webnovel

Pergi ke Amira Butik

Halo semua, ini aku buat part Kevin Zulfa, ya!

Selamat membaca, jangan lupa kasih dukungan.

//

"Bi, bibi duluan saja ya naik taksi aku ingin mampir ke butik langganan. Mumpung belum banyak pelanggan, nanti kalau kesiangan aku malas menunggu antrean."

"Iya, Nyonya."

Zulfa menatap Bi Ijah yang mulai menjauh dan tersenyum manis ketika wanita paruh baya itu mengatakan 'hati-hati di jalan' sambil melambaikan tangannya menunjukkan salam perpisahan.

Tangannya mulai merogoh kunci di dalam sling bag yang tersampir di tubuhnya, bersiap untuk masuk ke dalam mobil. Ia sudah ada janji dengan seorang teman yang memang mendirikan butik yang tidak terlalu terkenal, namun kualitasnya tidak dapat diragukan. Lumayan bukan? Barang yang lumayan murah setara seperti barang branded lainnya, bagi para wanita itu pasti keuntungan tersendiri.

"TANTE!"

Zulfa menaikkan sebelah alisnya ketika mendengar suara anak kecil memanggil, akhirnya ia memutuskan untuk menolehkan kepala ke sumber suara dan terlihat lah Jeje yang sudah berlari kecil ke arahnya. Astaga dimana dirinya berada, pasti ada Jeje. Apa ini suatu kebetulan? atau memang jalan takdir sudah lambat laun mempertemukan dirinya dengan seseorang yang memang sudah seharusnya menjadi tumpuan?

"Hai Jeje, ada apa?" sapa Zulfa dengan lembut sambil melihat sosok anak kecil yang masih berlari kecil ke arahnya, Jeje memegang balon bewarna merah jambu berbentuk hati.

Jeje tersenyum ceria, lalu gadis kecil itu mencium tangan Zulfa. "Assalamualaikum, Tante." salamnya dengan nada bicara yang sangat lembut.

Zulfa tersenyum lalu mengelus puncak kepala Jeje. "Waalaikumsalam, kamu sama siapa? Kenapa ada di supermarket besar seperti ini? Kemana Daddy kamu?" Berbondong-bondong pertanyaan akhirnya keluar dari mulutnya, toh memang setiap ia bertemu dengan Jeje pasti laki-laki yang dirinya maksud selalu datang belakangan.

"Tidak perlu banyak bertanya, saya ada disini."

Zulfa terlonjak kaget mendengar suara berat yang terdengar seperti mengejutkan dirinya, apalagi nada bicara tersebut terdengar sangat datar dan juga dingin. Ia berbalik badan, dan menemukan Kevin yang dengan senyum simpulnya berdiri sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Terlihat sangat keren.

"E--eh?" Tiba-tiba Zulfa menjadi kebingungan. Ia tidak tau harus merespon apa, ia malu mengingat dirinya yang terus bertanya seperti seolah-olah mencari keberadaan laki-laki itu. Sebenarnya tidak, ia hanya takut kalau Jeje hilang atau semacamnya karena orang tuanya lalai.

Kevin tertawa ringan melihat ekspresi wajah Zulfa saat ini, menurutnya terlihat sedikit menggemaskan. Lalu ia berjalan menghampiri Jeje dan menggendong putri kecilnya itu, dengan tangan yang terjulur untuk mencubit gemas hidung mungil tersebut. "Kebiasaan ya, suka kabur-kaburan. Nanti kalau hilang atau di culik, bagaimana? Daddy gak akan pernah bisa nemu anak kayak kamu lagi, sayang." ucapnya pada Jeje.

Mendengar perhatian Kevin pada Jeje, tentu saja hati Zulfa menghangat. Menurutnya, laki-laki yang sangat menjaga anak kecil adalah hal yang paling manis.

"Habisnya Daddy kalau jalan kayak siput, aku kan mau lari melesat seperti angin!"

