1 Apa ini???

"Kenapa..." Aku mengeluh melihat opera sabun yang sedang tayang di televisi didepanku. "Para pemeran pembantu lebih terlihat menarik dari pada pemeran utamanya?"

"Pemeran utamanya menarik kok." Ucap Caya yang berada disebelahku.

"Itu gara-gara kamu suka dia. Kenapa semua tontonan isinya orang dengan wajah yang terlihat baik?"

"Apa maksudmu?" tanya Adin yang sedari tadi fokus menonton televisi.

"Iya, maksudnya apakah tidak ada pemeran tampan tapi berperan sebagai pria acuh tapi perhatian?"

"Lebih baik kamu yang menulisnya Din. Jangan berisik! Aku lagi fokus!" Caya meringis disebelahku dan aku hanya memajukan bibirku memasang wajah cemberut. Adin hanya melihat kami berdua dengan senyuman kecil.

Aku Dina dan saat ini aku sedang bersama kedua temanku Adinda dan Cahaya. Kita bukan sahabat yang berteman selama bertahun-tahun, hanya teman kenalan saat masuk kuliah. Orang-orang yang baru kenal selama beberapa bulan dengan pertemuan yang tidak tentu.

Saat ini kami sedang berada di markas kami yaitu asrama Caya atau Cahaya. Kami sedang menonton opera sabun yang sedang tayang di televisi Caya. Sekarang ini kami sedang makan siang sehabis merencanakan pendakian ke sebuah gunung minggu ini.

"Aaaahhhhh...." Aku mengalihkan perhatianku dan mengambil sebuah novel yang baru saja ku pinjam dari perpustakaan. "Bena." Aku menyebutkan judul yang tertulis disampul buku. "Bena itu apa?" Tanyaku pada teman-temanku tapi tidak ada satupun yang tahu dan aku pun berlanjut mencarinya di google search. 'Berkilau/Berseri.' Itulah yang tertulis di layar handphoneku.

"Kayanya nama orang." Ucapku dan mulai membaca novel yang kupinjam.

***

"Non! Nona!" Seseorang mengguncang tubuhku dan memanggil nona.

"Berisik!" Aku menepis tangan yang mengguncang lenganku.

"Nona bangun! Sebentar lagi nona akan menikah dan kita harus bersiap-siap."

"Sebentar lagi ma..." Ucapku mengira bahwa mama sedang bercanda denganku.

"Aduh...nona Malang bilang apa? Saya tidak paham."

"Jangan bercanda... Itu tidak..." Aku membuka mataku dan terlihatlah seseorang paruh baya menatapku dengan resah. "Aaa!!!..." aku berteriak kencang karena orang yang menggerakkan tubuhku sedari tadi bukanlah ibuku.

"Kenapa non?" tanya wanita itu dengan wajah bingung.

"S-siapa?" Tanyaku dengan suara bergetar karena baru saja mengira bahwa wanita didepanku adalah setan. "Dimana?" Aku melihat ruangan asing yang sedang kutempati.

"Ada apa ini?" seorang wanita yang terlihat berumur 30-an datang dari balik pintu besar mewah dengan wajah kesal. "Tidak bisakah kau mengurus nona dengan benar?"

"Maaf kepala pelayan, saya akan lebih berhati-hati." Wanita paruh baya menundukkan kepalanya dan meminta maaf.

"Dasar pembawa sial." Kepala pelayan itu menatapku kesal dan membuatku terperanjat.

"Apa..." gumamku kecil dan memasang wajah kesal bercampur bingung. Kepala pelayan menghilang dari balik pintu.

"Nona Kemalang... apakah anda kembali sakit?" Wanita paruh baya melihatku dengan tatapan bingung bercampur kecemasan.

"Maaf tapi bisakah kau keluar sebentar? Aku ingin menenangkan pikiranku dulu." Si wanita paruh baya tidak langsung menuruti keinginanku dan hanya menatapku cemas. "Hanya sebentar saja, aku akan memanggilmu lagi." Aku berusaha meyakinkannya dan dia pun berjalan keluar sambil sesekali menengok kebelakang yang terpaksa membuatku harus menyunggingkan senyum kecil sebelum akhirnya dia menutup pintu kamar.

Aku berjalan ke meja rias dengan terburu-buru hampir saja tersandung. Kulihat wajahku sendiri dan berakhir dengan tarikan nafas berat.

