3 03 : Pelarian

Hari ini masih sama dengan hari kemarin. Aku dengan segala aktivitasku yang terus berulang setiap harinya. Mulai dari kuliah, mengerjakan tugas kuliah, rapat UKM, Menulis berita untuk profesi ku sebagai jurnalis, minum obat, merokok, dan main ke kos Selfi. Semua terus berulang-ulang dan mulai terasa monoton. Aku merasa sangat bodoh dan tak tahu harus bagaimana. Aku mengharapkan kebebesan dari lika-liku jalan hidup ini. Aku seperti tersesat dalam jalan hidup yang kupilih. Aku merasa penuh akan penyesalan, aku sangat ingin berhenti dari siklus hidupku yang sangat tidak sehat ini. Tapi entah mengapa aku terus mengulangi semua dosa-dosaku. Aku tidak bisa mengendalikan diriku. Sepertinya setan sudah menjinakkanku, membuatku terpedaya dengan kesenangan duniawi yang penuh akan kebusukan.

Mungkin ini sudah menjadi nasib hidupku yang tertulis dibalik rahasia garis tanganku. Penyesalan akan setiap tindakan dan perbuatan negatif yang telah kuperbuat selalu terus terngiang-ngiang dalam benakku. Terkadang obat dan rokok menjadi salah satu pelarianku dalam menghadapi fikiranku. Terdengar bodoh dan naif bukan ? itulah aku, sosok pecundang yang menjelma kedalam sosok pribadi yang selalu penuh akan kemunafikan dan dosa.

Selesai kuliah hari ini aku berencana untuk pergi kekampus Selfi dan mengajaknya ke perpustakaan untuk mencari buku untuk referensi novel baruku yang masih sedang dalam proses penulisan. Jika sudah rampung, novel ini akan menjadi novel keenam ku. Lima novelku sebelumnya menjadi salah satu pencapaian ku yang luar biasa karena obatku. Nikmat dan rasa melayang membuat fikiran dan imajinasi ku mengalir dengan deras dan dapat membuahkan hasil. Bisa dibilang aku menggunakan obat ini untuk hal positif.

Aku pernah berfikir, kenapa pemerintah melarang untuk melegalkan narkoba dan obat-obatan jika saja penggunaannya sangat baik untuk pemakainya!?. Bukankah menjadi orang yang produktif adalah hal yang baik ? dan lihatlah saja sekarang Ini, banyak orang-orang besar dan sukses diluar sana berproses dan meraih kesuksesan karena mengkonsumsi narkoba untuk membantunya dalam meningkatkan kualitas diri. Bahkan ini jauh lebih baik daripada korupsi. Tapi ini hanyalah sebatas opini ku saja, aku tidak mau terlibat dengan masalah apapun. Aku malas untuk berkompromi dengan yang namanya kerumitan. Cukuplah aku menikmati hidup dengan obat dan proses yang sedang kujalani saat ini.

***

Di parkiran motor kampus Selfi di bawah pohon yang entah pohon apa namanya sudah setengah jam aku duduk dimotorku menunggu Selfi yang entah kemana dan apa yang dilakukannya. Handphone nya pun tidak aktif setelah kuhubungi. Aku merasa bosan disini, hanya duduk melihat mahasiswa-mahasiswi kampus ini lalu lalang disekitarku. Hingga beberapa saat seorang perempuan dengan rambut panjangnya yang terurai dan tak mengenakan hijab singgah dan memarkirkan motornya didepanku dengan ekspresi yang merasa jengkel.

Sejenak dia terdiam memainkan handphonenya dengan ekspresi wajah yang sedari tadi masih sama, jujur saja aku terpesona melihat parasnya yang cantik dan anggun. Putih kulitnya begitu bersih membuat mata merasa teduh. Hidungnya mancung, bibirnya agak tipis dan seksi berwarna merah segar. Bentuk tubuhnya seksi dengan tambahan dua tonjolan indah yang ada dibalik kemejanya. Aku merasa teransang dan tertarik untuk mencicipinya. Entahlah aku sepertinya telah ketergantungan dengan seks. Imajinasiku tiba-tiba menjadi liar saat aku terus menatapnya.

Sesekali dia sadar aku sering memandangnya dengan sorotan mataku dari jarak yang tidak terlalu jauh. Mungkin dia merasa risih dengan tingkahku hingga dia bergerak dan berjalan menuju ke arahku. Awalnya aku kira dia ingin pergi kesuatu tempat yang kebetulan searah dengan tempat dimana aku duduk. Tak kusangka dia mengajakku berbicara. Imajinasi liarku kembali muncul, aku rasa aku punya kesempatan untuk bisa mencicipi dia yang membuat hawa nafsuku teransang.

