1 Hujan;

Hujan; rintik air yang jatuh membasahi bumi, banyak orang yang menyukainya, menganggap itu berkah, yang menyukai ketika dirinya ditimpa rintik hujan, tapi tak jarang juga, ada orang yang tidak menyukai hujan, atau bahkan membencinya, seperti, hujan itu membawa bencana, banjir salah satunya, dan hujan hujanan, bisa membuat seseorang sakit,

Salah satunya Clara, dia membenci hujan, menurutnya, hujan itu pembawa sial.

Dan dirinya tidak tinggal di negara 4 musim, siklus setiap harinya kalau tidak panas, ya hujan.

Mungkin saat musim panas, Clara adalah gadis periang, ramah pada semua orang, terbilang mahasiswi cerdas di kampusnya, tapi Setiap kali hujan datang, Clara hanya melakukan pekerjaan yang harus dikerjakannya, lalu mengurung diri di kamar, dan yang Clara benci, saat dirinya diam, selalu ada memori buruk yang tiba tiba datang, menghantui benaknya,

Clara punya banyak kenangan buruk tentang hujan, yang mungkin, tak akan pernah ia lupakan.

Beruntungnya hari ini cerah, tidak begitu panas. Clara berjalan pelan menuju ke gedung kampus, sambil sekali kali menyapa orang disekitarnya,

"ara !"

Mendengar namanya dipanggil, Clara menoleh.

"tugas kemaren udah beres ?"

Clara mengangguk, sambil terus berjalan kearah ruang kelas.

"liat dong, meni lieur initeh udah muter muter semaleman, dua paragraf lagi,"

"muter muter semaleman ama Bima maksudnya ?" celetuk Clara sambil mendudukkan diri di nbangku.

Gadis ini, namanya Tifany, hanya nyengir kuda. Tifany salah satu teman dekat Clara sejak tahun pertama kuliah, tapi sampai sekarang, Tifany tidak pernah tahu alasan kenapa Clara membenci hujan. Dan Tifany tidak pernah bertanya, karena menurutnya, itu memang rahasia Clara, meskipun Tifany teman dekatnya, tetap saja ada rahasia yang tidak perlu diketahui satu sama lain.

"ntar sore anterin ke ABC ya" pinta Clara.

"ngapain ? jauh tau" Tifany menjawab sambil menyalin tulisan Clara ke bukunya

"mampir ke ko leo, sekalian beli alat lukis" Clara nyengir

"eh iya, setelah kamu putus sama si devan teh, udah gapernah ngelukis lagi kan ya"

Clara mengangguk, "terus kenapa ?"

Tifany menggeleng, "gapapa sih, bisi gara gara si devan mutusin kamu, terus tiba tiba trauma melukis"

"gaada hubungannya sama si devan ih, ngaco banget. Pokonya anterin ya, ya ya ya" mohon Clara seperti anak kecil yang meminta permen pada ibunya

"ntar ditraktir makan tepanyaki dehhh"

"heem heem, dianterin"

***

"ehh ci Clara, kemana aja ? ga keliatan wae"

Panggilan itu, 'cici', Cuma beberapa orang yang memanggil Clara dengan sebutan Cici, dirinya memang memiliki darah tionghoa, tapi kebanyakan orang yang dia kenal memanggilnya Ara.

"ada ah, tio mereun yang jarang keliatan" Clara terkekeh pelan

"koh leo mana ?"

"ada didalem, bentar, panggilin dulu" laki laki bernama Tio itu masuk

Toko ini berletak di jalan ABC bandung, kecil, tapi isinya terbilang lengkap, dan harganya murah, Clara dulunya sering kesini, membeli alat alat melukis, juga mengenal baik pemilik tokonya, koh Leo, yang sudah hampir 40 tahun berjualan, dan satu yang khas dari Toko Diva ini, kemanapun melangkah, selalu ada wangi dupa yang semerbak.

"si tio mana ?" seorang laki laki yang tiba tiba ada dibelakang Clara, bertanya,

"kedalem" jawab Clara sambil membuka Handphone-nya.

"kak Wira ?" Tifany mengenal orang dibelakang Clara.

