjelasan pada Bunda, dan ia terpaksa berbohong. Mutia mengunci pintu kamarnya dari dalam, kemudian masuk ke dalam kamar mandi, dia berdiri di bawah pancuran air yang menyala. Dia mengacak-acak rambutnya frustasi, sedang air matanya menyatu dalam aliran air. Mutia merasa jijik dengan dirinya sendiri, dia sebut dirinya sendiri bodoh! Bodoh karena terlalu ikut campur pada masalah yang bukan masalahnya.

Dan sekarang ia ikut terseret, ia menjadi korban, kesuciannya direnggut dengan alasan balas dendam di saat Mutia hendak membantu Dassa agar Dassa tidak lagi dendam pada Roy.

Mutia berteriak tanpa suara sambil menjambaki rambutnya di bawah aliran air. Mutia tidak keluar dari kamar, bahkan tidak memberi jawaban saat Bi Ijah mengetuk pintu kamarnya beberapa kali. Mutia duduk di bawah ranjang, membiarkan air matanya terus mengalir. Wajah Mutia yang jelita terlihat kusut, semalaman ia tidak bisa memejamkan mata, dia masih memikirkan kejadian buruk itu.

Tak sengaja dia melihat ponselnya yang keluar dari dalam tasnya yang terjatuh di lantai. Ada puluhan panggilan tak terjawab, juga banyak chat yang semuanya dari Roy.

Air mata Mutia mengalir lagi, dia genggam ponsel itu, seakan dia bisa memeluk pengirim pesan itu dan menceritakan apa yang terjadi padanya, apa yang Dassa lakukan padanya, dan Mutia yakin Roy akan membalaskan semua perlakuan itu tapi Mutia hanya berakhir sesegukan tanpa suara. Dia tak bisa, dia tak mungkin bisa menceritakannya karena itulah tujuan utama Dassa. Itu yang Dassa mau dan lagi Mutia takut terjadi sesuatu pada Roy.

Satu satunya cara membalas Dassa adalah melakukan hal sebaliknya dari apa yang Dassa harapkan. Mutia mengusap air matanya, dan bersiap pergi ke kampus seakan tidak pernah terjadi apa apa.

Turun dari bus di halte tak jauh dari pintu gerbang kampus seperti biasanya, Mutia menoleh dan melihat Roy bangun dari duduknya. Roy sudah lebih baik, wajahnya hanya menyisakan satu plester di sudut bibirnya dan lebam lebam yang hampir menghilang dari pipinya.

"Mutia," panggilnya sambil berjalan mendekati.

Mutia gugup, dia melangkah mundur saat Roy berhenti di hadapannya. Bahkan saat Roy hendak menggandeng tangannya, Mutia buru buru menggenggam tali tas slempangnya erat.

"Kamu bilang, kita harus backstreet kan?" Kata Mutia saat menyadari Roy merasa aneh dengan sikapnya.

Bus lain berhenti, dan seseorang turun. Sepasang mata itu bertemu sejenak, tapi Mutia memutuskan mengalihkan padangannya pada Roy. Air matanya kembali mengaliri pipi.

"Hei, kok nangis? Ada apa?" Tanya Roy sambil mengusap pipi Mutia dengan punggung tangannya. "Kita gak akan backstreet lagi, semestinya aku gak perlu melakukan itu. Aku akan jaga kamu dari siapapun," kata Roy.

Dassa berjalan masuk ke dalam, lalu menoleh melihat Mutia dan Roy sedang berbincang. Dia sudah tak sabar, menyambut kemarahan Roy. Dassa sengaja duduk menunggu di kantin. Banyak yang memperhatikan wajah Dassa yang masih dipenuhi lebam, mereka tak kaget.

Dassa memang terkenal sebagai preman yang memunguti uang uang pedagang di pinggir jalan, dia juga suka bertanding di Ring Hitam demi mendapatkan uang taruhan para penonton, jadi melihat wajahnya yang penuh lebam tak ada aneh. Kecuali setelah Roy muncul dan menampakan wajah juga penuh luka, barulah mereka berfikir dua sepupu ini mungkin habis berkelahi seperti yang sudah sudah.

Nisa juga berada di kantin, dia sedang memesan jus apel. Dia minum jus itu sambil berjalan menuju bangkunya dan, "UHUUKK UHUUUK!"

Jus apel itu seperti apel utuh yang hendak ditelannya bulat bulat saat melihat Roy menggandeng Mutia masuk ke dalam kantin. Dassa juga melihat pemandangan yang sama dengan Nisa, dan dia menyembunyikan kepalan tangannya di bawah meja. Roy melihat wajah geram Dassa dan dia tak peduli, dia angkat wajahnya tak gentar.

"Kamu mau makan apa?" Tanya Roy.