"boleh aku duduk di sini ?" tanyanya dengan menunjuk motor yang ada disampingku.

"Tentu saja, motor ini juga bukan punya aku." Aneh rasanya ketika dia bertanya seperti itu. Harusnya dia langsung saja duduk, aku menebak dia adalah orang yang sopan dan beretika.

"dari tadi mandangin aku ada apa yah ? kita pernah ketemu atau apalah ?"

"hehe, maaf tapi aku cuman tiba-tiba terpesona melihat paras kakak yang cantik pas cemberut, hehe."

"Hah!? Terpesona ? kamu aneh yah haha, namaku Winda, kamu ?"serunya dengan ekspresi wajah yang manis saat dia tersenyum tipis.

"Aku Ricky."

"aku baru liat kamu disini, bukan mahasiswa sini yah ?"

"Iya bukan, aku cuman menunggu teman."

"Oh, gitu toh."

"BTW kamu lagi punya masalah ? soalnya tadi kulihat kamu terlihat sedikit jengkel."

"haha, oh yang itu, tadi cuman ada masalah dengan pekerjaan."

"Kamu kerja sambil kuliah yah ?"

"yup, anda benar"

"keren, bisa kuliah sambil kerja, kamu pekerja keras juga yah."

"yah, bisa dibilang begitu sih."

"kamu kerjanya apa ?"

"hehe rahasia kalau itu, privasi."

"oh maaf-maaf, kalau begitu salam kenal yah."

"sip" singkatnya

Akupun mulai berfikir untuk memanfaatkan kesempatan ini, dia sudah mau berteman dengan ku aku harus bisa meneruskan perkenalan ini. Langsung saja aku menanyakan nama instagramnya dan meminta nomor whats app nya. Dan entah mengapa dia memberi tahuku begitu saja tanpa pertimbangan. Sepertinya aku secara tidak langsung menghianati Selfi dan mungkin ini bisa menjadi salah satu hal bodoh yang pernah aku lakukan. Aku sadar akan posisiku saat ini tapi aku merasa tidak pernah puas dengan apa yang telah kumiliki, sungguh aku memang bangsat.

Tapi keegoisanku untuk diriku tak bisa kutahan. Lalu tiba-tiba selfi terlihat dari kejauhan bersama dengan teman-temannya sedang berjalan menuju tempat mereka parkir motor. Selfi melihatku dan mendatangiku.

"Kamu disini ngapain ?"

"Nungguin kamu, aku mau ajak kamu temani aku."

"oh, terus ini siapa ?"

"Winda, baru juga kenal disini."

"Oh, hai, Winda, aku Selfi, jurusan apa disini ?" seru Selfi kepada winda yang sejak tadi hanya diam dan bengong entah mau bagaimana.

"Oh, Hai, salam kenal, saya Jurusan Teknik informatika."

"oh anak Teknik, aku anak Seni..Emh kalau gitu kami jalan dulu yah. Kata Selfi dan kulanjutkan pamit dan membonceng Selfi pulang.

Sepanjang perjalanan kami hanya saling diam, membiarkan kebisingan-kebisingan yang tercipta dari setiap hal yang kami lalui masuk ke gendang telinga. Cukup canggung bila seperti ini , aku hanya tetap diam dan mengontrol motor ini agar bisa membawa kami ke tempat tujuan dengan selamat. Hingga kami sampai di perpustakaan Selfi terlihat sangat tidak sehat wajahnya pucat, bibirnya pecah-pecah karena kekeringan, sepertinya dia dehidrasi.

"Kamu baik-baik saja ? wajahmu terlihat pucat Selfi."

"Ah, iya nih kayaknya aku nggak enak badan deh, aku mual-mual."

Sontak imajinasi liarku terbangunkan mendengar perkataan Selfi. Aku sedikit panik. Aku mencoba untuk tetap tenang menahan diriku untuk tidak bertingkah aneh di khalayak ramai ini. Aku pun memegang tangan Selfi dan menarik nya untuk kembali ke motor.

"Ki kenapa sih ? Katanya mau ke perpus?"

"tidak jadi, ada hal yang harus kita lakukan dulu."

"Kenapa sih."