Clara yang tadinya memainkan handphone menoleh kearah Tifany, bingung juga kenapa Tifany mengenali laki laki dibelakangnya.

Laki laki itu hanya mengerutkan alis, mungkin sama bingungnya dengan Clara.

"anak manajemen patiseri kan ?"

"kalian anak enhai juga ?" laki laki bernama Wira itu balik bertanya.

Tifany dan Clara mengangguk bersamaan,

"pantes mukanya ga asing, jurusan apa ?"

"manajemen bisnis pariwisata,"

Wira ber-oh pelan,

"Clara ! lama ngga kesini," Koh Leo muncul dari balik pintu.

"koh sehat ?"

"ah, tidak usah ditanya pun oe sudah pasti sehat"

"nih, Clara bawain barang barang kesukaan koko" Clara menyodorkan kantong kresek yang dijinjingnya.

"aih, makasih banyak, mau nyari apa kesini ?"

"kanvas, yang kemarin udah dilukis semua"

Koh Leo bergerak gesit menunjukkan beberapa kanvas pada Clara,

"eh, gimana kau sama si Devan ?"

"udah putus ko," ucap Clara santai.

"eh, sudah putus ? perasaan terakhir kali kau kesini sama dia kan ?"

Clara mengangguk pelan, memang, terakhir kali dirinya kesini, saat Clara masih bersama Devan, ah, Devan lagi, Devan lagi, Clara tidak pernah mau mengingat nama itu lagi, tapi tetap saja, memori itu menghampiri benak Clara dengan sendirinya.

"ini barang baru, bahannya bagus, warnanya juga lebih bersih" untungnya koh Leo cepat mengalihkan pembicaraan.

Clara mengambil beberapa kanvas sesuai ukuran yang diinginkannya, lalu bergeser ke rak kuas,

Clara mengambil 2 kuas dengan ukuran yang berbeda.

"tif gamau ?"

"kan akumah gapunya bakat lukis, ngegambar aja kaya anak TK" Tifany tertawa pelan

"udah deh koh, ini aja"

"kanvasnya dua itu, tiga puluh delapan ribu, kalau kuasnya ambil saja, hitung hitung kau bayar pake ini" Koh Leo mengacungkan plastik yang tadi dibawa Clara

Clara menyodorkan dua lembar uang 20.000, lalu menyerahkannya ke koh Leo.

"makasih lah, sering sering datang kesini, kau kan sudah oe anggapp jadi anak perempuan sendiri, masa jarang kesini"

Clara hanya tersenyum, "iya koh,"

***

"ra kok kamu bisa deket sama koh leo ? gara gara sering bawain dupa ?" Tifany bertanya tiba tiba

Clara menggeleng, "bukan karena dupa, tapi karna hujan."

Tifany mengerutkan alis, dia tau, orang disebelahnya saat ini membenci hujan.

"satu satunya orang yang tau kenapa aku benci hujan itu Cuma koh Leo, karna kita ketemu waktu hujan lagi deras derasnya"

Tifany diam, mendengarkan dengan saksama, sambil berharap Clara memberikan jawaban yang selama ini dia ingin tahu.

"waktu itu tu hujan lagi deras banget, dan kebetulan aku lagi di daerah ABC situ, niatnya nyari tanaman gantung buat omaku,"

"oma ?"

"omaku dulu tinggal di lengkong, tapi sekarang udah gaada" jelas Clara.

"karena mau neduh, aku nyari tempat dong, waktu itu penuh banget dan badanku kecil gini, kedorong dorong gitu sama orang, terus didepan toko tadi ada kaya tangga kecil satu gitu kan ?"

Tifany mengangguk ngangguk

"kepeleset disitu, masuk kedalem toko,"

Tifany ber-oh pelan,

***

"weh, hati hati, diluar kalau lagi hujan deras begitu kan suka desak desakan" Koh Leo membantu Clara berdiri

Clara menatap sekitar, toko ini menjual alat alat melukis, salah satu hal yang Clara sukai. Dan hal paling pertama yang Clara hapal dari toko ini, wangi dupa yang semerbak.

