1 Dadu yang Mengubah Nasib

31 Agustus 2024.

Malam ini agak mendung. Aku masih sibuk mengemasi barang yang akan aku bawa. Jam sudah menunjukkan pukul 19.00, beberapa jam sebelum pesawat yang akan aku tumpangi lepas landas. Setelah berpamitan, aku bergegas menuju bandara. Langit masih tertutup awan, seolah tidak membiarkan manusia melihat cantiknya cahaya bulan purnama malam ini.

Satu-satunya akses menuju pulau Mandala hanya dengan pesawat. Pulau Mandala terbuka untuk publik, bahkan saat libur panjang, pulau ini jauh lebih ramai dari Bali. Turis asing sering menyebut pulau ini Atlantis yang hilang, karena letaknya di tengah lautan dan bangunan tinggi menghiasi setiap sudut pulau.

Tidak salah mereka menyebut pulau ini Atlantis. Semua fasilitas tersedia di pulau ini, perumahan, bioskop, kantor, pelabuhan, pembangkit listrik terbarukan, robot dengan kecerdasan buatan, 7G, sebut saja semua fasilitas dan teknologi canggih terbaru, pasti tersedia di pulau ini. Pulau ini juga satu-satunya tempat yang tidak merasakan dampak krisis ekonomi yang melanda Indonesia sekarang.

Universitas Mandala terletak di salah satu pulau kecil di sekitar pulau Mandala. Kalau pulau mandala dan pulau-pulau kecil lainnya terbuka untuk publik, berbeda dengan pulau ini. Mandala Guru, nama pulau ini, hanya bisa dimasuki oleh mahasiswa dan pelajar serta tenaga pendidik dan orang yang diberi ijin masuk. Untuk ke pulau Mandala Guru, seseorang perlu menaiki kereta lajur L yang merupakan satu-satunya cara masuk ke pulau tersebut.

***

1 September 2024

Matahari sudah lama terbit. Jam di dalam gerbong kereta menunjukkan pukul 8 pagi. Aku khawatir aku sudah telat. Semalam aku berkeliling kota mencari penginapan murah. Terima kasih, karenanya aku bangun kesiangan. Kedua mata yang bengkak ini bisa mengetahui berapa lama aku tidur semalam. Setibanya di Universitas Mandala, aku disambut oleh seseorang dengan setelan rapi.

"Maaf pak saya telat." Aku menghampiri orang itu yang sepertinya sudah lama berdiri di depan gerbang.

"Oh nggak kok, masih belum dimulai." balasnya sopan.

Syukurlah aku belum terlambat. Tidak bisa aku bayangkan aku terlambat di hari pertama.

"Maaf namanya siapa?"

"Alan Nugraha."

Dia mengeluarkan smartphone dan seperti mengetikkan sesuatu. Tak lama kemudian dia berkata.

"Mari ikut saya ke kelas anda, biar saya bantu bawakan koper anda."

Tentu canggung rasanya diperlakukan seperti ini. Aku hidup di keluarga pas-pasan. Belum pernah ada sebelumnya orang yang membantuku membawakan barang.

"Anu pak, boleh antarkan saya ke asrama dulu? biar barang saya ditaruh di kamar saja."

"Gak bisa mas, aturannya memang ke kelas dulu."

"Ya sudah pak, saya mau bawa barang saya sendiri."

Aku kemudian berjalan mengikuti bapak itu. Kami naik menuju lantai 3 lalu berjalan melalui kelas-kelas lain lalu berhenti di depan ruangan sebelah aula. Bapak itu kemudian menempelkan smartphone nya dan pintu ruangan terbuka. Aku kemudian diminta memasuki kelas yang di dalamnya sudah terisi 24 anak lain. Seolah dikomando, lebih dari separuh isi kelas menatap ke arahku tepat saat aku melangkah masuk. "Aku beneran gak telat kan?" pikirku.

Seorang anak kemudian menghampiriku sambil mengulurkan tangan kanannya.

"Halo, Kenalin gue Santoso!"

"Ah, Halo! Aku Alan," balasku.

Aku agak kurang nyaman memakai 'gue' ke orang yang baru dikenal. Lagipula di daerah asalku sangat jarang memakai 'gue'.

"Koper lo taruh disitu aja, tadi gue tanya gapapa kok."

Mata santoso rupanya cukup jeli melihatku yang kebingungan. Jari telunjuknya mengarah pada sekumpulan koper di pojok ruangan di belakang kelas. Tidak perlu bagiku bertanya mengapa ada banyak koper disana.

"Makasih." Balasku singkat sambil berjalan menuju kumpulan koper.

Ada satu bangku kosong di dekatnya, sepertinya memang tersisa untukku. Sial. Aku gagal merebut bangku baris depan. Orang-orang sering bilang, posisi menentukan prestasi.