Sudah beberapa hari ini aku selalu bermimpi hal aneh. Aku selalu melihat diriku sedang menghabiskan waktu bersama orang-orang yang kuanggap teman dalam mimpiku. Wajah dan lingkungan yang sangat berbeda dari yang biasa kulihat dan terkadang membuatku berpikir bahwa aku telah berpindah tubuh sebelum akhirnya aku menyadari bahwa aku baru saja bermimpi.

Aku Kemalang, anak dari Count negara Balduri. Tahun ini aku berumur 20 tahun dan di negaraku ini umurku sudah sangat jauh dari umur wanita yang seharusnya sudah menikah yaitu umur 18 tahun. Bahkan dinegaraku saat masih dari kandungan pun sudah memiliki tunangan. Seperti namaku yaitu Kemalang, aku selalu dianggap oleh orang-orang sebagai anak yang selalu membawa kesialan atau kemalangan karena aku lahir dari seorang pelacur saat ayahku seorang Count datang ketempat pelacuran. Yah, ayahku sangat brengsek padahal dia memiliki istri yang cantik. Itu tanggapanku karena aku hanya mendengarnya dari para pelayan yang bergosip.

Dulu ayahku tidak mengakuiku, tapi karena ibu kandungku bersikeras dan memberikan bukti bahwa dia tidak berhubungan dengan siapapun setelah tidur dengan Count, akhirnya Count pun menerimaku dengan syarat bahwa dia sang Count tidak bisa menikahi ibuku dan hanya menjadikannya pelayan dirumahnya.

Ibuku dijadikan pelayan dengan perlakuan yang istimewa oleh Count tapi itu tidak berlangsung lama karena ibuku meninggal setelah aku berumur satu tahun. Banyak rumor yang beredar bahwa ibuku dibunuh oleh Countess, tapi itu tidak pernah terbukti. Aku pun akhirnya dirawat oleh seorang pelayan bernama Piri jika kau ingat dia adalah pelayan wanita paruh baya yang membangunkanku sebelumnya. Dia sangat menyayangiku mungkin karena saat kecil aku memiliki tubuh yang lemah dan sering sakit-sakitan jadi dia merasa iba denganku.

Aku tumbuh dengan kondisi fisik yang lemah dan sifat yang penurut dan pengecut. Tetapi selama beberapa minggu aku selalu bermimpi hal aneh dan terkadang membuatku merasa bahwa orang dalam mimpiku adalah aku saat aku terbangun. Tentu saja orang-orang di rumah ini menganggapku aneh dan mulai merasa bahwa aku sakit jiwa.

Karena tidak ingin membuat rumor yang jelek dan membuat keluarga Count menjadi malu, Countess menyarankan pada Count untuk segera menikahkanku pada seorang pengusaha yang dengan reputasi yang sangat buruk. Dan hari ini adalah hari dimana aku akan menikah dengannya.

"Piri!" aku memanggil keras Piri agar dia dapat mendengarku. Piri pun langsung datang dari balik pintu dan mendatangiku. "Ayo kita bersiap-siap." Dengan perintah itu, Piri membawaku ke kamar mandi dan mulai membersihkanku.

Aku terpikirkan mimpi yang kulihat. Dunia ajaib dimana kau bebas melakukan hal kau inginkan dengan usahaku sendiri. Pikiranku berhenti dimana aku melihat diriku yang teman-temanku memanggilku dengan nama Dina, sedang melihat sampul buku yang mereka sebut sebagai novel dengan judul 'Bena'. Sebuah buku menarik dengan cerita romansa kerajaan.

Yang kuingat dari novel itu adalah tokoh utamanya yaitu Bena bertemu dengan para pria tampan yang ternyata adalah orang-orang penting di kerajaan yang dia tinggali. Bena yang memiliki paras cantik dan sifat yang polos membuat para pria itu memiliki perasaan pada Bena dengan situasi yang mendukung ketiga pria itu untuk jatuh cinta.

"Ada apa non?" tanya Piri karena aku meremas keras handuk yang terpasang ditubuhku.

"Oh maaf," ucapku dan segera melepaskan tanganku dari handuk.