"eh, makasih, ko" Clara berbalik, kembali menatap hujan dan kerumunan orang yang berebut tempat berteduh.

"oe tau, kau ini gasuka sama hujan kan ?"

Clara kembali menoleh, wajahnya seolah berkata 'kok bisa tahu ?'

"kelihatan dari muka kau waktu natap hujan itu, mata kau seperti nyimpan dendam sama rintikan air dari langit"

Clara tersenyum tipis,

"oe juga kalau hujan suka keingat sama anak oe, dia ketabrak waktu hujan lagi deras sekali"

"aku kalau hujan keingat mama sama papa," Clara ikut bercerita.

"ah, daripada cerita cerita disini, mending kau masuk kedalam, oe punya teh hangat, sekalian berdoa dulu, biar hujannya cepat berhenti, biar hatimu tenang juga" Tawar koh Leo,

Clara mengangguk.

***

"ngga lama setelah itu, hujannya berhenti, aku beli alat alat lukis disana, terus pulang,"

"jadi selama ngeteh itu kamu cerita cerita ?"

Clara mengangguk

"kita juga kan pertama kali ketemu waktu hujan ra, kenapa kamu ga cerita juga ?"

"karnaa.... waktu pertama kali kita ketemu, kamu malah bilang.."

***

"eh kamu masih disini ? kenapa nangis ?"

Clara buru buru menghapus air matanya,

"kenalin, aku Tifany, kita satu kelas kan tadi ?"

"Clara"

Hening sesaat, tak ada yang tau harus berkata apalagi.

"aku benci sama hujan" lirih Clara pelan, matanya menatap hujan dari jendela.

"loh kenapa ?" hujan kan bawa berkah, terus, dibalik hujan, ada anak anak yang bisa seneng kalau badannya kena rintikan air"

***

"dari situ aku tau, karena kamu gapunya memori buruk soal hujan, dan kamu nganggep hujan itu biasa aja, aku yakin kamu gabakal ngerti, beda kan sama koh leo, dia punya kenangan buruk tentang hujan, sama kayak aku, makanya dia ngerti,"

"gimana kalo kita pinjem mesin waktunya doraemon, terus balik ke masa lalu, aku gabakal ngomong gitu deh"

"udah telat, kan aku udah tau" Clara terkekeh pelan.

"eh tif, kelewat dikit ih" Clara melirik sekitar, lalu berbalik arah,

Mereka berdua saat ini tengah berjalan menyusuri Cibadak, mencari kedai tepanyaki yang biasa Clara datangi

"serius nih mau nraktir ?" tanya Tifany begitu keduanya memasuki kedai Tepanyaki

"serius dong, kan udah dianterin"

Clara mengambil salah satu kursi, lalu duduk.

Setelah memesan beberapa menu, Clara mengeluarkan ponselnya, membalas beberapa chat yang masuk, sambil menunggu makanan datang.

Ekor matanya melihat seseorang, entah kenapa rasanya familiar, Clara sedikit menjauhkan ponselnya, berusaha fokus kearah seseorang itu, seseorang yang tengah berjalan, seseorang yang sepertinya, Clara kenal baik, Seseorang dari masa lalu Clara,

"Oy, ngeliatin apaan sih ?" Tifany membuyarkan lamunan Clara.

"eh, ngga kok, itu, mirip sama adikku" ucap Clara asal. Tifany menoleh kearah yang barusan ditunjuk Clara menggunakan dagunya.

Tifany melihat ada seorang perempuan berambut panjang, matanya yang sipit menandakan orang itu mungkin memiliki darah tionghoa, "adik kamu kan cowo, ra" Tifany mengerutkan alis

"iya, yang cowo disana tuh, mirip tau" Clara berkilah,

Tifany menoleh lagi, menemukan seorang laki laki, yang menurut Tifany, tidak mirip sama sekali dengan Kevin, adik Clara.

"ngga mirip, ra"

"mirip tau," Clara melanjutkan aktivitas bermain handphonenya.

"ah kamu kangen aja kali, liat yang sepantaran kevin aja langsung keinget"

Clara tersenyum tipis

avataravatar