19 Amamiya Ryuki Mulai Membantu (3)

Cahaya matahari yang kemerahan menembus kaca jendela kelas 2-D. Tadinya kupikir tidak ada seorang pun di kelas ini karena sekolah sudah hampir ditutup, tapi ada seorang gadis yang kukenal sedang berdiri di dekat jendela bagian depan kelas. Dia adalah Fuyukawa-san. Dia tidak mengenakan pakaian olahraga. Kupikir dia ada latihan basket hari ini, tapi sepertinya aku salah. Ah, mungkin dia baru saja membersihkan kelas karena jadwal piketnya di hari Jumat. Pantas saja sekarang kelas terasa lebih bersih.

Fuyukawa-san sedang melihat ke luar jendela, seperti memandangi sesuatu yang letaknya sangat jauh.

Di situasi seperti ini, apa yang harus kulakukan? Mm… lebih baik kucoba untuk menyapa dirinya. Lagi pula sekolah akan ditutup, sekalian saja memberitahunya. "Fuyukawa-san… sedang apa? Sekolah akan ditutup." Aku sedikit gugup saat menyapanya karena tidak ada orang lain di sini, hanya kami berdua.

Fuyukawa-san sedikit terkejut saat dia tahu kalau ada aku di kelas. Pandangannya sekarang mengarah ke arahku.

"Ah… Amamiya-kun, ya? Tidak, hanya memikirkan sesuatu. Wah sudah hampir pukul enam. Harus segera pulang." Fuyukawa-san menuju ke mejanya, di mana tasnya diletakkan.

Fuyukawa-san memang terlihat sedang memikirkan sesuatu yang membuatnya murung seperti tadi siang.

Entah kenapa, aku tidak ingin dia membuat ekspresi seperti itu. Sama sekali tidak cocok dengan sifatnya yang periang itu. Seperti menjadi orang lain.

Apa dia memiliki suatu masalah yang tidak bisa diceritakan kepada temannya?

Mungkin dia memerlukan waktu untuk memikirkannya. Dengan demikian, masalah yang ada pada dirinya bisa diselesaikan.

Aku menuju ke mejaku untuk mengambil buku catatan yang tinggal, lalu berjalan ke arah pintu meninggalkan Fuyukawa-san sambil berkata, "Kalau begitu, aku pulang duluan. Sampai jumpa besok."

Tiba-tiba, Fuyukawa-san memanggil namaku. "Amamiya-kun."

Aku yang hendak pergi meninggalkan kelas menjadi berhenti karena Fuyukawa-sanmemanggil namaku. Aku pun menoleh ke arahnya. Dia berdiri menghadapku dengan pandagannya ke bawah. Aku tidak tahu ekspresi apa yang sedang terpasang di wajahnya yang cantik itu. Saat pandangan seseorang mengarah ke bawah, bukan ke wajah lawan bicaranya, maka bisa dikatakan kalau dia sedang gugup. Mungkin ada sesuatu yang ingin dikatakannya kepadaku.

"Iya? Ada apa, Fuyukawa-san?"

"Amamiya…-kun… Begini…"

"Ya?"

Kata yang dikeluarkan dari mulutnya itu terputus-putus. Aku hanya bisa menunggu apa yang sebenarnya ingin dikatakannya.

"…maukah kamu… menjadi… temanku?"

Apa yang keluar dari mulutnya itu mengejutkanku. Dari awal, memang aku tidak menganggapnya sebagai teman, hanya sekedar kenalan dan rekan perwakilan kelas. Tapi, apa yang telah dikatakannya tadi membuatku berpikir kembali. Sejak hari pertama bertemu dengannya, mungkin aku telah berpikir agar bisa berteman dengan orang seperti dirinya. Sejak tahu kalau dirinya murid populer di sekolah ini saat pertama kali makan siang bersamanya, kuurungkan niatku itu.

Beberapa kali kucoba untuk membatasi diriku dengan dirinya, namun itu tidak bisa. Dia terus datang dan mencoba untuk masuk ke duniaku.

"Sebenarnya sejak awal bertemu denganmu di loker sepatu, saat kamu menyapaku saat itu, mungkin aku telah berpikir untuk bisa berteman dengan orang sepertimu. Tapi, entah kenapa aku tidak bisa. Orang-orang di sekitarmu seperti membuat dinding agar aku tidak dapat masuk untuk berbaur denganmu. Walaupun itu mungkin hanya sekedar imajinasiku semata. Kamu juga orang yang populer kan, Fuyukawa-san? Aku takut merusak reputasimu karena berteman denganku. Jadi begini, aku sebenarnya ingin berteman denganmu, tapi aku tidak bisa." Entah apa yang kukatakan, aku sendiri tidak paham.

"Amamiya-kun, jawab pertanyaanku. Aku ngga ingin alasan. Berikan aku jawabannya." Fuyukawa-san mengalihkan tatapannya ke wajahku. Wajahnya sangat serius, tetapi seperti sedih.