Kevin hanya menggelengkan kepalanya, tidak habis pikir dengan kinerja otak sang putri kecilnya. Lalu setelah itu, ia mengalihkan pandangan ke arah Zulfa dengan sempurna. "Kamu ingin pergi kemana? Kenapa wanita tua tadi kamu suruh pulang duluan?" tanyanya yang sedaritadi berada di benaknya, tidak terlalu penting sih.

Zulfa tersenyum kikuk. "A--aku hanya ingin-- ah aku ingin pergi ke butik temanku." jawabnya dengan terbata-bata. Ia menggaruk pipinya yang tidak gatal, setiap pertemuan dengan Kevin pasti seperti ini apalagi mengingat laki-laki itu yang sangat royal kepada orang lain.

"Jeje boleh ikut kan, Tante? Jeje bosan, ingin jalan-jalan tapi Daddy sok sibuk."

Jeje mengeluarkan jurus puppy eyes yang sialnya tidak bisa membuat Zulfa menolak permintaan manis tersebut. Akhirnya, ia menggaruk tengkuk karena tidak tahu ingin menjawab apa. Sebenarnya sih tidak masalah, hanya saja.... Hei, dirinya baru berkenalan dengan laki-laki yang berstatus ayahnya Jeje atau ya bukan muhrim.

"Tap--"

"Sebaiknya kita pulang saja, sayang."

Sebelum Zulfa berhasil menjawab permintaan Jeje, Kevin sudah terlebih dahulu berkata hal yang membuat gadis kecil itu menekuk senyumnya bahkan raut wajah mendung dengan kristal bening di kelopak matanya sudah jelas terlihat.

Zulfa tersenyum hangat. Lalu mengambil alih Jeje dari gendongan Kevin. "Yuk, nanti kita sarapan bersama." ucapnya sambil mencium kening Jeje. Tidak dapat di pungkiri, Zulfa adalah sosok yang mudah sekali beradaptasi dengan anak kecil. Membuat anak kecil nyaman dan merasa terlindungi adalah bagian dari hobinya.

"Saya ikut, kalau Jeje bersama mu kali saja kamu ingin menculiknya. Saya hanya ingin menjaga anak saya, itu saja alasannya."

Zulfa menganggukkan kepala, ia setuju supaya nanti Jeje bisa langsung pulang kembali ke rumah bersama Kevin. "Iya tentu saja kamu ikut, kamu bisa pakai mobil kamu--"

"Tidak, saya yang akan menyetir mobil kamu." ucap Kevin sambil mengambil alih kunci mobil yang berada di genggaman Zulfa. Sontak hal itu membuat sang empunya langsung kesal karena laki-laki itu menyentuh tangannya.

"Jaga jarak, Kevin. Kita bukan muhrim, tidak bisakah kamu mengingat hal itu?" ucap Zulfa sambil meniup-niup tangannya berharap jejak sentuhan Kevin pada tangannya menghilang.

Kevin hanya mengangguk dan meminta maaf lalu mulai memasuki mobil Zulfa, ia yang mengemudi sedangkan Zulfa dan Jeje lebih memilih duduk di kursi belakang.

"Kamu kira saya supir kamu? Pindah sini ke kursi depan." pinta Kevin sambil menatap Zulfa lewat kaca bagian tengah mobil.

Zulfa menggeleng, lalu mengacuhkan Kevin dan lebih memilih bermain tebak kata bersama dengan Jeje. Kevin hanya menghela napasnya.

Setelah mendapatkan lokasi yang ditunjukkan Zulfa, Kevin mulai memarkirkan mobil di halaman yang lumayan luas membentang gedung lantai dua yang bertuliskan 'Amira Butik'.

"Yuk, kita sudah sampai." Ucap Zulfa sambil menggendong Jeje. "Kevin, tolong bukakan pintu untuk ku."

