1 Prolog

⸢Dia tahu inilah yang terbaik yang bisa dia dapatkan. Kebahagiaan mereka itu cukup baginya, tetapi kekosongan yang tak bisa dijelaskan membayangi hatinya yang berhenti berharap. End⸥

"Huh? Tidak mungkin sudah berakhir! Sial, ini cliffhanger!"

Aku berteriak frustrasi karena ending dari novel favorit yang tak sesuai keinginanku. Mengerikan betapa tragisnya akhir sang protagonis. Apakah author-nim itu masokis? Dia sudah membuat protagonis menderita sejak kecil dan sekarang ending yang buruk, sungguh buruk. Aku ingin menangis untuk protagonis.

Aku telah mengikuti novel yang berjudul "Ways of Heroes" semenjak serialisasi pertamanya sebab deskripsinya yang sangat menarik, yaitu monolog protagonis.

⸢"Aku akan mengubah dunia busuk ini."⸥

Aku membaca bab pertama kemudian menjadi ketagihan karena gaya penulisan dan sajian awal, yang menegangkan, memikatku.

Aku menyukai novel ini sampai-sampai bersedia memberikan hadiah untuk author-nim yang sangat jarang kulakukan. Mengingat bahwa aku hanyalah seorang pekerja buruh yang setiap pagi buta harus mengejar mandor bangunan untuk mendapatkan pekerjaan, contohnya mengaduk semen, membawa batu bata, dan menggulung kabel yang membahayakan.

Selain itu, aku juga mengajari anak-anak Sekolah Menengah sebagai guru les, aku punya sedikit kelebihan dalam kecerdasan.

Sayangnya, otakku yang sedikit lebih dari rata-rata tak bisa mengimbangi skema licik orang-orang yang mendapatkan pekerjaan dan posisi lewat koneksi. Memang kalau soal koneksi, aku angkat tangan. Itu karena aku merasa sulit untuk bergaul, alasannya? Jika harus kuceritakan akan jadi cukup panjang, jadi secara ringkasnya adalah aku mengalami trauma pembullyan.

"Han-ah," sapa seseorang tiba-tiba, menghancurkan rantai pemikiran yang panjang dan mengejutkanku yang sedang duduk untuk beristirahat sebentar di bangku. Hanya ada satu orang yang memanggilku seperti itu, dia adalah teman terdekatku dari lingkaran sosial kecil yang kumiliki.

Dia, Jung Jaehwan, yang selalu suka tersenyum padaku, seharusnya dia diberi nama Yoonhwan yang artinya tersenyum.

Meskipun dia terlihat baik hati dan kalem, sebenarnya dia itu menakutkan. Beberapa kali aku pernah melihatnya memukuli gangster di sebuah gang gelap, yang menuju apartemen kecilku, hingga jadi bubur, entah apa salah mereka. Pada saat itu, Jaehwan tidak sedang mabuk. Aku hanya bisa diam dan bersembunyi.

"Yo! Kau mikir apa sih?" Jaehwan melambaikan tangan kanannya di depan wajahku seolah dia tahu aku sedang memikirkan sesuatu.

Aku berkedip beberapa kali saat bertatapan dengan mata coklat gelapnya yang seakan menghipnotis. Ah, sejujurnya dia sangat tampan jika saja separuh wajahnya tidak hancur. Jaehwan menceritakan penyebabnya yakni kecelakaan pada waktu dia di tentara, walaupun dia terdengar sama sekali tidak peduli, tetapi aku peduli.

Bukan karena itu jelek, tetapi rasanya pasti sangat menyakitkan sebab harus menahan efeknya yang dia bilang masih tersisa hingga sekarang.

"Melamun terus?" Dia bertanya lagi, kali ini dengan seringai licik yang kukenal, itu artinya dia akan jadi menyebalkan.

Sebelum dia berbuat aneh-aneh, aku menjawab, "Kau tahu, novel selai madu yang sering aku ceritakan itu berakhir dengan ending yang buruk. Aku jadi kesal!"

Kemudian, di akhir kalimat, aku memegangi kepalaku dengan frustrasi, tak menyangka novel begitu mempengaruhi suasana hatiku yang jarang berubah secara berlebihan.

Jaehwan tertawa lalu menepuk kepalaku seolah dia adalah Hyung-ku, tidak, dia memang sering menyuruhku memanggilnya Hyung! Namun, aku lebih tua darinya dalam hal usia!

Merasakan kejengkelanku yang mulai naik, Jaehwan berhenti lalu duduk di bangku tepat di sampingku.

"Han, apa kau pikir kisahnya sudah berakhir hanya karena author-nim mengakhirinya?" tanyanya sambil menoleh dan menatap lurus ke mataku.

Pertanyaan yang bermakna. Dia benar, kisah ini belum berakhir. Kalau bisa, aku akan mengubah endingnya, tidak, aku akan membuat protagonis bahagia.

"Kau benar, itu belum berakhir." Aku menyetujui maksud Jaehwan yang terkekeh lagi.

"Jika aku seorang penulis, aku akan membuat protagonis itu bahagia," lanjutku dengan tekad yang terpancar sampai-sampai Jaehwan tersentak.

"Begitukah?" Dia menatapku aneh. Kenapa? Apa pernyataanku seperti chunni? Haha, tidak seperti aku menolak julukan itu karena perasaanku sekarang memang sedikit berlebihan.

"Terima kasih, Han," ucapnya mendadak mengejutkanku. Untuk apa dia berterimakasih?

Merasakan kebingungan yang melandaku, dia menjelaskan, "Mulai besok aku tidak bisa menemuimu lagi. Ah, aku mendapatkan pekerjaan yang lebih baik di tempat lain."

Dia menabur garam di atas lukaku, sialan! Namun, aku tidak bisa menunjukkan emosi ini di permukaan.

Tidak apa-apa, pada akhirnya aku berakhir sendirian. Jaehwan secara tak terduga memegang kedua tanganku terlihat ingin menghiburku.

"Tapi, percayalah kita pasti bisa bertemu lagi. Kau teman satu-satunya yang kumiliki," ujarnya.

Sungguh, itu membuatku terharu. Eh, tunggu sebentar, benarkah begitu? Sejujurnya aku tak tahu apa-apa tentangnya selain dari yang kulihat dan kudengar sendiri darinya. Itu tidak adil sebab aku bercerita lebih banyak tentang diriku sendiri padanya.

"Oi! Hentikan hubungan menjijikan itu dan kemarilah untuk bekerja!"

Teriakan mandor bangunan menyadarkanku bahwa saat ini kami terlalu dekat, hampir dikira yang tidak-tidak. Tidak mungkin, aku tidak punya satu perasaan romantis pun pada siapapun apalagi pada Jaehwan, itu sedikit menyeramkan hanya dengan memikirkannya.

Aku menyentakkan tanganku untuk menanggapi panggilan dan mengabaikan ekspresi kecewa di wajah Jaehwan.

Jika dia ingin pergi, maka pergilah, tidak perlu repot-repot memberitahuku yang bahkan tidak tahu apa-apa tentangnya.

Mungkin kalau saja waktu itu aku berbicara lebih banyak dengannya, aku tak'kan punya penyesalan ketika terbangun di dunia yang berbeda pada hari berikutnya.

***

avataravatar
Next chapter