3 Datangnya Siswa Baru

Setelah mengeluarkan semua barang dari koper dan membereskan ruangan, aku berjalan dan merebahkan diriku ke kasur. Hanya ada aku disini, di ruangan berukuran 5 x 8 meter. Asrama pada umumnya, satu kamar untuk beberapa orang. Fasilitasnya juga sangat berbeda dari kebanyakan asrama sebagaimana lazimnya.

Setiap kamar asrama punya dapur pribadi. Semua alat masak, dari yang cara pakainya aku hafal diluar kepala, sampai yang sama sekali asing, tersedia dan baru, karena masih terbungkus plastik. Ada oven juga kulkas, lalu kompor induksi dan alat pencuci piring otomatis, sesuatu yang tidak pernah aku lihat sebelumnya selain dari televisi.

Di ruang tengah ada televisi besar berukuran 55 inci, lengkap dengan dua konsol gim terbaru, keluaran Wiitendo dan BoxStation. Di sisi lainnya sudah tersedia sofa yang nyaman. Kamar tidur berada di lantai 2 yang bisa diakses melalui tangga di samping sofa. Kamar mandi berisi mesin cuci, shower, bathtup, dan westafel, dan toilet tentunya.

"Kok kayaknya ada yang aneh, gak mungkin negara menyediakan fasilitas ini." Pikirku.

Sangat wajar aku berpikir seperti itu. Disaat negara mengalami krisis ekonomi, disaat banyak orang kehilangan pekerjaannya, yang bahkan uang untuk makan saja tidak punya, kami malah menikmati fasilitas mewah semacam ini. Rasanya tidak benar. Fasilitas ini sangat berlebihan, kami seperti dimanjakan.

Aku kemudian mengingat kejadian tadi pagi. Seseorang mengarahkan kami ke aula setelah pak Wanto keluar ruangan. Kami semua, dari kelas lain juga, berkumpul di sebuah aula. Di bagian depan terlihat rektor dan para guru besar, lalu sepertinya duduk juga perwakilan dari pemerintah. Rektor kemudian memberikan sambutan di depan kami semua.

Setelahnya, penanggung jawab program kelas manusia naik ke atas panggung. Pada saat yang hampir bersamaan, ponsel yang baru kami semua dapat berbunyi, seolah mengiringi langkah kaki beliau. Beliau menjelaskan, bunyi notifikasi barusan adalah pertanda kalau poin hasil tes kecil tadi sudah masuk ke akun masing-masing.

Beliau lalu menambahkan, poin yang didapat semua siswa tidak setara. Mereka yang tidak menggulirkan dadu hanya mendapat 1000 poin, setara 1 juta rupiah. Sedangkan bagi mereka yang menggulirkan dadu, akan ditambahkan 250 poin setiap 1 angka yang didapat. Aku mendapat angka 12, itu artinya, aku akan mendapatkan total 4000 poin.

"Itu tidak adil!"

Seseorang meriakkan protes. Suaranya menggema ke seluruh sudut aula. Beberapa siswa lain lalu ikut bersuara, membuat suasana ruangan menjadi ricuh sampai kemudian terdengar bunyi mengengung dari pengeras suara. Hal itu praktis membuat mulut-mulut siswa terdiam dan tangan mereka menutupi telinga.

"Sudah selesai?" kata beliau sebelum melanjutkan.

"Bagaimana bisa kalian bilang tidak adil? Mereka yang menggulirkan dadu mempertaruhkan posisinya disini! Wajar kalau mereka mendapat poin lebih dari kalian!"

"Kalo saya tau bakal dapet poin lebih, saya juga mau pak!" sanggah salah seorang siswa.

"Tapi kalian tidak tahu, kan?"

Siswa tadi terdiam. Kemudian giliran siswa lain ikut menyanggah.

"Tapi wali kelas tadi gak ngasih tau! gimana kami bisa tau pak! Ini gak adil!"

"Kalian tidak berhak bilang seperti itu! Ingat kalian beruntung hanya karena 2 anak sebelum kalian mendapat angka terendah! Kalian lupa kalian bisa bertahan karena bersikap tidak adil pada mereka! Saat mereka dikeluarkan seharusnya kalian protes karena belum menggulirkan dadu. Tapi kalian tidak melakukannya! Kenapa? Karena ego kalian!"

Beliau diam sesaat, menunggu adanya sanggahan, tapi ternyata tidak ada yang berani. Kemudian beliau kembali berkata.