Alasan aku meremas keras handukku adalah karena aku senang dengan cerita yang terlintas di mimpiku. Aku ingat bahwa 'aku' saat berada dimimpi sangat senang dengan novel itu sampai 'aku' membacanya berkali-kali. Saat 'aku' dan 'teman-temanku' pergi mendaki pun 'aku' tetap membawanya saat kemungkinan ada waktu. Yah, saat aku menjadi Dina aku tidak memiliki beban hidup yang berarti. Aku menjalani hari dengan mudah dan berolah raga sekali-kali dengan mendaki gunung.

"Ada baiknya jika aku dapat hidup dengan bebas." Aku bergumam pelan.

"Saya selalu berharap nona Kemalang dapat hidup dengan bebas." Piri menyahutku. Aku tersenyum miris karena mendapati bahwa aku akan menikah dengan pria dengan reputasi buruk.

"Piri, siapa orang yang akan kunikahi?" tanyaku tiba-tiba berniat ingin bercanda dengan calon suamiku sebagai bahannya.

"Ront Liabani, nona."

"Bahkan namanya pun benar-benar menyebalkan bukan?" aku tersenyum merendahkan. Piri hanya terdiam tidak menyahut candaanku. "Bahkan sepertinya saat aku telah menikah dengannya aku akan dipukuli dan segera mat..." aku menghentikan kata-kataku.

"Nona, saya selalu berdoa bahwa nona akan menemukan kebahagian nona." Piri mulai terisak dan berbicara karena aku terdiam tanpa berbicara apapun. "Sedari nona kecil, saya selalu memimpikan melihat nona dapat selalu tersenyum dan selalu sehat." Sesuatu menyentuh punggungku. "Maafkan saya nona." Piri mengusap bahuku dengan kain bersih. Sepertinya air mata Piri terjatuh saat aku dalam keadaan terduduk.

Aku hanya menaggapi Piri dengan ucapan terima kasih pelan yang hampir tidak terdengar. Pikiranku saat ini tertuju pada bagian cerita yang kubaca dalam mimpiku. Sang tokoh utama yaitu 'Bena' menjadi teman seorang pemeran pembantu yang dia panggil 'Malang'. Malang dalam cerita itu adalah seorang istri muda seorang pengusaha tua yang memiliki banyak istri. Malang hidup dengan sangat menderita karena setiap suaminya mengalami masalah dalam bisnisnya, dia selalu menyalahkan Malang karena membawa kesialan untuknya.

Pada awalnya Kemalang tidak mengetahui jika dia akan dinikahkan dengan seorang pria tua dengan banyak istri. Tapi karena nasi telah menjadi bubur, dia hanya menerima takdirnya.

Bena yang polos pun segera mendatangi dan berteriak pada suami Malang. Hal itu membuat emosi suami Malang meningkat dan memukulinya dengan buruk, lebih buruk dari sebelumnya dan menyebabkan Malang meninggal karena sakit yang dia derita. Itu tepat dua bulan pernikahan mereka.

"Apakah kau bilang bahwa suamiku adalah Ront Liabani, Piri?" Piri mengangguk bingung menatapku dari cermin di depan kami. Aku menundukkan kepalaku "Sial, apakah aku akan segera mati?" aku bergumam bingung.

"Ya nona?" aku menggoyang-goyangkan tanganku menandakan bahwa tidak ada apa-apa. Dan Piri pun melanjutkan mengolesi tubuhku dengan minyak berwangi mawar.

Piri selalu memanggilku Kemalang, tapi orang-orang selalu memanggilku 'Malang'. Ataukah ini hanyalah kebetulan? Tidak mungkin aku adalah tokoh dalam cerita itu. Tapi namaku dan nama calon suami yang tidak kuketahui serupa dengan yang di ceritakan di dalam cerita. Keadaanku dan reputasi buruk calon suamiku benar-benar sama.

"Sial!" aku meringis kesal. Piri yang berada dibelakangku menjadi bingung dan menghentikan tangannya untuk bekerja.

Aku tidak memperdulikannya dan sibuk dengan pikiranku. Apakah aku harus menerima kenyataan dan pasrah? Menjalani hidup bagai patung? Atau aku harus membunuh suamiku saja? Aku teringat dengan nasihat 'bunuh sebelum kau dibunuh'. Tapi kurasa bukan seperti itu nasihatnya. Apa yang harus kulakukan?

"Piri apakah tadi kau berdoa bahwa aku akan hidup bahagia?" tanyaku pada Piri. Piri hanya melihatku dengan tatapan sedih.

"Sepertinya doamu akan terwujud." ucapku yakin.

avataravatar
Next chapter