1 Keluarga Tercinta

Namaku adalah Bima, seorang anak biasa dari keluarga yang sangat sederhana. Keluargaku hanya bisa mencukupi kebutuhan harian dan untuk sekolah. Aku tinggal bersama ibu dan adikku yang bernama Nita di Kampung Rambutan. Ketika ada seseorang yang menanyakan tentang keberadaan ayahku, aku pun tidak bisa menjawabnya karena ia telah meninggalkan keluargaku sejak kelahiran Nita.

Saat ini aku berada di kelas 12 SMA sedangkan Nita masih SMP kelas 8. Ibuku sangat menjunjung tinggi pendidikan, baginya tidak ada yang lebih penting untuk mencapai kesukesan selain pendidikan. Namun, hal tersebut sangat sulit untuk ku ikuti karena aku sangat bodoh dalam pelajaran. Selama sekolah, aku hampir tidak pernah mendapat nilai diatas 80. Kalau tidak remidi ya sudah pasti KKM. Tetapi, aku sangat yakin bahwa kesuksesan bisa diraih dengan ketekunan dan usaha keras.

Suatu hari setelah ibu mengambil rapot semester ganjil untukku dan Nita, ibu marah-marah kepadaku.

"Kamu kalau terus-terusan seperti ini mau menjadi apa nanti Bim?" Tanya ibu dengan nada tinggi.

"Sudahlah bu. Setiap orang pasti punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dan kelemahanku adaah pelajaran." Jawabku kepada ibu.

"Kamu belajarlah yang benar. Lihat adikmu, dia saja mendapat peringkat 2 di kelas." Lanjut ibu sambil menunjukkan rapot milik Nita.

"Aku sudah berusaha bu. Tetapi, seperti inilah hasilnya." Jawabku sambil menahan emosi.

"Usahamu masih kurang Bim. Belajar lagi yang benar agar bisa menjadi PNS. Jangan seperti ibu yang hanya penjual kue" Lanjut ibu.

"Aku sudah bilang berkali-kali kalau aku tidak mau bu menjadi PNS." Ucapku dengan nada sedikit meninggi.

"Lalu maumu apa? Ingin menjadi laki-laki seperti ayahmu?" Bentak ibu dengan penuh emosi.

Mendengar hal tersebut, aku pun langsung keluar dari rumah. Aku paling tidak suka dibanding-bandingkan, apalagi dibandingkan dengan ayahku. Sosok yang tidak bertanggungjawab dan sangat ku benci.

Aku sering bertanya pada diriku sendiri, kenapa manusia sangat suka membandingkan. Apakah hidup memang hanyalah sebuah perlombaan? Kenapa manusia tidak bisa bebas memilih untuk melakukan apa yang ia inginkan? Namun, pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak pernah terjawab.

Saat kabur dari rumah, aku pun pergi ke warnet tempat langgananku. Tempat yang hampir tiap pulang sekolah ku datangi. Tempat dimana aku bisa bertemu teman-temanku walau hanya sebatas virtual. Dalam game favoritku, aku memiliki seorang partner sekaligus sahabat yang bernama Rendy. Dia adalah orang yang cerdas dan juga jago bermain game. Walaupun seorang mahasiswa, ia tidak pernah meledek cara pandangku mengenai pendidikan. Bagiku Rendy adalah orang yang memiliki pemikiran terbuka dan wawasan yang luas. Pantas saja ia bisa menjadi mahasiswa di kampus UI. Setelah membayar paket warnet dan login ke dalam game, ternyata Rendy sudah online. Kami pun langsung bermain.

Setelah bermain beberapa ronde, Rendy pun bertanya kepadaku.

"Kenapa lu? Ada masalah? Mainnya bego banget." Tanya Rendy.

"Biasa lah. Berantem sama ibu." Jawabku ketus.

"Hahaha kenapa lagi? Masalah PNS?" Tanya Rendy lagi.

"Iya. Bukannya aku merendahkan PNS ya, tetapi aku merasa tidak layak lah menjadi PNS yang mengabdi untuk negeri. Orang sebodoh ini." Ucapku menjawab pertanyaan Rendy.

"Hahaha terus lu mau jadi apa? YouTuber Gamer?" Ucap Rendy sambil bercanda.

"Hah? Memangnya bisa dapat duit?" Tanyaku balik kepada Rendy.

"Bisalah. Tapi susah Bim. Harus punya banyak subscriber dan penontonnya. Butuh usaha keras lah intinya." Jawab Rendy.

Aku pun termenung sejenak mendengarkan penjelasan Rendy. Mungkin ini adalah jalan untukku menuju kesuksesan.

"Kalau syaratnya hanyalah usaha keras, aku pasti bisa." Ucapku dalam hati.

Setelah itu kami pun melanjutkan permainan kami.