"Ini cuma tes kecil. Masih banyak tes dan ujian di masa depan. Kalau kalian keberatan dengan hasil poin kalian sekarang, berjuanglah agar mendapat hasil lebih baik di masa mendatang!"

Melihat situasi kembali kondusif, beliau melanjutkan penjelasan. Tentang peringkat siswa, masih belum bisa diluncurkan karena tes tadi hanyalah tes pendahuluan. Tapi beliau berjanji, peringkat siswa akan mulai berlaku setelah tes berikutnya.

[Ting... Tung... Ting... Tung...]

Bel berbunyi mengaburkan lamunanku tentang kejadian tadi. Aku membuka ponselku, lebih tepatnya membuka salah satu aplikasi di dalamnya. Aplikasi yang aku maksud bernama Doorlock, fungsinya membuka semua pintu di area kampus sesuai otoritas yang diberikan. Sama seperti pintu kelas, semua pintu disini menggunakan kunci digital yang hanya bisa dibuka dengan aplikasi tersebut.

Doorlock juga terhubung dengan kamera kecil di depan pintu asrama, sehingga dimanapun siswa berada, dapat melihat siapa orang yang berdiri dibalik pintu. Wajah Dewi terlihat jelas di ponselku, dengan Santoso berdiri dibelakangnya, lalu satu lagi cewek yang tidak aku kenal, berdiri di sebelah Dewi. Sepertinya dari kelas lain. Aku penasaran kenapa Santoso punya banyak teman cewek.

Setelah mereka masuk, kami kemudian bercerita banyak hal. Dari situ aku tahu nama cewek yang bersama Santoso dan Dewi. Maya namanya, berasal dari Bangka Belitung. Maya bertemu Dewi sebelum masuk kelas manusia. Mereka berdua satu jurusan, teknik industri.

"Eh, tadi kamu dapet berapa poin, May?" tanyaku penasaran.

"Cuma 1000 kok."

"AH!!" Santoso berteriak, menunjukkan ketidakpuasannya.

"Udahlah, jangan terlalu diambil hati," kata Dewi, berusaha menghibur Santoso.

"Bener tuh, baru tes pertama juga..." tambahku.

"Lu pada enak dapet 4000!"

Suasana kemudian hening, sebelum Dewi kembali membuka pembicaraan.

"Sekarang masing-masing kelas sisa 23 anak kan?"

"Iya betul, kenapa emangnya Wi?" Maya penasaran.

"Ya aneh aja, masa iya itu tadi cuma tes kecil?"

Kecurigaan Dewi bukannya tidak berdasar. Dengan 2 anak DO dari setiap kelas di hari pertama, totalnya 20 anak. Jumlah yang cukup banyak untuk sebuah tes kecil. Kalau setelah ini mereka setiap hari memberi kami tes kecil, tidak sampai 1 bulan seluruh angkatan DO.

"Fasilitasnya juga gila, sih" Santoso menyambung.

"Iya bener, aku lomba aja gak dikasih penginapan kayak gini!"

"Ngomong-ngomong soal lomba, dulu kamu gak sengaja ngalah kan?" Lanjut Dewi, sambil memandangku.

Jujur, dibilang mengalah saat seseorang sudah mengerahkan semua kemampuannya, rasanya sedikit menyakitkan.

"Gak kok!" jawabku tegas.

"Tujuanku disini, peringkat 1!" Dewi melanjutkan, membuat kami semua terkejut.

Tentu siapa yang tidak mau peringkat 1. Orang di posisi itu sudah pasti mendapat lebih banyak keuntungan daripada mereka dibawahnya.

"Kalo di antara kita punya tujuan yang sama, aku harap gaada yang mengalah!"

"Sejujurnya, aku gak peduli dapet peringkat berapa asalkan aku lulus." kataku.

"Tuh kan ngalah, jangan gitu Lan!, aku jadi gak enak."

"Aku juga, yang penting lulus, peringkat belakangan."

"Gue juga gak terlalu peduli, sih. Yang penting lulus dulu."

"May! Santoso! kok kalian malah ikut-ikutan Alan sih. Aku kan jadi makin gak enak nih!"

Obrolan kami berlanjut hingga jam menunjukkan pukul 12 malam. Kami kemudian sepakat mengakhiri pembicaraan dan kembali ke kamar masing-masing.

Besoknya, seorang kenalan lama berdiri di depan kelas. Surya...

"Ee... jadi untuk mengisi kekosongan, kami mengadakan tes tambahan. Dua anak ini mulai sekarang akan bergabung ke kelas ini. Baik-baik ya!"

avataravatar