Kevin beranjak keluar mobil, lalu membuka pintu belakang untuk akses keluar wanita yang berhasil mencuri hati putri kecilnya. Bayangkan saja setiap menit Jeje akan bertanya mengenai keberadaan Zulfa, membuat dirinya pusing tujuh keliling padahal dirinya pun sendiri tidak tahu dimana wanita yang dimaksud itu tinggal.

"Daddy, apa Tante Zulfa akan menemui aku lagi?"

"Daddy, Tante sedang apa ya?"

"Daddy, Jeje ingin bertemu dengan Tante."

"Daddy, Daddy, dan Daddy, Jeje kangen sekali pada Tante Zulfa."

Dan ya, itu pertanyaan yang sering dilontarkan oleh Jeje pada Kevin. Untung saja, takdir kini berpihak pada putri kecilnya.

Mereka mulai berjalan memasuki toko melewati pintu yang memang dikhususkan untuk pemilik, Amira Putri Fahirah.

"Kok kamu boleh masuk, Fa? kan toko ini masih tutup, lagian juga ini pagi-pagi."

Zulfa menoleh ke arah Kevin yang bertanya. "Karena ini milik teman aku, jadi ya boleh saja masuk sebelum toko buka." jawabnya dengan kalimat yang terdengar seadanya. Ia mulai mengarahkan Kevin untuk masuk ke dalam toko.

Kevin mengekori Zulfa, meneliti setiap inci dari toko tersebut. Sederhana tapi terasa seperti nuansa rumahan yang mampu membuat banyak pengunjung merindukan keadaan rumah yang damai, desain bagus untuk menarik pengunjung.

"Hai, Fa. Kamu mau mengambil pesanan ya? Tunggu sebentar, aku sudah buatkan yang spesial untuk mu. Duduk dulu saja."

Zulfa terkekeh melihat Amira yang memang sangat cerewet, bahkan ia belum mengatakan apapun sudah di sambut sehangat itu. Ia menurunkan Jeje dari gendongannya supaya gadis kecil itu bisa duduk di salah satu sofa bewarna merah. Sedangkan dirinya, ia lebih memilih untuk melihat ponselnya.

1 notifikasi dari Mas Farel.

| ruang pesan |

Mas Farel

Maafkan saya ya, semua masakan kamu di buang sama Rani. Setelah pulang, kamu berhak marah.

---

Zulfa tersenyum pahit. Sudah semakin terbiasa ia diperlakukan seperti ini.

| ruang pesan |

Zulfa

Gapapa, mas.

---

Hanya itu yang dapat ia ketik.

Zulfa mengambil napasnya dalam-dalam, lalu membuangnya secara perlahan. Tidak boleh lagi menangisi hal yang terasa menyakitkan ini. Lagipula untuk apalagi menangisi hal yang tidak penting? Dirinya dan Farel memang tidak pernah bisa bersatu. Jika pun bisa, pasti Farel terpaksa.

Menyedihkan sekali.

| ruang pesan |

Mas Farel

Kamu dimana, Fa? Saya hari ini tidak bekerja, dan kamu sedaritadi belum kembali.

Zulfa

Aku sedang di butik, mengambil gamis pesanan. Memangnya kenapa, ya?

Mas Farel

Kamu sudah sarapan?

Zulfa menaikkan sebelah alisnya. Sejak kapan Farel menjadi bertanya-tanya dengan perhatian kecil seperti ini? Ia senang? Tentu saja! Namun ini terasa aneh baginya. Tidak mungkin kan Farel menjadi berubah mencintai dirinya dalam jangka waktu secepat ini?

Zulfa

Kenapa mas? tumben kamu bertanya seperti itu? biasanya aku nafas satu udara dengan mu saja, kamu tidak peduli

Mas Farel

Ya saya hanya bertanya, soalnya kan saya tidak lihat kamu sejak bangun tidur, terlalu lelah.

Zulfa

Yasudah, kamu istirahat saja.

Read

---

Zulfa menaruh ponselnya kembali ke dalam sling bag dengan perasaan yang tidak dapat di jelaskan bagaimana detailnya. Lalu beralih menatap Jeje yang sudah bersenda gurau dengan Kevin.