"Baiklah." Kutarik napas dan menghembuskannya. Lalu kujawab, "Aku ingin kamu, Fuyukawa-san, menjadi temanku."

"Aku juga ingin berteman denganmu, Amamiya-kun. Aku tidak peduli apa yang orang lain katakan. Aku ingin ..."

Suaranya mengecil, membuatku tidak mendengar apa yang dikatakannya di akhir tadi.

Apa yang harus kulakukan sekarang?

Kami berdua sudah mengatakan keingingan kami masing-masing, yaitu berteman. Apa harus diakhiri di keadaan seperti ini? Aku tidak tahu.

Kami berdua terdiam hingga terdengar suara bel yang memecah kesunyian. Sekolah akan ditutup. Sudah waktunya untuk pulang.

"Fuyukawa-san, ayo kita pulang."

"Ah, iya."

Kami berdua keluar dari kelas, menuruni tangga dan menuju ke gerbang sekolah. Terlihat banyak murid yang sudah mulai meninggalkan sekolah, khususnya murid yang berasal dari klub olahraga.

Aku berhenti saat tiba di depan gerbang sekolah. Aku tidak tahu ke arah mana jalan pulang Fuyukawa-san. Begitu juga Fuyukawa-san yang tidak tahu ke mana arahku pulang. Kami dari tadi tidak berbicara sepatah kata pun. Kucoba untuk bertanya ke mana arah pulangnya.

"Fuyukawa-san, kamu pulang ke arah mana?"

"Ke arah Hachiyamacho. Kalau kamu, Amamiya-kun?"

"Kalau aku, Daikan'yamacho."

"Wah, ternyata kita tetanggaan."

Senyuman mulai kembali menghiasi raut wajah Fuyukawa-san. Senyuman itu seperti membawa perasaan nyaman, hal yang sama saat berbicara dengan Fuyukawa-san yang biasanya, Fuyukawa-san yang periang dan ceria.

"Benar kah? Aku belum terlalu tahu."

"Iya. Ah, itu wajar karena kamu baru saja pindah ke sini, Amamiya-kun."

"Benar juga."

"Kalau begitu, ayo pulang bareng."

"Eh? nanti kalau ada yang lihat, bisa jadi gosip yang tidak baik."

"Ngga, kok. Tenang saja, Amamiya-kun. Yuk, kita pulang."

"Ah, um, baiklah. Ayo."

Kami pun pulang bersama karena arah pulang yang searah.

Di perjalanan pulang, aku hanya diam, begitu juga dengan Fuyukawa-san yang berjalan di sampingku. Padahal tadi kami berbicara saat di gerbang, tetapi sekarang menjadi diam lagi. Mungkin, karena apa yang terjadi di kelas tadi, membuat kami canggung.

Kami tiba di tempat favoritku, berjalan di trotoar di samping sungai yang berhiaskan deretan pohon sakura. Bunga-bunga sakura di ranting pohon terlihat semakin berkurang. Sebentar lagi bunga sakura akan gugur dan musim panas akan segera datang.

Kukeluarkan semua keberanianku untuk menghilangkan kecanggungan ini dengan mengajaknya bicara.

"Tidak terasa kalau bunga sakura sebentar lagi akan gugur, ya..."

"Iya. Meskipun begitu, kita akan tetap bisa melihatnya lagi di musim semi selanjutnya." Fuyukawa-san menjawabnya dengan nada yang pelan.

"Sejak aku pindah ke sini dari Nagano, di sepanjang sungai yang berhiaskan pohon sakura ini menjadi tempat favoritku." Aku berhenti, lalu memegang pagar besi pembatas trotoar dengan sungai.

"Oh, begitu ya. Memang sih pemandangan di sini indah, dan juga searah dengan arah sekolah. Bisa lihat setiap hari." Fuyukawa-san berdiri di dekatku, lalu memegang pagar pembatas juga.

"Iya, kan? Walaupun saat ini hanya berdiri di sini, tapi bagiku terasa seperti melakukan hanami bersama Fuyukawa-san." Pandanganku tertuju ke arah bunga sakura di bagian paling atas pohon.

"…" Fuyukawa-san terdiam.

Kulihat ke arahnya yang sedang melihat ke arah langit. Dengan bermandikan cahaya senja yang tinggal sedikit ini, wajahnya yang putih itu seperti menyerap cahaya senja itu yang membuat wajahnya menjadi sedikit kemerahan. Di bawah langit ini kami mentap hal yang sama, pandangan yang jauh tanpa kami ketahui apa yang sebenarnya kami harapkan.

Cahaya matahari semakin meredup, malam yang gelap pun tiba.

Lampu-lampu di jalan dan trotoar sudah menyala dan menyinari area sekitarnya.

"Ayo kita pulang." Aku melepas pagar pembatas ini.