30 menit berlalu semenjak aku tiba, anak-anak lain sepertinya sudah tidak sabar memainkan smartphone mereka. Beberapa anak mulai berkerumun di salah satu bangku, bermain game online bersama. Beberapa lainnya asik berfoto dan bergosip. Beberapa berkeliaran kesana kemari. Sisanya, termasuk diriku, masih betah menempelkan pantat di kursi.

Santoso kembali menghampiriku, kali ini dia tidak sendiri.

"Lan, kenalin aku Dewi, kamu dari Surabaya kan?"

Seperti namanya, dia seperti dewi. Suaranya lembut, kulitnya putih, dan wajahnya cukup cantik. Tubuhnya yang mungil memberikan kesan imut. Sepertinya aku pernah melihat Dewi sebelumnya, tapi aku tidak ingat jelas.

"Kok kamu tau?" tanyaku penasaran.

Aku belum pernah memberi tahu siapapun termasuk Santoso.

"Itu dari tas kamu," jawabnya.

Bodoh.... Sungguh bodoh diriku. Terdapat tulisan dan logo yang sangat jelas pada tas yang aku gendong. Tulisan [KSN -kompetisi sains nasional- Perwakilan kota Surabaya] dengan font Arial berukuran besar, cukup besar sehingga bisa dibaca jelas dari kejauhan.

"Aku sama Santoso juga dari Surabaya kok." lanjutnya.

"Iya bener, dari kecil gue di Surabaya, pas SMA baru pindah Bogor." Santoso membenarkan.

"Pas KSN kayaknya kita pernah ketemu, deh." Dewi mengarahkan pandangannya padaku sebelum melanjutkan perkataannya.

"Kamu yang dapet medali perak, kan?"

Ah... Aku ingat sekarang. Dewi, peraih medali emas OSN tingkat provinsi. Selisih poin kami sebenarnya tidak terlalu jauh. Meski begitu, aku tidak yakin bisa mengalahkannya. Sekarang aku penasaran bagaimana Santoso dan Dewi saling kenal. Belum sempat aku bertanya, seorang pria paruh baya masuk. Semua anak segera kembali ke tempatnya masing-masing.

"Dah! nanti kita ngobrol lagi, ya!"

Dewi tersenyum lalu kembali ke bangkunya di barisan depan. Santoso juga kembali ke bangkunya. Pria itu kemudian memperkenalkan diri, namanya Suwanto, dipanggil pak Wanto. Dia dosen wali sekaligus penanggung jawab kelas sampai kami lulus. Dia menjelaskan kembali tentang program ini. Isinya tak jauh beda dari yang aku baca langsung di website kementerian pendidikan.

Lalu setelahnya...

"Kalian semua anak yang beruntung, bapak mau tes keberuntungan kalian sekali lagi agar bapak yakin kalian memang orang terpilih, bukan cuma sekedar kebetulan aja."

Awalnya tidak ada yang menganggap ini serius. Sampai kemudian, pak Wanto menambahkan.

"Kalo kalian lolos tes bapak, tetap duduk. Kalo gak lolos, berarti memang kalian bukan orang terpilih. Pulang saja! Kembali ke universitas sebelumnya."

Seisi kelas kaget. Pikiran kami semua kosong dan mata kami membelalak, tidak percaya apa yang barusan kami dengar.

"Loh kenapa kok kaget? Santai aja cuma tes kecil kok!" tambah pak Wanto yang sukses membuat kami semakin gugup.

Pak Wanto kemudian mengeluarkan dua buah dadu dari saku celananya.

"Ini saya ada 2 dadu, nanti kalian giliran gulirkan dadu ini. Dua orang yang paling rendah nilainya langsung pulang. Simpel kan?"

Pak Wanto lalu berjalan ke bangku pojok kiri depan. Dua buah dadu sakral penentu nasib kini berpindah dari tangan pak Wanto. Aku perhatikan, tangan siswa itu bergetar. Sebelum pak Wanto kembali, dia berkata sambil tersenyum, mirip pembunuh bayaran yang melihat mangsa sudah tak berdaya.

"Satu kesempatan aja." Tambah pak Wanto.

Rasanya seperti pukulan pamungkas petinju kelas dunia. Aku tidak membayangkan betapa tertekannya anak itu, untung saja aku di barisan belakang. Aku tidak mengenalnya dan kami tidak sempat berkenalan. Tapi jujur aku sedikit merasa kasihan.

Berbeda denganku yang masih bisa mengamati situasi, anak itu tidak punya pilihan. Dia hanya bisa berharap hasilnya bagus atau hasil semua anak setelahnya lebih buruk. Tapi sepertinya dia sudah pasrah. Tangannya lemas mendengar kalimat terakhir pak Wanto. Seolah tidak lagi punya harapan, dia melemparkan dadu-dadu itu dengan keras ke meja.

"Ah... Dua? Kayaknya kamu mesti siap-siap pulang, Hahaha!" Pak Wanto tertawa keras.

avataravatar
Next chapter