Manis sekali. Jika saja hubungannya dengan Farel bisa berjalan semulus itu pasti bukanlah hal yang sulit untuk mempunyai seorang anak dan hidup bahagia, saling menebar kasih dan keharmonisan. Sayangnya itu hanya perumpamaan kata 'jika', yang berarti hanya sebuah harapan fana.

"Fa, ini gamis kamu."

Perhatian Zulfa teralihkan. Ia menatap Amira yang dengan senyum manisnya menyodorkan paper bag coklat. Ia mengambilnya. "Terimakasih ya, Ra. Uangnya sudah aku transfer, apa sudah masuk ke rekening kamu?" tanyanya takut kelupaan dengan bayaran hasil dari kerja temannya ini.

Amira menganggukkan kepala sambil membenarkan letak scarf yang melingkari leher jenjangnya. Gadis yang cantik, dan tentu saja sifatnya sangat sopan walaupun cerewet.

"Sudah masuk kok, santai aja sih. Ngomong-ngomong, siapa laki-laki dan anak kecil disana? Kemana Farel? kok kamu datang bersama mereka sih?"

Zulfa mematung. Ia tidak tau harus menjawab pertanyaan Amira dengan jawaban seperti apa, ia juga tidak mungkin jujur dengan apa yang terjadi.

"Saya duda, Daddy-nya Jeje yang dekat dengan Zulfa. Jangan berpikir macam-macam,"

Kedua wanita ini terlonjak kaget mendengar suara berat Kevin yang tiba-tiba saja menyapa indra pendengaran keduanya.

"Astaga, kamu selalu saja seperti hantu!" protes Amira sambil mengusap dadanya, berusaha untuk menetralisir degup jantungnya yang menjadi memompa cepat.

Amira meneliti Kevin dari atas sampai bawah. Laki-laki yang menurutnya sangat tampan, bahkan jauh sekali jika dibandingkan dengan Farel. Hot single parent, ya kira-kira begitu julukan yang kini ia tanggap saat melihat duda itu.

Zulfa melihat Jeje yang sudah tertidur di pelukan Kevin, cepat sekali dia tertidur. "Ayo akan aku antarkan kalian kerumah." ucapnya kepada Kevin, masa iya dirinya hilang tanggung jawab seperti itu? "Amira, aku pamit dulu ya, kasihan Jeje sudah tertidur." Mengalihkan kembali perhatiannya pada gadis muda itu, ia menyambung perkataannya.

Amira menatap mereka yang sudah keluar toko dengan tatapan heran, karena bukan hal yang wajar kalau seorang wanita keluar rumah bersama dengan laki-laki lain. Sepertinya Zulfa memiliki sebuah masalah dengan Farel. Setau dirinya, wanita itu tidak pernah jalan bersama laki-laki manapun selama ia hijrah.

"Ah biarkan saja, bukan urusanku."

Sedangkan kini Zulfa yang sedaritadi memimpin jalan pun langsung memperlambat laju jalannya supaya bisa berada di sisi Kevin. "Kok Jeje bisa tidur secepat itu, Vin?" tanyanya sambil menatap wajah lekat Jeje yang terlihat sangat manis.

Kevin menatap Zulfa. "Bisa, dia tadi sudah mengeluh ngantuk dan minta cepat-cepat pulang."

"Ah gitu ya, yasudah yuk masuk ke dalam mobil ku dan langsung aku antar." ucapnya sambil tersenyum manis. Ia berterimakasih sekali dengan adanya Jeje, setidaknya seluruh pikirannya yang kacau menguap seketika.

Kevin menganggukkan kepala, lalu sebelum menaruh putri kecilnya ke dalam mobil bagian belakang, ia mendekatkan wajah ke telinga Zulfa. "Kalau kamu antar saya ke tempat pelabuhan hati, bisa? saya sudah lama tidak mempunyai seseorang yang menjadi tumpuan hidup."

...

Next chapter

Next chapter