Kami pun melanjutkan perjalanan kami untuk pulang ke rumah kami masing-masing, menyusuri trotoar di samping sungai ini. Sesekali kulihat ke arah Fuyukawa-san, sepertinya dia sudah kembali ceria seperti biasanya. Namun, hal itu membuat Fuyukawa-san penasaran sehingga dia bertanya padaku.

"Ada apa, Amamiya-kun? Dari tadi kamu lihat ke arahku."

"Tidak, begini, sepertinya kamu sudah kembali ceria seperti Fuyukawa-san yang biasa kulihat."

"Eh, memangnya aku terlihat seperti apa tadi?" Fuyukawa-san mempercepat langkahnya dan berdiri di depanku dengan raut wajah penasarannya dan menggembungkan pipinya.

Aku pun berhenti.

Apa ini? Sangat manis.

"Etto…" Aku memalingkan pandanganku dari dirinya sambil menggaruk kepalaku. Lalu kulanjutkan, "Tadi di waktu istirahat makan siang saat aku keluar dari kelas dengan Hiroaki, kulihat wajahmu sedikit murung, Fuyukawa-san. Juga, saat tadi sepulang sekolah di kelas, wajahmu terlihat sedikit sedih."

"Amamiya-kun no baka."

"Eee… Apa aku melakukan hal yang buruk?" Aku berhenti memalingkan pandanganku.

Sekarang giliranku yang menatap Fuyukawa-san dengan penasaran. Namun, saat aku melihatnya, dia membelakangiku.

"Tidak ada. Hanya saja, Amamiya-kun, kamu memperhatikannya, ya?"

"Um, ya. Sesekali."

"…"

Fuyukawa-san terdiam tanpa mengatakan sepatah kata pun saat aku menjawabnya. Memang benar, sesekali kulihat ke arah Fuyukawa-san. Setiap harinya pasti kulihat ke arahnya. Aku tidak tahu kenapa. Mungkin sejak dari awal bertemu di loker sepatu itu yang menjadi pemicunya. Apa aku tertarik dengannya? Terlalu cepat untuk menemukan jawabannya. Semua orang pasti tertarik dengan orang seperti Fuyukawa-san. Buktinya, dari semua yang kuperhatikan, Fuyukawa-san selalu dihormati dan disanjung tinggi di sekolah, khususnya murid kelas dua. Tidak aneh kalau ada beberapa murid laki-laki yang menyukainya.

Aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi sekarang. Kurangnya pengalamanku dalam hubungan pertemanan dengan para gadis yang membuatku seperti ini. Hubunganku dengan para gadis hanya sebatas teman sekelas dan hanya membicarakan tentang sekolah. Karena itulah, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan sekarang.

Keadaan seperti ini sering terjadi di manga yang kubaca. Mungkin ada sesuatu yang bisa kukatakan atau bisa kulakukan saat ini. Coba kupikir sebentar.

Kami telah mengatakan untuk menjadi teman. Hal yang harusnya dilakukan saat ingin menjadi teman seseorang atau ingin mempererat hubungan pertemanan seseorang yaitu komunikasi. Memberitahu nomor ponsel dan Chat ID adalah salah satunya.

Kalau kuingat-ingat, aku belum punya nomor ponselnya Hiroaki, Namikawa-san, dan Kayano-san. Baiklah, kalau begitu kucoba untuk memintanya ke Fuyukawa-san.

"Fuyukawa-san."

"Ya?" Fuyukawa-sankembali melihat ke arahku.

"Apa kamu keberatan memberiku nomor ponsel dan Chat ID-mu?"

"Tentu saja ngga. Malahan dengan senang hati." Fuyukawa-san mengeluarkan ponselnya dari dalam tasnya.

Kami pun akhirnya memberitahu nomor ponsel masing-masing dan juga ID Chat LINE. LINE memang sangat terkenal dan praktis.

「冬川雪奈」-Fuyukawa Yukina-adalah kontak pertama dari murid kelasku yang tersimpan di ponselku. Semoga nantinya di ponsel ini terisi kontak-kontak ponsel orang lain.

Fuyukawa-san terlihat senang sambil mengangkat ponselnya hingga di depan wajahnya, lalu tersenyum. Aku pun ikut tersenyum melihat senyumannya yang manis itu. Setelah itu, kami lanjutkan perjalanan kami untuk pulang.

Hari pun semakin gelap. Kami mengucapkan selamat tinggal dan berpisah di jalan yang terbagi dua yang memisahkan arah tujuan Daikan'yamacho dan Hachiyamacho. Aku pun terus berjalan sambil memikirkan makanan apa yang akan kubuat untuk makan malam hari ini hingga sampai di apartemenku.

Karena daging masih ada, lebih baik buat makanan dari daging saja.

Ya, harus daging. Harus.

Sebagai hari resmi memulai hubungan pertemanan dengan Fuyukawa-san.

avataravatar
Next chapter