Semoga saja ini tidak seperti apa yang kufikirkan. Mungkin ini terdengar sangatlah klise. Seperti cerita-cerita orang lain. Tapi ini memang terjadi padaku. Kuharap Selfi tidak benar-benar hamil. Aku masih belum siap untuk menjadi seorang ayah. Apa kata ibu dan ayah jika mereka tahu kalau aku menghamili anak orang. Aku hanya akan mempermalukan nama baik keluarga. Manalagi aku terlahir dari keluarga yang terpandang di daerah asalku. Aku berasal dari Kabupaten Bone, terlahir sebagai anak dari suku bugis bone, suku yang dimana terkenal akan idealismenya yang menjunjung tinggi yang namanya siri' na pesse.

Siri' dalam pengertian orang Bugis menyangkut segala sesuatu yang paling peka dalam diri mereka, seperti martabat atau harga diri, reputasi, dan kehormatan, yang semuanya harus dipelihara dan ditegakkan dalam kehidupan nyata. budaya siri adalah konsep untuk membangun kembali tatanan sosial orang Bugis di masa lalu yang kacau balau. Pessé, yaitu semacam perangsang untuk meningkatkan perasaan setia kawan yang di kalangan mereka. Pessé adalah suatu perasaan ikut menanggung dan berbelas kasihan terhadap penderitaan setiap anggota kelompoknya, termasuk orang yang telah dibuat malu. Oleh karena itu, konsep pessé ini akan menjadi suatu sarana untuk memulihkan harga diri orang yang telah dibuat malu.

Aku mulai gelisah dengan fikiranku yang berfikir tidak-tidak. Aku pun membawa Selfi ke apotik untuk membeli alat tes kehamilan. Selama aku membonceng Selfi kemana-mana dia terus bertanya dan mengeluh, sesekali memakiku dan membuatku jengkel. Aku menghiraukannya, aku malas untuk berdebat. Setelah membeli alat tes kehamilan Selfi semakin bacot. Dia bilang "Aku nggak mungkin hamil, kamu parno banget sih, santai aja dong." Aku tak pernah mengajaknya bicara aku hanya diam dan berfikir mencari tempat untuk dia bisa menggunakan alat tes kehamilan itu. Tidak lama aku melihat sebuah masjid. Kusuruh Selfi untuk masuk ke kamar mandi masjid itu dan menggunakan alat yang tadi kubeli.

Tidak sampai lima menit Selfi keluar dengan biasa-biasa saja, seolah tidak terjadi apa-apa. Aku mengira hasilnya negative, tapi aku mesti memastikannya terlebih dahulu. Dia memberiku alat itu dan sialnya dia positif hamil. Aku mulai gelisah. Selfi hanya diam dan meminta diantar pulang. Dijalan aku menyarankannya untuk menggugurkan janin itu. Tapi sialnya dia enggan untuk menggugurkannya.

"kenapa nggak mau ? kamu mau hamil diluar nikah ?"

"selain itu apa ? dia anak mu ki."

"Nggak, aku belum siap untuk sekarang Selfi! Bagaimana dengan kuliah ku, hah ?"

"Jadi kamu mau lari dari tanggung jawab mu! Dasar pecundang!"

"heyy jaga mulutmu baik-baik.!"

Dan perdebatan panjang pun terjadi diantara kami sepanjang jalan kami saling debat, memaki, mengungkit-ungkit hal-hal yang telah berlalu. Kami sama-sama penuh emosi. Terlebih aku, aku terus membentak Selfi. Begitupun dirinya. Dia membalas tiap serangan dari lidahku yang kuhantamkan padanya. Kami bertengkar hebat di sepanjang jalan hingga aku mulai tidak fokus membawa motor ini. Seketika kami singgah di lampu merah. Perdebatan masih terus berlanjut. Pengendara-pengendara lain hanya diam menatapi kami yang ada dibaris paling depan.

Salah seorang pengendara yang melihat kami berdebat kudapati sedang tertawa. Emosiku yang sudah menggunung membuatku tak bisa menahan diri. Aku menyorakinya dengan berkata "Apa liat-liat! Hah ?" kondisi menjadi semakin runyam. Lampu hijau telah muncul. Kutarik gas motorku hingga tak bisa ditambah lagi. Aku mengebut dengan kencang sembari selfi berteriak ditelingaku dan berpegangan erat kepadaku karena terkejut.

Hingga kami tiba dikosannya, dia langsung masuk meninggalkanku tanpa berkata apa-apa. Kutinggalkan tempat itu dengan niat untuk pulang kerumah, namun baru beberapa meter kulewati langit mulai menitikkan air, gerimis yang awalnya pelan mulai menderas. Aku singgah berteduh di depan sebuah bangunan kosong yang belum sepenuhnya selesai dibangun. Alat-alat tukang atau pekerjanya masih ada disana. Gerobak, sekop, ember, semen, batu bata merah, besi panjang dan lain-lainnya. Sorot mataku terfokus pada sekop yang tertancap di atas gundukan pasir itu. Aku mengingat Selfi dengan perasaan gelisah. Dan kakiku seakan bergerak sendirinya mengarahkanku dan membawaku kedepan sekop itu.

