65 The Real Cassanova

Tidak seperti biasa, sore ini dia tidak terlalu menyulitkan. Dia bersikap lebih baik, tidak menyebalkan seperti sebelumnya.

Jika dia bisa mempertahankan sikap baiknya, aku juga akan tulus peduli padanya.

"Udah minum obat ?", tanyaku.

"Belum lagi. I tunggu you datang lama sangat", sahutnya.

Aku tidak menanggapi perkataannya dan fokus menikmati makanan. Satu kata yang keluar dari mulutku bisa saja merusak suasana hatinya; aku memilih diam, tidak ingin mengacaukan kedamaian dan ketenangan ini.

Menjaga mood-nya agar tetap bagus adalah suatu keharusan. Jika tidak, dia akan kembali menjadi manusia menyebalkan yang dapat menyulitkanku.

"Ara, are you busy ?", tanyanya tiba-tiba.

"Kenapa ?", jawabku usai mengunyah makanan.

Dia tidak langsung menjawabku dan kembali melanjutkan makan. Sejenak suasana menjadi senyap tanpa obrolan, hanya ada suara sendok dan garpu yang saling beradu dengan piring.

Seorang asisten rumah tangga yang mengantar obat, memecah kebisuan. Dia hanya melirik obat yang baru saja ditinggalkan di atas meja.

Aku sudah sangat hafal dengan isyarat itu. Aku langsung meraih obat dan membukanya, lalu memberikan satu per satu padanya.

Tidak ada yang bisa aku lakukan selain menurutinya. Aku akan bertanggungjawab sampai akhir, meski sekarang aku lebih mirip perawat daripada turis. Tapi, tidak masalah selama itu cukup untuk balas budi.

"Ara pernah ada boyfriend ?", tanyanya tiba-tiba.

"Ada, pernah", jawabku dengan kesungguhan.

"Really, boleh percaya keh ?", tanyanya yang meragukan jawabanku.

Aku menatapnya sekilas, lalu kembali fokus pada makanan. Aku tidak mengulang jawabanku, meski ingin meyakininya.

Setelah dipikir lagi, semua akan berakhir sia-sia. Apapun keyakinannya tidak ada kaitan denganku.

Kepercayaan darinya tidak mempengaruhi apapun, aku juga tidak membutuhkannya.

Memaksakan kebohongan menjadi kebenaran bukan hal yang sederhana. Tentu saja, membutuhkan pengorbanan.

Aku tidak ingin mengorbankan apapun untuk menyakininya. Dia juga bukan orang yang mudah dibodohi.

Jika ingin membodohinya, aku harus menggali dengan kesungguhan. Sehingga, dia juga akan berhenti menyerangku dengan berbagai omong kosong.

Saat ini, mungkin aku harus bersabar menghadapi semua kata nonsense-nya sedikit lebih lama.

"I wanna marry you", lanjutnya.

"Cut it out", jawabku datar tanpa mengangkat wajah karena mulai terbiasa dengan ucapan sejenis itu.

Hanan hanya tertawa mendengar jawabanku. Sungguh ironis, sesuatu yang seharusnya serius berakhir menjadi sebuah lelucon.

Sesuatu yang sulit diucapkan oleh laki-laki lain, bagaimana bisa dia mengatakannya dengan begitu mudah.

Mungkin seperti itulah wujud dari "the real cassanova".

avataravatar
Next chapter