Mutia menunduk, tangannya dingin, berada dekat dengan Roy semestinya bukan hal yang aneh, tapi hari ini setelah kejadian itu... Mutia masih merasa jijik pada dirinya sendiri  Meski kadang dia merasa semuanya seperti mimpi dan mungkin memang mimpi buruk, namun hati kecilnya seakan terus berteriak,

'Dassa sudah memperkosamu! Setelah Roy tau, dia juga akan meninggalkanmu! Kebaikannya hari ini karena dia mengira kau masih suci Mutia...'

Tiba tiba Mutia melepaskan genggaman tangan Roy, "Aku mau ke toilet dulu," Mutia berjalan cepat meninggalkan kantin. Diam diam Dassa juga ikut keluar dari kantin, dia berjalan mengikuti langkah Mutia menuju lapangan belakang kampus. Mutia duduk di kursi kayu yang ada di luar lapangan, dia menutup wajahnya dan menangis tanpa suara.

"Mutia! Kenapa lo gak bilang sama anak cengeng itu soal apa yang gue lakuin ke lo semalam!" Kata Dassa dengan nada kesal.

Mutia menghentikan tangisnya, dia menengadah melihat wajah Dassa penuh benci. "Jangan mimpi kamu! Karena aku gak akan! Gak akan pernah mengadu pada Roy atau siapapun atas apa yang kamu lakukan!" Tegas Mutia sambil menunjuk wajah Dassa.

Dassa naik pitam mendengar kata-kata Mutia, dia menepis jari telunjuk Mutia kasar seraya berkata, "Lo benci kan sama gue?! Gue memperkosa lo, gue yang lakuin itu ke lo, sekarang lo tinggal bilang ke Roy apa susahnya sih!" Dassa terbakar emosinya.

Mutia menahan air matanya, sejujurnya dia tak sanggup mendengar Dassa mengungkit soal semalam, tangan Mutia hendak menamparnya lagi tapi dia menahan diri. Mutia malah tersenyum nanar saat melihat amarah mulai menguasai Dassa.

"Walaupun kamu yang menceritakan soal itu ke Roy, aku tidak akan mengakuinya dan Roy tidak akan percaya..." Kata Mutia lirih, semakin membuat Dassa geram.

"Jangan bodoh Mutia! Lo bilang sekarang ke Roy! Karena gue gak mau punya rasa bersalah ke lo!" Kata Dassa dengan nada tinggi.

Roy celingukan mencari Mutia, dan dia melihat Nisa sedang berdiri di balik pohon seperti sedang mengintip sesuatu. Roy mendekati Nisa, dan melihat apa yang sedang menjadi tontonan Nisa sedari tadi tak lain ialah, Mutia yang sedang berdebat dengan Dassa.

"Nisa! Lo tau ada orang berantem bukannya nolongin malah diliatin aja!" Sergah Roy sambil melewati Nisa dan mendekati Mutia.

Roy menarik lengan Mutia agar berdiri di belakangnya sementara tangan satunya mendorong pundak Dassa agar menjauh dari kekasihnya. Mutia tersentak karena kedatangan Roy yang tiba tiba.

"Dia ngapain kamu?!" Tanya Roy. Sementara Dassa sudah menatap tajam Mutia, berharap semuanya dia ceritakan sekarang, saat itu juga.

"Aku cuma ngasih pelajaran ke dia supaya dia gak nyakitin kamu lagi," jawab Mutia.

Dassa hendak menghampiri Mutia tapi di tahan oleh Nisa yang tiba-tiba datang, "Dassa apaan sih, kamu mau nyakitin cewek?!"

Dassa dan Mutia saling melempar tatapan benci. Tapi Mutia tersenyum tipis, senang rencananya berhasil. Sementara Nisa memandang Mutia heran, atas apa yang diam diam dia dengar soal kejadian kemarin dan Mutia masih bisa berdiri tegak hari ini bahkan melawan Dassa.

Mendengar kata kata kekasihnya, Roy menoleh memandang Mutia. "Selama aku hidup, aku gak akan biarin siapapun nyakitin kamu, Roy." Kata Mutia tanpa keraguan sedikitpun.

Dassa memutuskan pergi, sementara Nisa mengikuti di belakang. Dia menendang pohon kuat, dan menjatuhkan buah buah mangga yang tak sengaja malah menjatuhi kepala Nisa.

"Ngapain lo ngikutin gue?! Mestinya lo tetep di sana, lo juga suka kan sama Roy?!" Celoteh Dassa.

"Gue denger semua yang lo omongin sama Mutia." Sambar Nisa.

Dassa diam, memandang Nisa curiga. "Gue gak nyangka lo benar benar melakukan ide gila itu. Tapi gue janji gak akan cerita siapa-siapa, gue tinggal duduk manis dan nunggu waktu kapan rahasia itu terbongkar... Setelah itu baru deh gue muncul, sebagai seseorang yang akan mengusap air mata Roy," kata Nisa lalu berbalik dan meninggalkan Dassa sendirian.

Next chapter