Malam pun tiba. Aku pun memutuskan untuk pulang karena memikirkan perasaan ibu. Sesampainya di rumah aku pun meminta maaf kepada ibu karena sudah membentaknya. Kami pun makan malam bersama. Saat makan malam, ibu mengatakan bahwa ia hanya ingin melihatku dan Nita bahagia. Untuk itulah ibu ingin kami menjadi PNS yang sudah terjamin kehidupannya. Entah kenapa malam ini aku tidak membantahnya sekali pun. Mungkin karena aku menyadari bahwa sebenarnya ibu hanya ingin kami bahagia.

Keesokan harinya Nita bertanya kepadaku ingin kuliah di mana. Aku pun tidak bisa menjawabnya karena aku sebenarnya tidak ingin kuliah. Biaya kuliah yang mahal akan membuat ibu semakin berusaha keras untuk membayarnya. Jerih payah ibu pun akan sia-sia jika yang berkuliah adalah aku, seseorang yang bodoh. Lebih baik yang kuliah adalah Nita, orang yang pintar.

Aku pun bertanya kepada Nita, dimana ia ingin kuliah. Nita pun menjawab dengan lantang bahwa ia ingin berkuliah di UGM. Melihat adik perempuan kecilku yang sudah memiliki tujuan yang jelas membuatku merasa bangga sekaligus sedih. Bangga karena aku yakin ia pasti bisa kuliah di sana dengan kemampuannya tersebut dan sedih karena kuliah di luar kota pasti membutuhkan biaya yang banyak. Tanpa sadar aku pun mencium kening Nita.

"Ih apa sih kak. Nita sudah besar loh." Ucap Nita sambil mengusap keningnya.

Aku pun hampir menangis melihat adik tercintaku. Seorang anak yang bahkan tidak pernah melihat wajah ayahnya. Namun, aku tidak boleh meneteskan air mata didepannya.

"Kamu belajar yang benar ya agar bisa kuliah di sana." Ucapku sambil mengelus-elus kepalanya.

"Kakak tuh yang harus belajar. Sebentar lagi kan mau kuliah." Jawabnya sambil membenarkan rambutnya yang berantakan.

Mendengar ucapannya, aku hanya bisa tersenyum. Saat itu juga aku sudah memutuskan untuk tidak kuliah. Nita lah yang sebaiknya kuliah. Lebih baik aku mencari pekerjaan agar bisa membantu ibu membiayai Nita nanti.

***

Tidak terasa waktu pun cepat berlalu, wisuda SMA pun sudah tiba. Aku menghadiri wisudaku bersama ibu dan Nita. Ibu tampak bahagia aku bisa lulus walaupun dengan nilai pas-pasan. Saat foto bersama, aku memeluk erat mereka berdua. Keluarga yang sangat ku sayangi. Aku berbisik pada Nita agar menjadi anak yang baik dan bisa menuruti permintaan ibu untuk menjadi PNS. Nita pun melihatku dengan penuh keheranan. Aku juga berbisik pada ibu bahwa suatu saat aku pasti menjadi orang yang sukses. Ibu pun mencium keningku.

Mereka berdua tidak tahu bahwa kata-kata tersebut adalah kata perpisahanku sebelum aku pergi. Selama beberapa bulan terakhir, aku sudah memikirkan apa yang bisa ku lakukan dengan kemampuanku. Mulai jadi kuli di pasar, pegawai toko, dll. Namun, hal yang sesuai dengan kemampuanku hanyalah menjadi YouTuber Gamer. Aku pun meminta Rendy agar mau menerimaku beberapa bulan menginap di tempatnya, menggunakan laptop dan segala peralatannya, serta merahasiakan hal ini dari keluargaku. Aku pun menjelaskan alasanku dan ia pun menyetujuinya.

Saat malam tiba, aku pun pergi meninggalkan rumah untuk menuju ke terminal. Aku meninggalkan sepucuk surat yang berisikan janji bahwa aku akan pulang saat sudah mencapai kesuksesan. Aku tidak ingin pergi tanpa berpesan apa pun karena aku tidak ingin disamakan dengan ayahku. Dengan berberat hati, aku pun menitikan air mata. Namun, hal ini sudah menjadi pilihanku. Aku harus berusaha keras.

***

Berbulan-bulan setelah aku memulai karier sebagai YouTuber Gamer belum membuahkan hasil. Ternyata hal ini lebih susah daripada yang aku bayangkan. Aku pun harus lebih berusaha lagi. Selain menjadi YouTuber Gamer, aku pun bekerja sebagai penjaga toko di pagi hingga sore hari. Hal itu ku lakukan untuk bisa makan. Aku tidak ingin merepotkan Rendy lebih banyak lagi. Dia sudah berbaik hati berbagi tempat tinggal bersamaku dan meminjamkan peralatannya untuk keperluan rekamanku.