Aku basah kuyup dalam waktu yang tak lama, kucabut sekop itu dengan kedua tanganku. Sementara itu langit sesekali menggelegar bersama Guntur dan kilat yang menyala-nyala. Aku tak habis fikir dengan apa yang ada di fikiranku. Aku serasa dikontrol oleh sesuatu yang tak terlihat. Aku kembali ke kosan Selfi dengan berjalan kaki. Meninggalkan motorku di bangunan kosong itu.

Kumasuki lorong kosan Selfi dengan basah kuyup. Tubuhku bergetar menggigil, kedinginan, dan perutku mulai menggerutu, aku merasa lapar. Tiba di depan kamar Selfi ku ketuk pintunya dengan keras beberapa kali. Awalnya tidak ada balasan. Sekali lagi kuketuk dengan keras. Selfi membukanya dan melihatku dengan wajah bingung.

"kamu kenapa Ki ? ngapain bawa gitu" tanyanya.

Kulihat wajahnya yang mulai ketakunan melihatku, dia mengambil handuk dan menuju kearahku. Semua terjadi dengan sangat cepat. Kuhantamkan sekop ke wajahnya dengan sangat keras hingga dia berteriak kesakitan dan terjatuh dia menjerit kesakitan, kepalanya berdarah. Sekali lagi kuhantam kepalanya dengan sangat keras hingga dia tak sadarkan diri. Kulanjutkan lagi dengan menusuk perutnya dengan bagian tajam sekop berkali-kali. Darahnya mengalir banyak dan terciprat kemana-mana. Ada juga yang terciprat kewajahku.

Terdengar langit sedang menggelegar keras diluar sana. Di tengah hujan deras entah kenapa, secara tidak sadar aku membunuh pacarku. Sial!! Apa yang kulakukan. Dia sudah tidak bernapas lagi. Aku melihat isi perutnya yang keluar dan membuatku mual. Aku mulai panik. Aku berlari meninggalkan kosan itu dengan membawa sekop itu. Aku berlari sekencang-kencangnya didalam hujan sembari menangis. Aku berteriak sekencang-kencangnya.

"Anjiiiingggg!!! Dasar Bodooooh!!!"

Beberapa hari kemudian…

Sudah beberapa hari hujan tak kunjung berhenti, beberapa daerah di Makassar mulai tergenang banjir seperti yang terjadi dari tahun ke tahun. aku tidak pernah masuk kampus. Aku hanya menulis berita dan mengumpulkannya ke editor ku. Sudah beberapa hari aku hanya mengurung diri dikamar. Aku masih ketakutan dan terfikirkan dengan kejadian kemarin. aku hanya keluar jika ingin makan dan membeli obatku. Aku terus dihantui rasa takut, penyesalan, dan kegelisahan. tapi itu hanya beberapa hari kemarin. perlahan-lahan perasaan takutku mulai menghilang. Aku merasa aneh dengan diriku. Mungkin polisi sudah menemukan mayat Selfi dan mulai mencari pelaku pembunuhnya.

Aku terus menunggu beritanya muncul di internet, di radio, dan tempatku kerja sebagai jurnalis. Tapi masih belum ada yang memberitakannya. Aku sangat penasaran tapi aku pun tak ingin tertangkap. Sekarang aku hanya mencoba untuk tetap tenang dan berhati-hati jika saja polisi mulai menyelidiki kasusnya. Tapi untuk dikota metropolis ini sepertinya akan sangat sulit untuk mencari pembunuh tanpa saksi mata. Aku yakin itu, karena seingatku tidak ada orang yang melihatku waktu itu.

Hari ini aku kehabisan obat dan rokokku, dan aku mesti keluar dan pergi ketempat biasanya. jujur saja aku sedikit kesepian dan butuh teman untuk menemaniku dirumah. Aku berencana untuk mengajak Winda keluar hari ini menemaniku jalan. Sekaligus sebagai proses pendekatan untuk diriku dan dirinya. Sungguh aku memang benar-benar brengsek. Aku langsung saja mencari pelarian setelah membunuh Selfi. Sekali lagi aku kembali berdosa. Dosa yang sangat besar. Aku tidak tahu apalagi yang akan terjadi kedepannya. Aku hanya bisa pasrah dengan nasibku dan mencoba untuk melangkah maju. Inilah diriku yang sebenarnya.

***

avataravatar