Terkadang aku memikirkan bagaimana keadaan keluargaku di rumah. Aku tidak bisa menghubungi mereka karena tidak memiliki HP. Begitu pun ibu dan Nita di rumah. Ketika aku merindukan mereka, hal yang bisa ku lakukan hanyalah mendoakan mereka dari kejauhan.

***

Setelah setahun lebih, akhirnya aku mulai mendapatkan penghasilan. Aku sangat bahagia dengan perkembanganku ini. Perjuangan yang telah ku lakukan mulai membuahkan hasil. Aku sudah berhenti menjadi pegawai toko agar lebih fokus pada karierku. Aku pun pindah ke kost agar tidak menyusahkan Rendy lagi. Aku juga sudah bisa membeli peralatanku sendiri walaupun spesifikasinya masih jauh di bawah milik Rendy. Namun, peralatanku ini lah yang akan menjadi penyemangatku untuk berusaha lebih giat lagi.

***

Setelah 2,5 tahun berjuang siang dan malam, akhirnya aku mencapai titik di mana hal tersebut bisa membahagiakanku. Aku pun menghampiri Rendy untuk mengucapkan terima kasih karena telah membantuku selama ini dan berpamitan karena aku memutuskan untuk pulang ke desa. Rendy juga sangat bahagia akhirnya aku bisa pulang ke rumah.

Selama perjalan pulang, aku sangat berdebar-debar ingin menunjukkan pencapaianku kepada ibu dan Nita. Aku ingin melihat wajah terkejut dan bahagia mereka melihatku. Sesampainya di kampungku, aku langsung berlari ke rumah dengan tersenyum. Saat tiba di depan rumah, aku langsung berteriak.

"Ibu…Nita…Aku pulang." Ucapku sambil tersenyum lepas.

Namun, aku sangat terkejut melihat orang yang keluar dari rumah adalah pamanku. Ia langsung menghampiriku dan memukul wajahku. Aku pun tersungkur. Aku melihat pamanku dengan penuh keheranan.

"Bagus ya akhirnya kamu pulang juga." Ucapnya dengan penuh emosi. Mendengar teriakannya tersebut, Nita pun keluar dari rumah. Ia menghampiri dan memelukku.

"Dari mana saja kamu kak?" Tanyanya sambil menangis. Aku sangat kebingungan dengan suasana ini.

"Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?" Tanyaku dengan penuh kebingungan.

"Ibu kak, ibu sudah meninggal sejak setahun yang lalu. Ibu sedih karena kakak pergi dari rumah. Ibu merasa bersalah karena sudah memaksa kakak untuk menjadi PNS. Ibu setiap malam menangis meminta maaf pada kakak." Ucap Nita sambil berlinang air mata. Mendengar penjelasannya tersebut aku pun langsung menangis.

"Bukan ini yang ku harapkan." Ucapku dalam hati. Aku langsung berteriak menangis memanggil ibu. Melihatku seperti itu, paman pun berkata.

"Kenapa kamu menangis? Hal yang kamu inginkan adalah kesuksesan kan? Kamu sekarang sudah sukses, apalagi yang kamu inginkan?" Tanyanya dengan nada marah.

"Tidak. Bukan ini. Kesuksesan yang ku inginkan bukanlah masalah materi. Namun, keadaan di mana aku bisa membahagiakan ibu dan Nita tanpa memikirkan uang. Sekarang tanpa adanya ibu, apanya yang bisa disebut sukses?" Jawabku kepada pamanku.

Mendengar jawabanku tersebut, paman dan Nita langsung menangis. Ternyata mereka selama ini salah sangka terhadapku. Mereka mengira aku pergi karena tidak ingin hidup susah lagi dan ingin menikmati kesuksesan sendirian. Setelah menenangkanku, Nita mengajakku menuju ke makam ibu.

Sesampainya di sana, aku langsung menangis meminta maaf. Aku terlambat. Semua pencapaian ini tidak bisa disebut kesuksesan tanpa ibu. Saat terlarut dalam kesedihanku, Nita kembali memelukku. Aku pun seketika teringat dengan Nita. Satu-satunya keluargaku yang tersisa. Aku pun menghentikan tangisanku dan berjanji di depan nisan ibuku bahwa aku akan membahagiakan Nita dan tidak akan pernah meninggalkannya.

Aku pun berbalik menghadap Nita dan memeluknya dengan erat.

"Sekarang keluarga kita tinggal berdua. Kakak berjanji akan membahagiakanmu sebagai ganti kakak membahagiakan ibu. Kakak sayang sama kamu" Bisikku kepada Nita. Mendengar perkataanku tersebut, Nita pun semakin menangis dan berkata.

"Iya kak. Nita juga sayang sama kakak." Ucap Nita.

Mulai saat itu, kami pun memulai kehidupan baru kami.

avataravatar